Kontestasi Korupsi Makin Seksi

Rasyiqi
By Rasyiqi
7 Min Read
Ekspresi para koruptor (istimewa)
Ekspresi para koruptor (istimewa)

jfidTransparency International Indonesia (TII) merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia  tahun 2020 mengalami penurunan tiga angka dari tahun sebelumnya 2019. Dari skor 40 menjadi 37. Skor ini membawa Indonesia berada di rangking 102 dari 180 negara yang dilibatkan. Dalam hal ini, skor berdasarkan indikasi 0 (sangat korup) sampai 100 (sangat bersih). 

Di tingkat ASEAN, Indonesia berada di peringkat lima. Berada di bawah Singapura yang memperoleh skor IPK 85, Brunei Darussalam 60, Malaysia 51 dan Timur Leste 40. Sampai di sini, pertanyaan bernada pesimisme menggelinding, “kok bisa gini, ya? Kok makin parah, ya?.” Dan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, sebenarnya, tidak membutuhkan jawaban. Sebab, masyarakat sudah bisa menduga dan berspekulasi bahwa korupsi sudah menjadi, semacam, “tradisi” di dalam regulasi dan tubuh birokrasi bangsa ini.

Cukup berat sebenarnya saya menautkan “tradisi” dalam konteksi ini. Karena seolah-olah ada sesuatu yang terus-menerus dan berkelanjutan di sana; sesuatu yang tetap lestari. Tradisi biasanya diartikan sebagai suatu bentuk perbuatan yang dilakukan berualang-ulang dengan cara yang sama. Sehingga ketika term “tradisi” tadi diafiliasikan pada konteks korupsi, terkesan saya menghadirkan ruang pesimisme ke dalam ruang berpikir bahwa korupsi akan selamanya lestari. Tentu bukan demikian logikanya.

Saya kira, sebelum jauh ke sana, amat penting untuk lebih awal memperjelas dan mempertegas apa sebenarnya yang menjadi tetek-bengek dari berkecambahnya nafsu korupsi. Najwa Shihab, dengan satir mengatakan, “Pejabat yang korup itu, karena menghamba harta benda (uang) dan menjadikan Negara dan rakyat sebagai sapi perah”. Dengan kata lain, nafsu birahi para elite pejabat teradopsi akibat kekuatan uang. Uang diyakini menjanjikan segalanya. Tak ayal, Voltaire mengatakan agama manusia menjadi sama di hadapan uang. Uang tidak semata sebagai alat tukar. Tetapi lebih dari itu. Secara psikologis, banyak orang—barangkali termasuk pejabat—meyakini uang sebagai sumber kenikmatan dan kebahagiaan hidup.

Saya teringat pada tulisan essay Seno Gumira Ajidarma, yang berjudul, “Politik”. Pada poin tertentu, Seno menulis, “Politik sudah seperti seks: ramai-ramai dianggap kotor, tapi ramai-ramai pula dikerjakan”. Ini adalah realitas tak terbantahkan—meski terdengar memalukan sekaligus memilukan. Tidak sedikit dari pejabat yang mulanya mencela perilaku kotor ini, tapi pada akhirnya mereka tak kuat nafsu melawaan godaan menggiurkan. Seperti contoh kasus korupsi Gubernur Sulawesi Selatan: Nurdhin Abdullah, yang sempat viral. Nurdhin tersangka kasus dugaan suap proyek infrastruktur dengan nominal angka mencapai milyaran rupiah. Padahal, Nurdhin ini dikenal publik sebagai pejabat dengan reputasi baik. Bahkan oleh Bung Hatta ia pernah dinobatkan sebagai Anti-Corruption Award 2017 silam. 

Sejauh kita sadari, iklim politik Indonesia—meminjam istilahnya Najwa Shihab—mudah menyerongkan pejabat ke perilaku korup. Yang dianggap berintegritas pun bisa terseret kemudian hanyut. Yang dianggap kuat iman pun bisa terperosok ke jurang dehumanisasi ini.

Korupsi Sebagai Kontestasi

Di Indonesia, instituti hukum yang secara legal-formal mempunyai wawenang melakukan pencehagan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  KPK hadir mengisi gerowong ketidakpuasan masyarakat kepada pemerintah lainnya. Sebab demikian, masyarakat selalu berharap supaya komplotan tikus-tikus diberantas tuntas hingga sarangnya.

Tetapi pertanyaannya kemudian, mengapa seabrek hukuman tidak pernah membuat jera para koruptor? Ini terbukti dengan kasus yang tak pernah selesai hingga hari-hari ini. Selalu ada regenerasi. Barangkali inilah nuansa politik yang saya sebut sebagai “tradisi” di muka. Ada semacam kecendrungan “berkontestasi dalam berkorupsi”. Ibarat perlombaan, para  peserta berebut menjadi pemenang. Siapa yang cepat, dia yang dapat. Tak peduli itu hak rakyat atau aset negara, yang harus digilas.  

Belum lama ini, lagi-lagi kita dihebohkan dengan kasus korupsi Bansos yang menjerat Menteri Sosial Julianri Peter Batubara. Saat kita semua bertahan di tengah krisis, sekuat tenaga mencari pegangan tatkala semuanya begitu sulit, para elite pejabat—meminjam istilahnya Najwa Shihab—masih berakrobat dengan anggaran. Dalam hal ini, Iwan fals, ikut berkomentar, “Pandemi gini kok tega ya?”. Ya, kan yang terpenting bisa hidup mewah dan makan enak sendirian. Tak peduli yang di bawah menangis kelaparan. Lucu memang, tapi ini kenyataannya.

Terlepas dari itu semua, tentu kita tetap berharap ada langkah pasti dan efektif ke depan. Saya tertarik—sekaligus mendukung, sikap yang diambil Forum Pimred Pikiran Rakyat Media Network (PRMN) terkait penolaknnya terhadap kabijakan KPK yang, kabarnya, hendak mengganti istilah korupsi dengan sebutan ‘penyintas korupsi’. Sejak minggu, 29 Agustus 2021 kemarin, sebanyak 170 media PRMN sepakat ganti diksi ‘koruptor’ dengan istilah Maling, Rampok, atau Garong Uang Rakyat. 

Secara faktual, istilah koruptor yang sejauh ini dipakai untuk menyebut “maling negara”, terkesan biasa saja didengar. Ini terbukti, banyak tersangka masih bisa ketawa-ketawa, nyegir dan ekspresi bahagia lainnya. Seolah tidak bersalah, dan sedang baik-baik saja. Oleh karena itu, diksi Maling, Rampok, Garong Uang Rakyat oleh PRMN, saya kira sangat cocok sebagai representasi dari arogansi nafsu birahi pajabat publik yang tidak tahu diri.

Muhammad Quraish Shihab, ulama Indonesia, mengatakan, “Koruptor itu harus dipermalukan, karena mereka tidak punya malu. Mereka itu, maling”. Ini menegaskan bahwa hal yang perlu diupayakan, baik oleh masyarakat atau pemerintah, yakni membuat koruptor malu semalu-malunya, termasuk menyebut mereka “maling”. Pada babak selanjutnya, yang bersangkutan jangan (pernah) diberi kesempatan, sekecil apapun, untuk memegang (kembali) jabatan kepemerintahan, baik di tataran paling rendah sekalipun. 

Atau bisa juga, maling negara ini kita buatkan semacam “Monumen” atau “Patung” sebagai penghargaan sejarah. Kita tempatkan di sudut alun-alun kota setiap daerah—sesuai tempat tinggal pelaku. Jadi kelak, misalnya, anak-anak kita bertanya, gampang memberikan jawaban:

 “Ayah, itu patung siapa?”

 “Dia itu bapak proklamator bangsa kita, nak. Soekarno, namanya”.

 “Kalau yang kuning-kuning itu, ayah?” 

“Oh, kalau dia itu Garong Uang Rakyat, nak”.

Sumenep, 06 September 2021

Penulis: Rozinul Khalid adalah Mahasiswa prodi Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article