Mengakrabkan Diskursus Kontra Radikalisme-Terorisme Pada Anak-anak

Heru Harjo Hutomo
8 Min Read

jfID – Dari berbagai kasus intoleransi dan terorisme yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir ini, dengan segala variasinya, mulai dari yang bertudung keagamaan hingga non-kegamaan, satu hal yang patut diketahui bahwa kebanyakan dari pelakunya adalah anak-anak yang masih berusia muda (Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net).

Mulai dari aksi massa Islam yang bergelombang menjelang pilkada Jakarta 2017, aksi massa Islam menjelang dan sesudah pilpres 2019, dan yang terkini aksi gerakan Anarko yang terendus oleh pemerintah (Corona, Ancaman Radikalisme, dan Masa Depan Demokrasi Deliberatif Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org), semuanya seolah memiliki modus operandi yang hampir sama: rencana aksi riot yang diserukan untuk terjadi di beberapa kota dan gaya “populistik” yang sama sekali tak menyukai intelektualitas, akal-sehat, ataupun expertise—seperti ideologisasi yang matang, target yang jelas, dst. (Bertolak Dari yang Ada, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Dengan fakta ini, maka saya pun berkesimpulan bahwa mereka, para perusuh itu, memang memiliki episteme yang sama.

Respon dari beberapa kalangan aktifis terkait kasus yang sama pun seolah terjangkiti pula oleh “populisme” yang tak beda. Mereka kebanyakan mempertanyakan penanganan pemerintah, dalam hal ini kepolisian, dengan kerapkali mengatasnamakan “warga” atau “masyarakat” yang mereka klaim justru tengah ditakut-takuti oleh pemerintah dalam upayanya melaksanakan amanat undang-undang untuk mengayomi dan melindungi masyarakat. Dalam hal ini saya pun kadang terkekeh oleh klaim beberapa kalangan aktifis itu, “warga” atau “masyarakat” yang mana yang sesungguhnya mereka bawa-bawa ke ruang publik? Bukankah banyak aksi kejahatan yang justru digagalkan oleh masyarakat itu sendiri, dengan melaporkannya ke pihak berwenang hingga mengeksekusinya di lapangan? Tak sadarkah beberapa kalangan aktifis itu seandainya banyak yang dari kita yang cukup berpartisipatif dalam hal menjaga keamanan diri kita sendiri, dengan seumpamanya melaporkan mereka melalui media-media sosial? Ataukah beberapa kalangan aktifis itu, tanpa melihat pula konteks wabah corona, memiliki kepentingan yang lain selain, atas nama “demokrasi,” “masyarakat,” dan “kebebasan menyatakan pendapat,” menuduh pemerintah terlalu berlebihan dalam upayanya menjaga ruang publik dari anasir-anasir yang mengancamnya, semisal pemaksaan kehendak (Nalar Publik, Pandemi Corona, dan Kehidupan Masyarakat Sipil Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id)?

Dari beberapa data yang ada, saya kira bangsa ini, selain hal-hal lainnya tentu saja, juga memiliki problem yang tak mudah untuk ditangani: radikalisme dan terorisme. Kedua masalah ini, bagi saya, sudah menjadi mindset hingga apapun bentuk ekspresinya tetap menggunakan cara-cara yang mengarah pada pemaksaan dan kekerasan (pencideraan ruang publik). Dengan kata lain, problem radikalisme dan terorisme pada bangsa ini seperti sudah tampak sebagai habitus daripada kriminalitas biasa (“Petaka Melankolia: Sekelumit Bom Surabaya,” Heru Harjo Hutomo, dlm. Merawat Ingatan, Merajut Kemanusiaan, ed., idenera.com, 2019). Berbicara habitus tentu saja adalah berbicara konstruksi ruang mental yang memengaruhi ruang fisikal di mana, saya kira, hanya pendidikan di usia dini yang secara efektif mampu untuk menetralisirnya.      

Beberapa tahun lalu, tepatnya pada 2016, ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar dan ketika radikalisme dan terorisme seolah sudah menjadi santapan sehari-hari, saya bertanya padanya, keponakan saya, Satriaji: “Kenapa orang melakukan teror?”

Sembari makan di sebuah acara kenduri, anak itu pun menjawab tanpa saya kasih wawasan sebelumnya: “Untuk menyebarkan ketakutan dan kecemasan.”

Dan ketika usianya menginjak SMP, tiba-tiba ia memperingatkan keluarganya untuk tak memaksa adiknya, Satrio, melakukan sesuatu.

Sebagaimana yang kita tahu, ketakutan dan pemaksaan adalah dua hal yang menjadi karakteristik dari terorisme. Seseorang atau sebuah organisasi melakukan aksi-aksi teror adalah karena memang untuk menciptakan ketakutan dan kecemasan. Dan itu artinya mereka menginginkan sesuatu dengan jalan pemaksaan. Ketika orang takut atau cemas, tentu tak ada jalan lain kecuali terpaksa melakukan apa yang oleh para teroris itu inginkan. Jiwa-jiwa pun akan selalu dibonsai dan tumbuh tak sebagaimana mestinya.

Pada dasarnya segala bentuk terorisme dapat dikembalikan pada dua karakteristik mendasar tersebut: ketakutan dan pemaksaan. Maka pada titik ini, sebenarnya tak ada beda antara terorisme dan bentuk kriminalitas lainnya seperti premanisme. Keduanya memang bersifat “masturbasif” karena merupakan derivasi langsung dari radikalisme.

Tak ada preman yang tak radikal dan karena itu tak “masturbasif.” Pola pikir seorang preman adalah pola pikir yang sudah jelas tak memberi ruang bagi orang lain. Sebab, tentu, ketika mau berbagi ruang, tak mungkin ada yang namanya premanisme. Bukankah ancaman, intimidasi, serta bentuk pemaksaan dan kekerasan lainnya—baik verbal (mental) maupun fisikal—merupakan logika dan karakter utama dari seorang preman?

Memang benar, negosiasi terkadang juga ada dan terjadi di dunia premanisme. Tapi ibarat gunung es yang sewaktu-waktu pecah, sebenarnya hal itu hanya bersifat permukaan saja. Negosiasi dalam dunia premanisme sungguh jauh berbeda dengan negosiasi dalam dunia bisnis ataupun politik praktis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Akan terasa geli andaikata terdapat seorang preman yang peduli pada hajat hidup orang banyak dalam setiap kebijakan yang ia ambil.

Dengan demikian, pada aras pola pikir dan mental, ketika tujuan dari terorisme adalah menciptakan atau membuat ketakutan, maka tak ada solusi lain untuk menghadapi dan menanggulanginya kecuali dengan keberanian. Ketika seseorang ataupun sekelompok masyarakat tak takut pada sebentuk teror, maka secara mental terorisme itu sudah dapat dikatakan kalah dan gagal.

Organisasi teroris kontemporer internasional semacam IS, dari berbagai aksi teroristik mereka di Indonesia, sebenarnya pada tataran taktis dan strategis memilih pendekatan teroristik purba sebagaimana premanisme. Ada perebutan dan penguasaan wilayah yang memiliki sumber daya potensial, kehidupan kelam laiknya para hewan (alkohol, drugs, pulihan atau kompensasi seksual—Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.net), memanfaatkan sumber daya seadanya (parang, gunting, dst.—Bertolak Dari yang Ada, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.net), dan anti intelektualisme (dengan sadar memilih jalan kegoblokan).

Beberapa waktu lalu dikabarkan bahwa tampuk kepemimpinan organisasi terorisme kontemporer yang pernah beribu kota di Raqqa tersebut beralih ke Abu Ibrahim Hashimi al-Quraishi. Hal ini mengindikasikan bahwa IS bukanlah jaringan terorisme yang tergantung pada figur tertentu. Unsur seduktif mereka tampaknya masih bertahan dengan konsep lama: “agama bayangan” (pseudo religion) yang memadukan dua hal yang pada dasarnya kontradiktif: ibadat dan maksiat atau kesucian dan kerendahan.

Dengan melihat bahwa IS tak lagi berupa sebuah jaringan atau organisasi terorisme, melainkan seperti sudah menjadi pola pikir dan pola kebiasaan, maka tak ada jalan lain kecuali membangun pola pikir dan pola kebiasaan sejak dini tentang radikalisme dan terorisme sebagai tindak lanjut pendidikan toleransi antar-umat beragama yang selama ini sudah berlangsung. Paling tidak, ketika banyak anak didik sudah paham tentang hakikat dan tujuan terorisme dan secara intelektual dan mental paham bagaimana cara menghadapinya, kita dan para pemangku kebijakan tinggal merumuskan hal-hal teknis pengamanan dan pencegahannya.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article