Mengungkap Sejarah yang Tak Terucap dalam Sastra Sengkalan

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
"Pelung," 42x53 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017
"Pelung," 42x53 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017

jfid – Dalam khazanah budaya Jawa terdapat apa yang disebut sebagai sengkalan: ungkapan-ungkapan yang merujuk pada angka waktu tertentu. Tak banyak orang yang melihat dan membedah hal ini sebagai salah satu bentuk kesusastraan. Saya pribadi, secara konvensional, meletakkan sengkalan sebagai salah satu bentuk kesusatraan Jawa karena beberapa kriteria sastra seperti puisi ada padanya.

Ungkapan bahwa “Jawa nggone semu” sekali lagi tampak pada bagaimana orang Jawa di masa silam memperlakukan waktu. Waktu, bagi mereka, tak sekedar dapat direduksi pada sederet angka, tapi juga rangkaian kata yang ringkas seperti haiku dalam kesusastraan Jepang. Taruhlah, sengkalan yang menandai akhir penulisan Serat Centhini: “Paksa Suci Sabda Ji.” Secara konvensional ungkapan ini mengacu ke angka waktu 1942 J. Atau sengkalan yang menandai akhir kekuasaan Brawijaya V di Majapahit, “Sirna ilang kertaning Bumi,” yang mengacu ke angka waktu 1400 S.

Saya kira, secara diskursif, kesusastraan Jawa klasik lebih radikal daripada para pemerhati linguistik yang menyatakan bahwa bahasa merupakan pembentuk realitas. Tapi bagi para pujangga Jawa tak hanya bahasa yang ternyata membentuk realitas, angka atau bilangan pun adalah setali tiga uang. Taruhlah bilangan “0” yang bagi para pujangga Jawa masa silam merujuk pada kesirnaan atau kehilangan, sebagaimana yang mengacu pada akhir kekuasaan kerajaan Majapahit. Tak perlu seterang kata “sirna” ataupun “hilang” untuk melukiskan pudarnya kekuasaan kerajaan yang dibangun oleh Raden Wijaya beserta sekutunya itu, para pujangga Jawa cukup melambangkannya dengan bilangan “0.”

Pasemon tingkat tinggi memang terdapat pada tradisi sengkalan yang dilihat dari segi kesusastraan, sangat beragam makna yang dikandungnya. Bagi yang tak tahu tentang tradisi sengkalan tentu akan memaknai ungkapan yang tertera dalam sengkalan itu secara kata per kata. Pada sengkalan Paksa suci sabda ji,” akan terbaca bahwa “sabda seorang raja ibarat burung suci” dimana, ketika melihat konteks pemrakarsa penulisan Serat Centhini, PB V yang waktu itu masih berstatus sebagai seorang putra mahkota, tengah mengalami kehidupan yang nyleneh. Kisah tentang Mas Cebolang dan utamanya Serat Centhini jilid V konon ditulis oleh sang putra mahkota sendiri. Ketika orang membacanya, maka akan tampak bagaimana imajinasi seksual sang putra mahkota tersebut sedemikian tak lazimnya. Hubungan sesama jenis yang pernah dialami oleh Mas Cebolang, oral seks yang dilakukan oleh Banikem dan Kulawirya, gaya seks threesome, dan persanggamaan dengan seekor kuda yang dilakukan oleh Kulawirya dalam rangka menyembuhkan penyakit spilisnya, adalah beberapa contoh betapa radikalnya imajinasi seksual sang putra mahkota yang direpresentasikan beberapa karakter dalam Serat Centhini. Dengan demikian, secara tersirat, sengkalan Paksa suci sabda ji,” adalah sebuah gambaran pula bahwa kata-kata yang dirangkai oleh sang putra mahkota dalam Serat Centhini adalah seperti halnya burung liar yang masih suci karena ditulis oleh seorang calon Pakubuwana V, raja Kasunanan Surakarta.

Demikian pula halnya dengan sengkalanSirna ilang kertaning Bumi,” yang selain mengacu ke angka waktu 1400 S, adalah juga sebuah pasemon tentang apa yang sebenar-benarnya terjadi pada kurun itu. Lazimnya, orang akan mengartikannya sebagai “hilangnya kemakmuran kerajaan.” Sebab, dalam Negarakretagama, istilah “Bhumi” mengacu pada keseluruhan wilayah kerajaan. Tapi saya memiliki pemaknaan yang lain. Ungkapan “kertaning Bumi” adalah merujuk pada Kertabumi atau nama lain Brawijaya V. Peristiwa historis yang sebenar-benarnya terjadi pada tahun 1400 S tersebut adalah hilangnya Brawijaya V karena menjadi seorang buruan atau secara kepercayaan dianggap mokswa (Lenyapnya Sisi Politis Reyog, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com). 

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article