• Arta
  • Siasat
  • Tahta
  • Sasana
  • Histori
  • Rupa-Rupa
  • Flash
  • Kolumnis
  • Warta
    • Advertorial
    • Birokrasi
    • Budaya
    • Hukum dan Kriminal
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Politik
    • Profil
    • Surat Publik
    • Wisata
Menu
  • Arta
  • Siasat
  • Tahta
  • Sasana
  • Histori
  • Rupa-Rupa
  • Flash
  • Kolumnis
  • Warta
    • Advertorial
    • Birokrasi
    • Budaya
    • Hukum dan Kriminal
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Politik
    • Profil
    • Surat Publik
    • Wisata
Search
Close
Search
Close
  • Arta
  • Siasat
  • Tahta
  • Sasana
  • Histori
  • Rupa-Rupa
  • Flash
  • Kolumnis
  • Warta
    • Advertorial
    • Birokrasi
    • Budaya
    • Hukum dan Kriminal
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Politik
    • Profil
    • Surat Publik
    • Wisata
Menu
  • Arta
  • Siasat
  • Tahta
  • Sasana
  • Histori
  • Rupa-Rupa
  • Flash
  • Kolumnis
  • Warta
    • Advertorial
    • Birokrasi
    • Budaya
    • Hukum dan Kriminal
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Politik
    • Profil
    • Surat Publik
    • Wisata
Home»Kolumnis
2 Mins Read

Kekuasaan di Negeri Ini = Feodalisme

By Herry SantosoAgustus 24, 2020
Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email Telegram WhatsApp

jfID – KADANG kita suka merenung, yang berhak jadi pemimpin di negeri ini hanya segelintir kaum “hartawan”. Jangan sok bermimpi rakyat biasa bisa memimpin suatu daerah, apalagi di negara ini. Negeri ini sepenuhnya dikuasai oleh kaum elitis feodalis, burjuis, dan kapitalis. Mereka mengaku punya kedekatan dengan rakyat, rakyat yang mana? Sebab, rakyat kebanyakan hanya jadi penonton yang miskin dan kerdil dari pinggir lapangan kekuasaan! John Emerich Edward Dalberg Acton yang kemudian dikenal dengan Lord Acton (1833 – 1902) menyatakan, “kekuasaan itu cerderung korup. Kekuasaan absolut pasti 100 % korup”. (power tends to currupts. Absolute power currupts absolutely). Barangkali penyataan Lord Action itu tidaklah berlebihan. Di mana-mana penguasa selalu korup. Mengapa? Sebab kedudukannya berhasil dibangun dari membeli suara dan “tipu daya” pada rakyat jelata. Sudah tentu selama mereka berkuasa akan berusaha korup demi mengembalikan modal yang pernah dikeluarkan demi memburu singgasana. Inilah biang keladi yang menjadikan kekuasaan jauh dari amanah kerakyatan. Demokrasi cuma sebuah lipstik, dan demokrasi sebatas jargon propaganda politik yang memuakkan.

Bendara dan Kawula

Di atas kertas rakyat sebagai simbol “kawula” dan pemimpin sebagai “bendara”. Orang yang suka bicara tentang rakyat susungguhnya justru jauh dari rakyat. Dan lucunya orang yang sudah sering bicara tentang rakyat sok mewisuda dirinya sebagai demokrat sejati, pejuang kepentingan rakyat. Jujur, semua itu adalah fatamurgana.

Di negeri ini hampir tak satu pun pemimpin yang manifestasi kerakyatan lantaran mereka hanya ingin kehormatan dan langgengnya kekuasaan (oligarky) dalam sebuah dinasti. Simbol-simbol feodalisme pun selalu mewarnai kekuasaan misalnya : jika seorang pemimpin mau turun ke lapangan diikuti rombongan sebagai bawahannya, ada voorijder atau sirene meraung-raung dari pasukan pengawal, dan sebagainya. Jika kita akan memasuki sebuah kantor ada satpam di pos jaga terdepan, harus melalui prosedur yang bertele-tele, dus semua itu adalah simbol-simbol feodalisme kekuasaan absolut.


Simbol-simbol kekuasaan yang memanifestasikan antara “seorang bendara (pemimpin) dan kawula (rakyat)” tersebut adalah bentuk dari kultur feodalisme warisan kolonialis masa lalu yang menjauh dari demokrasi kerakyatan. Maka benar adanya jika suatu kekuasaan adalah lambang kesemuan dari penindasan terhadap rakyat. Kita perlu belajar dari negara miskin Timor Leste, ketika ada kunjungan seorang pemimpin setingkat bupati tidak ada seremoni laiknya di negeri ini. Juga negara-negara kaya laiknya Swiss, atau Canada. Kunjungan pejabat setingkat bupati/wali kota tidak perlu melebihi seorang raja. Sebab mereka menyadari bahwa yang punya jalan adalah rakyat, dan pemimpin identik dengan pelayan rakyat. Bagaimana ? ***

Herry Santoso, pemerhati sosial politik dan budaya, jurnalis aktif tinggal di Blitar, Jawa Timur

Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram WhatsApp

Baca Juga

Jacob Ereste, penulis produktif di usia yang tak lagi muda (foto: dok. Redaksi jurnal faktual.id)

Menulis untuk Menjaga Akal Tetap Sehat

5 Mins Read

Eksploitasi dan Perdagangan Manusia

6 Mins Read
Perang Rusia-Ukraina (foto: istimewa)

Menyoal Kecongkaan dan Hegemoni Barat atas Invasi Rusia terhadap Ukraina

4 Mins Read
Warga Desa Wadas/Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

Masih Tentang Wadas

3 Mins Read
Dr. Sirikit Syah, seorang Pengajar dan Pengamat Media

Tantangan Pers Indonesia Sekarang

4 Mins Read
Ilustrasi wawancara

Wawancara dengan Wakil Komite Nobel & Akademi Sastra

5 Mins Read
Add A Comment

Leave A Reply Cancel Reply

Anda harus masuk untuk berkomentar.

  • Tentang
  • Redaksi
  • Privacy Policy
  • Periklanan
Menu
  • Tentang
  • Redaksi
  • Privacy Policy
  • Periklanan
Facebook Twitter Youtube Instagram

Copyright © 2022 Jurrnalfaktual.id. All Rights Reserved

  • Tentang
  • Redaksi
  • Privacy Policy
  • Periklanan
Menu
  • Tentang
  • Redaksi
  • Privacy Policy
  • Periklanan

Copyright © 2022 BeramalBaik. All Rights Reserved

Home

Indeks

Nulis

Login

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

  • Arta
  • Flash
  • Headline
  • Histori
  • Kolumnis
  • Rupa-Rupa
  • Sasana
  • Siasat
  • Tahta
Menu
  • Arta
  • Flash
  • Headline
  • Histori
  • Kolumnis
  • Rupa-Rupa
  • Sasana
  • Siasat
  • Tahta

Berlangganan Pembaruan

Dapatkan artikel-artikel berita kreatif dari jf.id

Facebook Twitter Pinterest YouTube WhatsApp TikTok Telegram Discord RSS