Membangun Habitus I

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
"Wujala," 42x35 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017.
"Wujala," 42x35 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017.

jfid – Saya pernah punya kawan, konon setiap harinya ia hanya cukup makan sepotong roti untuk menemani hidupnya yang setiap saat diancam bui ataupun mati. Sedemikian kaffah-nya ia menjalani hidup sebagai seorang kiri ortodoks, tanpa sedikit campuran Red Label ataupun paha para hostes.


Barangkali, Iramani memang tak pernah menjadi pilihannya, terlalu heterodoks dan kurang pahit kehidupannya. Tapi ada satu doktrin marxisme yang begitu ia pegang secara istiqamah, bahwa materi adalah mendeterminasi spirit, ekonomi adalah mendeterminasi politik, agama, dan budaya. Hal ini adalah semacam iqra’ jilid I bagi marxisme: suprastruktur adalah cerminan dari infrastruktur.


Dengan demikian, suprastruktur kawan saya tadi, seumpamanya militansi dan kegigihannya dalam perdebatan, merupakan cerminan dari infrastrukturnya yang sedemikian pahit bagi sementara orang: cukup makan sepotong roti sehari sekali dan hidup dalam tumpangan. Tapi benarkah tilikan semacam ini?


Saya kira infrastruktur kawan saya tadi justru juga dideterminasi oleh suprastrukturnya. Bukankah tak mungkin rasanya seorang mahasiswa melakoni kehidupan yang jauh lebih pahit dari seorang kuli bangunan semacam itu? Suprastruktur kawan saya itu tadi bisa berupa sikap etis seorang aktivis pengorganisir orang-orang kelaparan: tak pernah merasakan kelaparan bagaimana mungkin akan membela orang-orang lapar? Dapat pula karena bacaan-bacaannya atas kiprah Fidel, Ernesto, ataupun Tan Malaka yang sedikit pun tak tercatat pernah merasakan sebuah kekenyangan dalam pengembaraannya.


Maka, dalam hal ini, manakah yang akhirnya menjadi faktor determinan, infrastrukturnya ataukah suprastrukturnya—atau untuk menariknya pada konteks praktis, materialnya ataukah spiritualnya? Bagi seorang Antonio Gramsci, hal itu adalah keduanya, infrastruktur yang mendeterminasi suprastruktur dan juga sebaliknya dimana suprastruktur yang mendeterminasi infrastrukturnya.


Saya teringat Slamet Gundono di sini ketika baginya wayang kulit hanyalah sebentuk forma yang tak mutlak adanya. Sedemikian mudahnya perannya bisa digantikan oleh sejumput rumput ataupun sepotong pisang goreng. Prinsip semacam ini ternyata memang menjadi pilihan para seniman konseptual dimana substansi, misalnya diskriminasi perempuan, adalah lebih penting dari forma sebuah boneka yang terbuat dari pembalut yang dilumuri oleh cat merah dan ditaruh di pojok ruangan sebuah galeri.


Namun, dengan segala keterbatasan yang ada, ketika prinsip Gramscian ini—dimana penekanan pada suprastruktur yang selama ini terlupakan menjadi hal yang sepokok infrastruktur—digunakan untuk merumuskan arah kebudayaan akan seperti apakah wujud, dan yang terpenting, dampaknya?


Kabar buruk yang mesti saya sampaikan, seni-seni konseptual, yang juga menandai seni-seni garda depan, ternyata tak dapat langgeng eksistensinya. Begitu para pelakunya sudah tak eksis, begitu pula untuk kelanjutan misi kesenian dan kebudayaannya. Dan akhirnya ia pun akan sekedar menjadi sepotong kenangan, tak lebih.

Heru Harjo Hutomo: Penulis, perupa dan pemusik, penulis buku Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai (2011), Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang (2020), Kahanan: Melongok dari yang Tak Pokok (2021), Sangkan-Paran (2021).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article