Masih Tentang Wadas

bramadapp
4 Min Read

jfid – Wadas mengusik nurani banyak orang. Mulai mahasiswa, aktivis, ilmuwan, akademisi sampai para pemuka agama yang selama ini menahan diri untuk bicara.

Tokoh agama dari NU, Muhammadiyah, dan elemen masyarakat lainnya sudah mengingatkan, tetapi belum ada tanda tanda masalah ini selesai.

Bagaimana sebenarnya?

Membaca SK Gubernur, berbagai laporan tertulis para aktivis lingkungan, aktivis HAM, LBH Jogjakarta, LBH Ansor Purworejo, investigasi media, konferensi press pejabat terkait dan liputan pengaduan warga Wadas beberapa saat terakhir, dapat ditarik benang merah berikut:

Pertama:
Rakyat Wadas tidak mempermasalahkan bendungan Bener Purworejo sebagai proyek strategis nasional. Informasi bahwa rakyat Wadas menolak bendungan tidak berdasar dan tidak sesuai dengan kondisi di Wadas.

Kedua:
Yang ditolak warga adalah SK Gubernur Jateng No 590/20 tahun 2021 untuk memakai Desa Wadas sebagai tempat pengambilan material batu andesit. Warga Wadas tidak mau desanya menjadi lokasi tambang batu andesit. Penolakan ini sudah melalui jalur hukum di PTUN dan MA.

Ketiga:
Penolakan warga sejak awal didasari oleh : (1) Jarak antara bendungan dengan Desa Wadas sangat jauh, sekitar 12 Km. Wadas bukan areal utama proyek strategis nasional. (2) Masih banyak daerah tidak berpenghuni di daerah Bener yang juga memiliki deposit batu andesit. Pertanyaan warga: Mengapa harus Wadas?

Keempat:
Bentang alam wadas dengan kontur pegunungan sangat rawan jika dijadikan areal tambang batu andesit. Kekhawatiran akan terjadinya kekeringan, banjir dan longsor, menghantui warga. Kesadaran akan bencana ini yang mendasari penolakan warga.

Kelima:
Penggalian material batu andesit dengan sistim blasting atau diledakkan akan berpotensi merusak sumber air Wadas. Dimasa depan, kondisi ini mengkhawatirkan ekosistem dan kehidupan warga Wadas.

Keenam:
Saran masukan dari tokoh tokoh desa, tidak merubah keadaan, pihak pemangku kepentingan tetap melanjutkan rencana. Rakyat justru divoting antara yang setuju tambang dengan yang menolak tambang. Ketegangan antar warga yang pro dan yang kontra menjadi benih konflik. Keadaan ini memicu kehadiran para aktivis HAM dan Lingkungan.

Ketujuh:
Warga Wadas mayoritas warga NU dengan kultur masyarakat patembayan. Hidup guyup rukun tanpa ada friksi dan segregasi. Isu kehadiran tambang ini mengoyak kerukunan antar warga bahkan antar keluarga. Kondisi ini sudah diadvokasi oleh LBH Ansor NU setempat. Tapi hasilnya masih nihil.

Kedelapan:
Pemerintah hanya mendasarkan pada asas legal formal. Bukan asas kultural, asas perlindungan SDA dan kemanusiaan. Pendekatan legal formal dengan didukung pengerahan aparat dalam jumlah sangat besar, dengan membawa senjata dan disertai penangkapan warga Wadas telah menimbulkan situasi yang mencekam dan trauma yang mendalam. Kondisi ini memicu datangnya berbagai simpati publik secara meluas.

Kesembilan:
Aktivis gerakan mahasiswa, aktivis HAM, DPRRI, LSM, LBH, LBH Ansor, PCNU Purworejo, PWNU Jawa Tengah dan PBNU telah hadir di Wadas, namun demikian tidak membuat pemangku kepentingan segan atau sungkan. Pemangku kepentingan hanya semata mata menjalankan asas legalitas formal dan mengabaikan rasa kemanusiaan.

Saran untuk para pemangku kepentingan:

  1. Mencari lokasi lain untuk lokasi tambang andesit diluar Wadas.
  2. Merevisi SK Gubernur No 590/20 tahun 2021 untuk membatalkan rencana penambangan Wadas.
  3. Melakukan upaya serius merukunkan warga yang terkoyak solidaritas sosialnya.
  4. Mengindahkan saran, masukan, nasihat dari para tokoh masyarakat, terutama dari Muhammadiyah, NU, Komnas HAM, Komnas PPA, dan elemen bangsa yang lain agar tercipta kerukunan di Wadas.

Bramada Pratama Putra, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article