Genealogi Politik Wani Wirang

Heru Harjo Hutomo
6 Min Read

jfID – Entah telah berapa kali fakta yang sebaliknya tersaji pada kalangan yang memilih untuk beragama secara puritan dan secara negatif gemar menuding orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh. Acapkali mereka, selain kultur kejawen yang tak mencerminkan nilai-nilai keislaman yang sesuai dengan standar mereka, memainkan isu soal komunisme dan keturunan PKI pada orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh tersebut.

Di desa tetangga saya terdapat sebuah kisah tentang seorang aktifis Lekra yang pernah menyutradarai pertunjukan ketoprak (sandiwara tradisional Jawa) yang berjudul “Matine Gusti Allah.” Dan pasca 65 sang sutradara itu dikabarkan hilang tanpa kejelasan laiknya nasib para orang yang dituding sebagai anggota ataupun simpatisan PKI lainnya. Yang menarik buat saya adalah fakta bahwa kelak salah satu cucu sang aktifis Lekra itu menjadi seorang ustadz yang berpaham puritan dan kerap memainkan pula isu-isu seputar komunisme untuk membunuh karakter orang-orang yang ia anggap sebagai musuh politik.

Atau pernah pula terdapat seorang ustadz, juga masih di daerah saya, yang seperti alergi terhadap orang-orang yang ditengarai tak pernah melakukan ritual bernuansa Islam dan menjadi seorang warok dengan segala kebiasaannya. Tanpa sadar, seperti ustadz yang anti-komunis di atas, ia juga menghakimi kultur warok sebagai suatu hal yang bertentangan dengan akidah agama Islam yang sesuai dengan standarnya. Padahal, kakek sang ustadz sendiri adalah seorang warok di masanya.

Akhir-akhir ini ramai pula jagat perpolitikan Indonesia, seperti tahun 2017-2019, disesaki dengan isu-isu seputar komunisme dan keturunan PKI. Seorang yang katanya aktifis muda Muhammadiyah tiba-tiba menuding beberapa pengurus Banser memiliki kaitan dengan PKI. Saya tak tahu dan tak mau tahu apakah tuduhan sang ustasz itu benar atau salah. Karena bagi saya pribadi, baik keturunan PKI maupun keturunan Habib, sama-sama tak berguna untuk menilai seseorang. Tapi peristiwa ini seperti mengingatkan saya pada kisah-kisah yang saya sajikan di awal tulisan ini.

Pendekatan politik wani wirang memang telah menjadi variasi tersendiri dalam drama politik Indonesia belakangan ini (Atas Nama Jumbleng: Mengulik Politik Wani Wirang di Penghujung Ramadhan, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut, saya kira banyak dari orang yang memilih pendekatan wani wirang hanya sedang mempermalukan diri mereka sendiri.

Pola wani wirang sebenarnya tak semata digunakan dalam dunia politik, tapi juga kebiasaan sehari-hari yang mudah kita jumpai di sekitar kita. Mulai dari pola interaksi dan strategi untuk meraih sesuatu, hampir semua orang yang memilih pendekatan wani wirang terbukti memang sedang mempermalukan dirinya sendiri dengan menuding atau menisbahkan berbagai wirang tersebut pada pihak lainnya, terutama yang jelas-jelas dianggap sebagai musuh. Lazimnya butuh beberapa waktu agar wirang-wirang tersebut terungkap dan membuat yang bersangkutan diam atau tak bikin gaduh.

Dalam kesusastraan Jawa pola wani wirang pernah tercatat dalam Jangka Jayabaya yang melukiskan keadaan sebuah zaman: “kali ilang kedhunge (sungai hilang sumbernya), pasar ilang kumandhange (pasar hilang gemanya), dan wong wadon ilang wirange (wanita hilang malunya).” Sasmita zaman ini digemakan kembali oleh Ronggawarsita dalam Serat Kalatidha di mana ia menyebutnya sebagai “zaman edan.” Dengan kata lain, pola wani wirang adalah sebuah pola yang secara sadar diri memilih untuk “ngedan” agar keduman (kebagian).

Istilah “edan” dalam Serat Kalatidha sama sekali tak merujuk pada fenomena sakit jiwa. Secara simbolik, ia lebih mengacu pada sikap dan perilaku yang cenderung melawan aturan, moral, hukum logika, dan bahkan hukum positif, dst., dalam upayanya meraih apa yang diinginkan. Adapun istilah “wong wadon” secara simbolik tak pula merujuk pada gender tertentu. Sebab dalam kebudayaan Jawa orang mengenal apa yang dinamakan sebagai konsep “roro ning atunggil” di mana dua hal yang paradoksal senantiasa memiliki hubungan yang organik, ketika yang satu sisi tak mungkin terdefinisikan tanpa keberadaan sisi lainnya, entah positit maupun negatif  (Puasa, Multiplisitas, dan Sesama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Ibaratkan cerita pewayangan mengenai Durga dan segala kejahatan yang diorganisirnya dan dioperasikan oleh para selingkuhannya, seumpamanya Bathara Kala dan para jajarannya yang jelas-jelas bukanlah karakter yang dikenal baik. Tapi, di samping nyata-nyata tak baik, adakalanya kejahatan Durga juga tersembunyi di balik kesucian seorang Bathara Guru yang merupakan penguasa Triloka—yang memerlukan waktu yang tak sekejap untuk membongkar dan menggagalkannya. Dan itu artinya, istilah “wadon” yang identik dengan istilah “wirang” pada ungkapan “wong wadon ilang wirange,” merujuk pada sebuah pola dan jaringan yang melibatkan Durga yang notabene dapat manjing ajur-ajer laksana air yang memiliki bentuk yang seturut dengan wadahnya. Dengan demikian, seandainya merunut jagat politik sejak 2014, sungguh terdapat banyak tamsil tentang diskursus maupun aksi berbau Durga yang kebetulan berkayangan di Pasetran Ganda Mayit. 

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article