Logika dan Nasib Puisi GM, Dingin tak Tercatat

Citra Dara Trisna
5 Min Read
Gambar salah satu sampul buku GM
Gambar salah satu sampul buku GM

Dingin Tak Tercatat
Dingin tak tercatat
pada termometer

1971
Goenawan Mohamad

Puisi boleh mengikuti logika bahasa. Tapi, bila puisi harus tunduk, sebaiknya kita todongkan saja bedil di mulut penyair agar tak perlu lagi ada puisi; tak perlu lagi ada basa-basi.

Mungkin salah seorang yang hendak menggugat GM dengan logika bahasa adalah Narudin Pituin. Ia mempersoalkan baris pertama puisi GM: dingin tak tercatat // pada termometer.

Menurut Narudin, seluruh kata-kata indeks (petunjuk semiotik, seperti kerap kali diuraikan oleh Aart van Zoest dan Panuti Sudjiman [1996]) itu menandakan ada suhu ada temperatur tertentu sehalus apapun itu.

Oleh sebab itu, secara akal sehat atau logis, semua kata itu dapat diukur panas dinginnya sesuai derajatnya masing-masing.


Kalau Narudin yang bicara. Sudahlah! Saya kapok dan benar-benar maklum. Mengapa? Tentu saja karena saya menaruh hormat pada akademisi. Pada seseorang yang taat pada buku-buku dan beraneka kajian sastra.

Bayangkan, hanya untuk menggempur puisi GM, ia mengumpulkan nama-nama yang ia anggap sependapat dengannya. Cara ini sangat akademis. Dan saya pikir ia benar-benar mengerti cara berpikir orang di lingkaran yang mengelu-elukan namanya: akademisi Indonesia suka dibohongi dengan nama-nama orang mati dalam buku.


Kalau seseorang bicara dengan orang lain, memang harus masuk akal. Kalau tidak ia tak akan didengar, tapi bagaimana dengan puisi? Ia bicara dengan siapa?


Ya, puisi ditulis untuk manusia! Baik-buruk puisi yang lahir adalah sebuah pesan yang ditulis penyair untuk pembaca. Tapi, apakah puisi lebih banyak bicara pada nalar kritis kita sebagai manusia?

Atau lebih jauh: puisi bicara pada sesuatu yang terdalam pada diri manusia. Sesuatu yang halus dan saking halusnya ia jadi tak tercatat oleh apa saja. Begitu juga dengan termometer atau alat ukur lainnya.


Apakah dingin dalam puisi GM benar-benar merujuk pada suhu? Apakah GM, yang setua itu, memasukkan kata dingin murni hanya agar ia diukur dan dipermasalahkan karena dingin—sesuatu dalam kata sifat—pasti dapat terukur oleh termometer; seberapa pun dinginnya.


Apakah Narudin salah? Tidak. Tidak! Tentu saja saya tak pernah berani mengusik kelasnya sebagai akademisi. Saya hanya orang yang berserak di jalanan; yang kebetulan melihat dingin dalam puisi GM sebagai sesuatu yang (mungkin benar) nyata tak tercatat.

Dingin itu mungkin bernama Indonesia, orde baru, kalau sekarang mungkin bernama Jokowi. Tiga hal yang memang tak tercatat oleh termometer. Tak tercatat oleh daya rekam manusia dalam mengartikan basa-basi, sejarah dan demokrasi.


Bagi saya, pemanis buatan di tiap pidato kenegaraan di rezim Jokowi kali ini juga merupakan dingin yang lain. Tak tercatat, tak terprediksi dan tiba-tiba ratusan orang mati untuk sesuatu yang tak penting.

Dan ratusan orang itu, bagi saya, juga sebuah dingin yang tak seorang pun, juga satu termometer pun sudi mencatat. Mungkin dingin (yang teramat sangat) setelah ratusan orang mati itu hanya berdiam dalam arsip.

Sebuah cerita yang mudah terlupakan karena media massa (bagian lain dari rasa dingin) ditakdirkan ada untuk menumpuk isi kepala manusia dan mengaburkan substansi. Mengaburkan sesuatu yang benar-benar layak diingat dan sesuatu yang layak dilupakan.


Bila di kepala Narudin, dingin dalam puisi dingin tak tercatat adalah kata sifatyang semestinya terukurtentu saja itu bisa dipahami.

Karena dia adalah seseorang yang dibesarkan dengan sesuatu yang harus ada, pasti, terukur, dan memiliki refren. Dan sialnya, dia menganggap dingin tak tercatat juga sesuatu yang perlu dicatat dan dipenjarakan. Ia memposisikan termometer tidak lagi sebagai pemanis, tapi sebagai penjara.


Betapa ia adalah kritikus agung dan luar biasa. Dalam kritik itu, ia menulis, Dua baris pertama puisi ini (dingin tak tercatat) disebut sangat provokatif dan memiliki evokasi (daya sentak) terhadap pembaca awam.


Nah, sekarang saya selaku pembaca awam akan benar-benar tahu diri dan berkali-kali memberi tabik pada Narudin. Dan kalau boleh, bila saya menjadi GM, saya akan mengganti puisi saya jadi seperti ini:
Akal tak tercatat
Pada mistar rumah sakit jiwa

Atau kalau memang ini kurang ampuh untuk membasmi sesuatu yang tak masuk akal, maka seharusnya sejak awal kita todongkana bedil di mulut GM. Agar di kemudian hari dingin dapat tercatat dan masuk akal sebagaimana keinginan Narudin.

Ponorogo, 29 Agustus 2019

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article