jf
  • Arta
  • Siasat
  • Tahta
  • Sasana
  • Histori
  • Rupa-Rupa
  • Flash
  • Kolumnis
  • Warta
    • Advertorial
    • Birokrasi
    • Budaya
    • Hukum dan Kriminal
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Politik
    • Profil
    • Surat Publik
    • Wisata
No Result
View All Result
Nulis
jf.
  • Arta
  • Siasat
  • Tahta
  • Sasana
  • Histori
  • Rupa-Rupa
  • Flash
  • Kolumnis
  • Warta
    • Advertorial
    • Birokrasi
    • Budaya
    • Hukum dan Kriminal
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Politik
    • Profil
    • Surat Publik
    • Wisata
jf.
Menulis
  • Arta
  • Siasat
  • Tahta
  • Sasana
  • Histori
  • Rupa-Rupa
  • Flash
  • Kolumnis
  • Warta
Home Warta Budaya

Mengungkap Sejarah yang Tak Terucap dalam Sastra Sengkalan

by Heru Harjo Hutomo
11/08/2020
in Budaya, Flash, Kolumnis
Reading Time: 5 mins read
2.3k
A A
0
"Pelung," 42x53 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017

"Pelung," 42x53 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017

Share on FacebookShare on Twitter

jfid – Dalam khazanah budaya Jawa terdapat apa yang disebut sebagai sengkalan: ungkapan-ungkapan yang merujuk pada angka waktu tertentu. Tak banyak orang yang melihat dan membedah hal ini sebagai salah satu bentuk kesusastraan. Saya pribadi, secara konvensional, meletakkan sengkalan sebagai salah satu bentuk kesusatraan Jawa karena beberapa kriteria sastra seperti puisi ada padanya.

Ungkapan bahwa “Jawa nggone semu” sekali lagi tampak pada bagaimana orang Jawa di masa silam memperlakukan waktu. Waktu, bagi mereka, tak sekedar dapat direduksi pada sederet angka, tapi juga rangkaian kata yang ringkas seperti haiku dalam kesusastraan Jepang. Taruhlah, sengkalan yang menandai akhir penulisan Serat Centhini: “Paksa Suci Sabda Ji.” Secara konvensional ungkapan ini mengacu ke angka waktu 1942 J. Atau sengkalan yang menandai akhir kekuasaan Brawijaya V di Majapahit, “Sirna ilang kertaning Bumi,” yang mengacu ke angka waktu 1400 S.

Baca Juga

No Content Available

Saya kira, secara diskursif, kesusastraan Jawa klasik lebih radikal daripada para pemerhati linguistik yang menyatakan bahwa bahasa merupakan pembentuk realitas. Tapi bagi para pujangga Jawa tak hanya bahasa yang ternyata membentuk realitas, angka atau bilangan pun adalah setali tiga uang. Taruhlah bilangan “0” yang bagi para pujangga Jawa masa silam merujuk pada kesirnaan atau kehilangan, sebagaimana yang mengacu pada akhir kekuasaan kerajaan Majapahit. Tak perlu seterang kata “sirna” ataupun “hilang” untuk melukiskan pudarnya kekuasaan kerajaan yang dibangun oleh Raden Wijaya beserta sekutunya itu, para pujangga Jawa cukup melambangkannya dengan bilangan “0.”

Pasemon tingkat tinggi memang terdapat pada tradisi sengkalan yang dilihat dari segi kesusastraan, sangat beragam makna yang dikandungnya. Bagi yang tak tahu tentang tradisi sengkalan tentu akan memaknai ungkapan yang tertera dalam sengkalan itu secara kata per kata. Pada sengkalan “Paksa suci sabda ji,” akan terbaca bahwa “sabda seorang raja ibarat burung suci” dimana, ketika melihat konteks pemrakarsa penulisan Serat Centhini, PB V yang waktu itu masih berstatus sebagai seorang putra mahkota, tengah mengalami kehidupan yang nyleneh. Kisah tentang Mas Cebolang dan utamanya Serat Centhini jilid V konon ditulis oleh sang putra mahkota sendiri. Ketika orang membacanya, maka akan tampak bagaimana imajinasi seksual sang putra mahkota tersebut sedemikian tak lazimnya. Hubungan sesama jenis yang pernah dialami oleh Mas Cebolang, oral seks yang dilakukan oleh Banikem dan Kulawirya, gaya seks threesome, dan persanggamaan dengan seekor kuda yang dilakukan oleh Kulawirya dalam rangka menyembuhkan penyakit spilisnya, adalah beberapa contoh betapa radikalnya imajinasi seksual sang putra mahkota yang direpresentasikan beberapa karakter dalam Serat Centhini. Dengan demikian, secara tersirat, sengkalan “Paksa suci sabda ji,” adalah sebuah gambaran pula bahwa kata-kata yang dirangkai oleh sang putra mahkota dalam Serat Centhini adalah seperti halnya burung liar yang masih suci karena ditulis oleh seorang calon Pakubuwana V, raja Kasunanan Surakarta.

Demikian pula halnya dengan sengkalan “Sirna ilang kertaning Bumi,” yang selain mengacu ke angka waktu 1400 S, adalah juga sebuah pasemon tentang apa yang sebenar-benarnya terjadi pada kurun itu. Lazimnya, orang akan mengartikannya sebagai “hilangnya kemakmuran kerajaan.” Sebab, dalam Negarakretagama, istilah “Bhumi” mengacu pada keseluruhan wilayah kerajaan. Tapi saya memiliki pemaknaan yang lain. Ungkapan “kertaning Bumi” adalah merujuk pada Kertabumi atau nama lain Brawijaya V. Peristiwa historis yang sebenar-benarnya terjadi pada tahun 1400 S tersebut adalah hilangnya Brawijaya V karena menjadi seorang buruan atau secara kepercayaan dianggap mokswa (Lenyapnya Sisi Politis Reyog, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com). 

Advertisement. Scroll to continue reading.
Order Order Order

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

Share3672Tweet2295Pin827

Dapatkan pembaruan langsung di perangkat Anda, berlangganan sekarang.

Unsubscribe

Pos Terkait

Meme 2024 Ganti Bupati (foto: group Facebook)

Nomenklatur Kemenangan, 2024 Ganti Bupati Sumenep

2 minggu ago
10.2k

jfid - Di hari yang Fitri, masyarakat merayakan kemenangan dengan saling bermaaf-maafan. Di satu sisi...

Sri Cicik Handayani, Mahasiswi Institut Seni Indonesia Surakarta (foto: jurnalfaktual.id)

Para Seniman Muda Bicara Keseriusan Disbudporapar Sumenep

1 bulan ago
10.1k

jfid - Para Seniman muda bersuara soal keseriusan Dinas Kebudayaan, Pemuda, Olahraga, dan Parawisata (Disbudporapar)...

Kabupaten Tanpa Cita-cita

2 bulan ago
10k

jfid - Sebuah kabupaten adalah fakta sekaligus cita-cita. Ia melibatkan kondisi nyata. Tetapi ia juga...

Suasana kabut di kota Soe (Foto: L. Ulan/VoxNtt.com)

Demokrasi dan Pesimisme Politik di TTS

2 bulan ago
10.1k

jfid - Beberapa waktu lalu jagat media sosial ramai mengkritisi perihal item pekerjaan jalan Bonleu...

Load More
Next Post

Sungai Kebunagung, Revitalisasi Wisata Gua Jeruk

Leave Comment
ADVERTISEMENT

Recommended

Kapolrestabes Medan Sholat Shubuh Berjamaah di Masjid Jami’ Deli Serdang

Kapolrestabes Medan Sholat Shubuh Berjamaah di Masjid Jami’ Deli Serdang

07/21/2019
10.1k
Korban tewas pembacokan di Burneh Bangkalan

Pembacokan di Burneh Diduga Motif Asmara

08/07/2019
10.6k

Popular Story

  • "Goroh," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

    Politik Rendahan dan Lebaran di Pedesaan Jawa

    9158 shares
    Share 3663 Tweet 2290
  • Sorong Serah Aji Kerame, Potret Adat Budaya Suku Sasak

    9506 shares
    Share 3850 Tweet 2357
  • Nomenklatur Kemenangan, 2024 Ganti Bupati Sumenep

    9281 shares
    Share 3712 Tweet 2320
  • LSM Garuda Indonesia DPD Kabupaten Lombok Tengah Halal Bi Halal Perkuat Silaturrahmi

    9123 shares
    Share 3649 Tweet 2281
  • Kendali Dunia

    9220 shares
    Share 3688 Tweet 2305
Jurnal Faktual

© 2022

Informasi

  • Pedoman
  • Redaksi
  • Periklanan
  • Privacy Policy
  • Tentang
  • Saran Translate

Terhubung

  • Login
  • Sign Up
No Result
View All Result
  • Arta
  • Siasat
  • Tahta
  • Sasana
  • Histori
  • Rupa-Rupa
  • Flash
  • Kolumnis
  • Warta
    • Advertorial
    • Birokrasi
    • Budaya
    • Hukum dan Kriminal
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Politik
    • Profil
    • Surat Publik
    • Wisata

Welcome Back!

Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.