Keblendok; Secarik Catatan Tentang Pilihan-Pilihan Etis

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read

Kisah-kisah pewayangan selalu menarik untuk dijadikan kaca benggala kehidupan. Seperti, dari sudut-pandang etika bernegara, karakter Kumbakarna dan Gunawan Wibisana. Meski Kumbakarna seorang raksasa dan menjatuhkan pilihan estisnya untuk membela negaranya yang dipimpin oleh seorang tiran, Rahwana, tapi ia adalah seorang yang mulia. Serat Tripama, buah karya Mangkunegara IV, telah mengabadikan sosok raksasa itu sebagai salah satu teladan etika bernegara.

Kumbakarna sadar bahwa Rahwana adalah seorang raja yang jahat dan kejam. Karena kepentingan pribadinya, ia menggiring negaranya, Alengka, ke ambang kehancuran. Tapi dari perspektif Kumbakarna, Rahwana dan Alengka adalah dua hal yang berbeda, meski secara tak langsung apa yang menimpa Alengka tak dapat dilepaskan dari apa yang diperbuat oleh Rahwana. Dalam khazanah budaya Jawa, hal ini disebut sebagai “keblendok” yang sepadan dengan ungkapan “terkena getahnya” (yang berbuat adalah orang lain, tapi kita jugalah yang mesti menanggung akibatnya).

Dalam ilmu antropologi istilah keblendok ini dapat disepadankan dengan istilah stereotype (Era “Klambrangan”, Era Desas-desus, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Seumpamanya, bagi orang-orang luar Ponorogo warok itu identik dengan kejadugan dan gemblakan (seorang yang secara seksual memiliki orientasi biseksual). Padahal, tak semua warok atau semua orang Ponorogo menyukai hubungan sesama jenis alias memelihara gemblak dan tak selamanya pula praktik hubungan sesama jenis hanya ada di Ponorogo. Juga, bagi orang-orang luar Jogja, orang-orang mataraman dikenal halus tapi urik dan tukang gelembuk (licik dan lihai membujuk). Seperti kisah para pembangkang, Ki Ageng Mangir dan Pangeran Sambernyawa, yang dapat ditundukkan dengan strategi “rantai emas,” dengan mengasih mereka perempuan—meski dalam kasus Pangeran Sambernyawa, setelah beberapa bulan, perempuan triman itu dikembalikan lagi pada Pangeran Mangkubumi (HB I). Tapi nyatanya, strategi “rantai emas” itu pun tak hanya berlaku di Jogja atau yang berkaitan dengannya. Penundukkan Ki Ageng Kutu di Ponorogo Selatan rupanya juga dipicu oleh janji Bathara Katong (Adipati pertama Ponorogo) untuk mengawini Niken Gandini asal putri Ki Ageng Kutu ini dapat mencuri dan memberikan keris pusaka ayahnya, Kyai Condongrawe, ke putra Brawijaya V dengan putri Bagelen tersebut (Menganyam yang Terpendam [Seusai Menengok Makam Syekh Yahuda], Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Demikian pula mengenai 600 WNI eks IS (Islamic State) yang kini tengah ramai dipergunjingkan “kepulangannya” ke Indonesia oleh publik. Mau tak mau, pada akhirnya, negara dan seluruh warga negara Indonesia keblendok masalah 600 orang ini—padahal tak semua WNI merupakan anggota ataupun simpatisan IS. Kembali berkaca pada kisah pewayangan, ada dua sikap etis yang dapat dipilih. Pertama, adalah pilihan sikap Kumbakarna yang dapat disederhanakan menjadi ungkapan “right or wrong is my country.” Dalam hubungan internasional, memang, secara moral, “dosa” 600 orang eks IS tersebut dibebankan pada negara asalnya. Ibarat menghadapi masalah “bocah-bocah nakal” ataupun sebaliknya, “bocah-bocah baik yang berprestasi,” sudah pasti banyak orang akan mengaitkannya dengan orangtua mereka.

Sementara pilihan kedua, adalah sikap Gunawan Wibisana yang memilih malu dan justru memihak pihak musuh Rahwana dan Alengka: Rama Wijaya. Wibisana tak mau keblendok “dosa” Alengka dan Rahwana. Dalam perspektifnya, membela orang ber-“dosa” sama saja dengan berbuat “dosa” itu sendiri. Itulah kenapa secara hukum positif orang yang melindungi penjahat dapat dikenai sanksi hukum pula. Ibarat kain lap yang berfungsi untuk membersihkan piring-piring ataupun gelas-gelas kotor. Mau tak mau, meski memiliki niat yang luhur untuk membersihkan, ia pun mesti kotor (keblendok) dan pada akhirnya ikut dicuci pula laiknya piring-piring ataupun gelas-gelas kotor yang dibersihkannya. Maka dari itu, Gunawan Wibisana memilih hengkang dari Alengka dan memihak musuh yang baginya berada di pihak yang secara hukum benar.

Tentang yang mana sikap yang paling mulia, antara Kumbakarna dan Gunawan Wibisana, keduanya memiliki dasar dan pengikutnya sendiri. Bagi seorang yang berjiwa patriotis tentu pilihannya ada pada Kumbakarna. Karena itulah seorang Mangkunegara IV, yang merupakan pemimpin Legiun Mangkunegaran, di mana pembentukan dan pendanaannya tak dapat dilepaskan dari peran Belanda, mengabadikan pilihan sikap etis Kumbakarna dalam Serat Tripama yang secara politis-praktis menjadi legitimasinya untuk melawan pemberontakan Pangeran Dipanegara pada Belanda.

Adapun pilihan etis Gunawan Wibisana pada “kebenaran mutlak” membuahkan kelempangan jalan kematiannya sendiri tanpa terbebani dosa-dosa masa lalu. Bahkan, pada akhirnya, ia justru dapat menolong dan menyempurnakan kematian Kumbakarna, yang adalah kakaknya sendiri. 

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article