Hikayat Putih

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
Heru Harjo Hutomo, Peneliti, Pelukis dan Pemusik (foto: Dok. Redaksi)
Heru Harjo Hutomo, Peneliti, Pelukis dan Pemusik (foto: Dok. Redaksi)

Wayang iku

Wewayangan kang satuhu

Lelakoning janma ing alam janaloka

Titenana wong cidra mangsa langgenga

Wayang itu

Adalah kacabenggala

Kehidupan manusia di dunia

Yang ingkar janji tak akan lama

jfid – Dalam kisah pewayangan Jawa ada satu karakter yang dinamakan Seta. Ia merupakan putra sulung Prabu Matswapati di Wiratha, kakak dari Wiratsangka, Utara dan Utari, isteri kedua Abimanyu. Konon, karakternya keras dan getapan atau mudah marah laiknya Baladewa.

Dalam lakon Aji Narantaka, Seta—yang mesti selibat seperti Bhisma karena menjadi seorang rsi—dikisahkan merupakan guru dari Gatotkaca. Secara harfiah, Seta bermakna “putih” yang juga seperti halnya Baladewa yang acap dipanggil Bima sebagai “Bule” karena kulitnya memang putih.

“Putih” memang selama ini lekat dengan citra kesucian ataupun kelurusan. Dan memang, baik Rsi Seta maupun Baladewa seperti hidup tanpa dosa yang berarti dimana ketika mati mereka meninggalkan dunia dengan penuh pujian dan penghormatan: Rsi Seta menjadi seorang martir pertama dalam perang besar Bharatayudha dan Baladewa mati bersama raganya dengan dijemput oleh sebuah kereta. Kedua ksatria pinandhita itu dikenal tak pernah berbohong, ngomong apa adanya, dan berusaha selalu lurus meskipun terkadang hidup tak melulu soal kelurusan.

Tapi kisah pewayangan Jawa tak sesederhana penilaian para remaja. Ternyata, Seta yang berarti “putih” tak selamanya merujuk pada kesucian maupun kelurusan. Pada karakter Setatama ternyata Seta di sini mengacu pada hewan menjijikkan yang dikenal sebagai set (sejenis belatung yang membikin busuk daging, baik daging orang maupun buah-buahan). Dan memang Setatama merupakan anak pujan atau jadi-jadian dari set yang berkerumun pada borok si Lara Amis atau Dewi Durgandini, adik dari Prabu Matswapati.

Lara Amis inilah yang kelak menjadi isteri Prabu Santanu dengan syarat bahwa anak-anaknyalah yang menjadi pewaris tahta Hastinapura, yang karenanya Bhisma kelak bersumpah untuk berselibat dan tak hendak meminta haknya atas tahta kerajaan besar itu. Lara Amis sendiri saat itu adalah bekas isteri Parasara, ayah Abiyasa, eyang Pandawa dan Kurawa. Tak jelas benar soal perceraian antara Parasara dan Lara Amis. Tapi biasanya kisah pewayangan Jawa adalah sebuah pasemon atas peristiwa sejarah tertentu yang memerlukan sebuah penelitian khusus tentang apa yang sebenar-benarnya terjadi (Rumor dan Hoaks dalam Pewayangan Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Bhisma, sebagai seorang ksatria-pinandhita yang terkenal berjiwa besar, kerap memanggil ibu tirinya itu, Lara Amis, sebagai “Daseyi” yang berarti orang yang berasal dari kaum dasa atau budak. Keamisan Dewi Durgandini, yang karenanya ia dinamakan Lara Amis, merupakan pembawaan yang, setelah bertemu dengan Parasara, disembuhkan dan akhirnya menjadi seorang perempuan rupawan tapi penuh tuntutan. Penyakit amis yang gawan atau pembawaan itu ternyata disebabkan oleh set-set yang menggerogoti tubuh Durgandini. Dan atas kesaktian Parasara akhirnya set-set itu dijadikan seorang anak yang bernama Setatama. Kelak Setatama ini, atas keikutsertaannya dalam upaya pemberontakan saudaranya Kencaka dan Kencakarupa melawan Prabu Matswapati di Wiratha, dibantai oleh Jagal Abilawa, nama samaran Bima, yang tak lain adalah buyut dari Parasara sendiri. Demikianlah “putih” dalam khazanah pewayangan Jawa yang ternyata tak senantiasa suci, lurus, maupun setia sebagaimana yang diangankan kebanyakan orang yang berani wirang.

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)  

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article