Kain Pancasila

bramadapp
2 Min Read
"Du(m)eling," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
"Du(m)eling," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

jfid – Setiap kali berada di pengujung September, Oktober, kita selalu bertemu karikatur yang menggelikan: mereka yang sebelumnya kerap dituding anti-Pancasila, tiba-tiba ramai mengkampanyekan kesaktian Pancasila; sementara mereka yang sebelumnya mendaku paling Pancasila, tiba-tiba sepi anyep.

Kedua pihak yang berbeda posisi karikatural tersebut, menurut saya, sama-sama menggelikan. Kita semua memang senang sekali memperalat Pancasila. Sayangnya, kita memperalat Pancasila bukan untuk politik kebangsaan, tapi lebih untuk kepentingan politik golongan saja.

Karena bukan untuk politik kebangsaan, kita memperalat Pancasila tidak sebagai gagasan utuh. Beberapa kelompok, misalnya, hanya menggembor-gemborkan gagasan kebhinnekaannya saja, dengan mengabaikan gagasan-gagasan lainnya; sementara sebagian lainnya hanya mementingkan ketuhanannya saja, dengan mengecilkan ide selainnya.

Pancasila itu seperti kain, di mana gagasan-gagasan penyusunnya ibarat benang pintal. Jika benang-benang kebhinekaan atau ketuhanan itu kita cabuti sendiri-sendiri, dipisahkan dari kain Pancasila yang telah ditenun oleh para pendahulu kita, tak heran bangsa kita gampang sekali masuk angin. Pancasila kita biarkan jadi kain compang-camping yang gagal menutupi aurat kebangsaan kita.

Jadi, berhentilah mencabuti benang pada kain Pancasila kita. Berhentilah merasa paling Pancasila, merasa seolah sedang mengibar-ngibarkan panji Pancasila, padahal yang sedang kita kibar-kibarkan sebenarnya hanyalah selembar benang saja.

Ingatlah pepatah, di mana kayu bengkok, di sana musang mengintai.

Bramada Pratama Putra

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article