Islam Nusantara dalam Terang Filsafat dan Kebudayaan

Heru Harjo Hutomo
6 Min Read
Heru Harjo Hutomo, Peneliti, Pelukis dan Pemusik (foto: Dok. Redaksi)
Heru Harjo Hutomo, Peneliti, Pelukis dan Pemusik (foto: Dok. Redaksi)

jfid – Mengulik tradisi maupun sistem kekerabatan pesantren tak ubahnya mengulik hal yang sama pada keraton di Jawa. Abdurrahman Wahid pernah menyatakan bahwa pesantren merupakan subkultur Jawa. Saya kira pernyataan ini dapat membuat wijang, yang tentu perlu dielaborasikan lebih lanjut, perihal Islam Nusantara yang bagi sementara orang selalu dilihat dari perspektif Jawa dan luar Jawa.

Istilah Nusantara terkadang memang diidentikkan dengan Jawa, meski arti yang sesungguhnya tak demikian adanya. Ada yang mengartikan Nusantara sebagai wilayah kepulauan, sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa pulau yang terpisah. Ada pula yang mengartikannya sebagai wilayah yang justru berada di luar Jawa.

Pada dasarnya Nusantara sendiri bukanlah asli istilah Jawa. Ia berasal dari bahasa sansekerta yang secara harfiah berarti wilayah yang mengambang atau wilayah persinggungan. Tak jelas benar apakah wilayah yang mengambang ini adalah Indonesia di masa kini yang berada di antara daratan benua Asia dan Australia maupun di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

Sebab, konon ekspansi Majapahit di bawah Patih Gajah Mada tak sekedar sampai di wilayah Sumatra sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Prabu Kertanegara pada ekspedisi pamalayu-nya, melainkan sampai di Siam atau Thailand kini. Tengok pula beberapa bendera negara seperti Malaysia, Singapura, ataupun Thailand yang didominasi oleh warna merah-putih dimana pada masa Majapahit disebut sebagai “Gula Klapa.”

Adakah, dengan berkaca pada data-data di atas, Nusantara berarti sebuah “pandangan hidup” yang tak sekedar mengacu pada wilayah geografis, sebagaimana Atlantis yang hingga hari ini sekedar bersifat diskursif semata, namun ketika ditautkan berbagai tilaran masa silam seakan membentuk atau merujuk pada sesuatu yang sama?

Dalam agama Islam konon kepercayaan akan keesaan Tuhan sudah hidup jauh sebelum Nabi Muhammad hadir untuk menyempurnakan akhlaq para umatnya. Jadi, terkadang ungkapan yang menyatakan bahwa di Jawa problem tentang keesaan Tuhan telah lama selesai memang dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, misi kenabian Nabi Muhammad memang secara khusus adalah untuk menggarap masalah akhlaq.

Sebagaimana istilah “Islam” barangkali, yang tak pernah mengacu pada wilayah geografis, Nusantara pada akhirnya pun tak perlu diributkan dengan logika Jawa dan luar Jawa. Toh, persebaran Islam ala Sunan Kalijaga konon berlangsung sampai di wilayah Nusa Tenggara, dengan agama Wetu Telu serta tarekat Anfusiyahnya. Demikian pula seusai Perang Jawa, Islam Diponegaran pun juga kumandang di Makassar.

Ketika mengartikan Nusantara sebagai sebuah wilayah yang mengambang atau sebuah ruang persinggungan, maka eksistensi pesantren sebagai subkultur Jawa dapatlah dipahami. Taruhlah aksara pegon yang digunakan sebagai sarana tulis-menulis di pesantren. Aksara ini memang aksara yang sekilas membingungkan, di satu sisi ia adalah aksara-aksara Arab, tapi di sisin lain ia berbahasa Jawa ataupun Melayu. Sementara di Jawa, ketika mengacu pada kesusastraan keraton sebelum para pujangganya nyantri, budaya tulis-menulis berlangsung dengan memakai aksara dentawiyanjana.

Namun demikian, tak benar pula budaya Jawa di lingkungan keraton juga sama sekali sebuah kultur. Berbeda dengan Abdurrahman Wahid, ia pun pada akhirnya adalah juga sebuah subkultur. Hal ini dapat dipahami dari berbagai karya sastra Jawa dimana para pujangganya pernah nyantri. Meskipun tak memakai aksara pegon atau memakai aksara dentawiyanjana, Serat Wulangreh dan Serat Wedhatama—untuk menyebut beberapa kepustakaannya—sangat gamblang menyajikan Islam yang sufistik lengkap dengan pedoman hukum yang meliputi al-Qur’an, hadist, ijmak, dan kiyas.

Lantas, ketika pesantren dan keraton adalah sama-sama subkulturnya, apakah yang menjadi kulturnya? Saya kira kita patut kembali lagi ke pengertian tentang apakah yang disebut sebagai Jawa itu. Dan jelas, dalam hal ini, Jawa pun tak sekedar mengacu pada fakta geografis. Bukan karena di provinsi Sumatra atau bahkan Suriname terdapat komunitas-komunitas orang Jawa dengan segala kejawaannya, tapi Jawa di sini adalah juga berarti pandangan hidup, kebiasaan dan cara hidup. Bukankah di Jawa sendiri seorang yang belum mengerti kerap dilabeli sebagai “durung njawa” atau belum berbudipekerti?

Istilah budi pekerti ini memang dapat disepadankan dengan akhlaq dalam agama Islam. Budi pekerti pada dasarnya mencakup pengertian budi yang lazimnya diartikan sebagai akal dan pekerti yang diartikan sebagai perilaku. Di Jawa sebenarnya istilah budi lebih mengacu pada istilah nous dalamYunani purba dan bukannya logos yang sejatinya berarti kalam. Seorang mistikus legendaris Jerman, Meister Eickhart, mengartikan budi ini sebagai Seeleinfunklein atau pletikan ruh. Dengan demikian, antara risalah keesaan dalam perspektif agama dan Nusantara dalam perspektif filsafat dan kebudayaan sesungguhnya tak jauh berbeda. Risalah keesaan ini dalam bahasa Jawa kuno disebut dengan istilah Kapitayan (Gula Kelapa Nuswantara, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Heru Harjo Hutomo: Penulis, perupa dan pemusik, penulis buku Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai (2011), Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang (2020), Kahanan: Melongok dari yang Tak Pokok (2021), Sangkan-Paran (2021).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article