Gandawyuha: Penghikmatan Toleransi dan Spritualitas

Tjahjono Widarmanto
9 Min Read

jfid – Nusantara sejak dulu kala memiliki akar yang kuat terkait keberagaman, termasuk di dalamnya keberagaman religiusitas atau keyakinan spiritualitas. Keberagaman dalam religiusitas dan keyakinan ini sesuatu yang niscaya yang memunculkan karakter religiusitas sebagai ciri karakteristik Indonesia. Jauh sebelum Sutasoma menyebut bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa di era Majapahit, di candi Borobudur telah bergaung mitreka satata yang melukiskan toleransi antar agama di Nusantara.

Religiusitas dan keyakinan spiritualitas yang lahir di bumi nusantara ini muncul dalam bentuk agama-agama lokal. Agama-agama lokal tersebut merupakan ungkapan akan kerinduan kepada Sang Pencipta, Sang Awal, Semesta, penyadaran akan kefanaan sekaligus menjadi tuntunan dalam interaksi sosial, baik dengan sesama maupun dengan semesta, mikrokosmos dan makrokosmos.

Nusantara sebagai entitas budaya memiliki kekayaan yang beragam berkait dengan pandangan dan laku spiritual ini. Sungguhpun demikian keberagaman ini mengalir pada muara yang sama yaitu esensi pencarian dan penghayatan atas Tuhan. Keberagaman ini pula, sejak dulu kala sudah menjadi dasar sebagai dialog, perjumpaan agama-agama lokal dengan agama-agama global dari daratan Hindia, Eropa, dan Timur Tengah.

Islam Nusaantra menjadi contoh paling nyata perjumpaan mesra itu yang tak hanya menggugah aspek spiritual namun juga menciptakan nuansa kultural yang berbasis religi. Perjumpaan mesra ini juga muncul jauh hari sebelum itu, yaitu perjumpaan spiritual Budha dengan agama-agama lokal, spiritual Hindu dengan religi lokal, agama Nasrani dan Katolik dengan sipritual lokal, bahkan kelak perjumpaan antar agama global itu, misalnya ‘dialog mesra’ Hindu dengan Budha, Budha dengan Katolik (Nasrani), Islam dengan Katolik, Budha, Hindu, Khong hucu; perjumpaan mesra dan dialog mesra ini dimungkinkan tanpa harus mencampuradukkan karena semua religi memiliki benang merah yang sama.

Terkait dengan konsep-konsep spiritual, Nusantara sebagai etintas budaya yang berkarakter religi, memiliki kekayaan yang berlimpah ruah. Laku-laku tersebut bisa dilihat pada, misalnya Parmalim dari Batak, Sunda Wiwitan dari Jawa Barat (Sunda), berbagai variasi aliran Kejawen dari Jawa (misalnya, Pangestu, Sumarah, Sapta Darma, Samin Sedhulur Sikep, dll), Kaharingan dari suku Dayak Kalimantan, Lamaholot dari Flores, Marapu dari NTT, Ugamo Bangso Batek dari suku Batak, Mapurondo dari Sulawesi Barat, dan masih banyak lagi. Semua laku tersebut memiliki dua dimensi yaitu dimensi ruhaniah dan dimensi sosial.

Agama-agama lokal di Indonesia merupakan sistem keyakinan sipiritual yang dianut, dihayati dan dijalankan secara turun-menurun oleh masyarakat nusantara jauh sebelum datangnya agama-agama global, baik dari Hindia, Eropa maupun Timur Tengah. Rahmat Subagya (1981) menyebutnya sebagai agama asli, yaitu sistem sipiritualitas asli yang tidak bercampur dengan agama-agama lain yang datang ke Nusantara kemudian.

Secara sosiologis, konsep agama asli adalah realitas spiritualitas yang ditemukan di tengah-tengah masyarakat, hidup dan berkembang di dalamanya baik secara individual maupun komunal. Keyakinan dan spiritulitas tersebut diyakini secara turun-temurun oleh masyarakat nusantara jauh sebelum agama-agama yang datang kemudian.

Datangnya agama-agama besar lainnya dari India, Eropa dan Timur Tengah semakin menyemarakkan kebhinekaan religiusitas dan spiritualitas Nusantara. Kemudahan dan kelenturan dalam beradaptasi dengan budaya baru menjadikan tanah Nusantara menjadi lahan subur bagi penyerbukan silang budaya. Yudi Latif (2011) menunjukkan ciri khas suku bangsa Nusantara adalah kemampuannya dan kesanggupannya dalam menerima, mengadopsi, dan menumbuhkan budaya, ideologi, dan religiusitas apapun sejauh dapat dicerna oleh sistem sosial dan nilai-nilai setempat. Hal ini menunjukan bahwa salah satu inklusivitas yang utama pada masyarakat Nusantara adalah kesediaan menerima agama-agama yang datang kemudian karena masyakat Nusantara memiliki karakter religius.

Paparan di atas menunjukan pula bahwa karakter religius masyarakat Nusantara berkait erat dengan sistem sosial dan nilai-nilai masyarakat Nusantara. Religi menjadi salah satu bagian penting pada suatu komunitas sosial yang berfungsi membentuk sistem ideologi (Leslie dalam Radam;2001). Religi memiliki dua dimensi yaitu dimensi individual yang transendental dan dimensi sosial yang horizontal. Setiap religiusitas dan sipiritualitas selalu menyakini Zat yang Adi Kodrati.

Kehadiran religiusitas dan agama-agama pada sebuah komunitas sosial berangkat pada kesadaran bahwa pada kodratnya manusia itu lemah. Pada situasi semacam itulah mereka secara intuitif mencari sandaran vertikal yang dapat menumbuhkan harapan pertolongan atau perlindungan terhadap kondisi yang lemah tersebut. Penghayatan atas spiritualitas dan religiusitas tertentu bisa memunculkan pengalaman spiritulitas yang berupa pengalaman yang numenous, khusus dan mysterium tremensdum yang dicitrakan oleh Rudolf Otto dalam bukunya The Idea of the Holy (dalam Radam;2001) sebagai pengalaman tentang yang adikodrati, pengalaman yang misterius namun sesuatu yang sakral dan dirindukan.

Dalam penghayatan yang sakral itu mereka menuju dan menemu Zat yang tertinggi untuk diimani dan dirasakan walau dengan berbagai penyebutan berbeda, seperti di Jawa digambarkan sebagai tan kena tinaya, tan kena winirasa (Sesuatu yang tak bisa dibayangkan, Sesuatu yang tak bisa dirasakan) dengan sebutan Hyang Murbeng Dumadi, Hyang Wenang, yang di Sumba Barat disebut sebagai Ndapa teki tamo numa ngara (Yang Tak diberi Nama dan Tak Diberi Gelar), di tanah Batak disebut sebagai Ompu, Tuan Muala Jadi Nabolon, di Nias disebut sebagai Lowalangi, di Bali disebut Hyang Tunggal, di Sulawesi yang sakral itu disebut sebagai Puang Motoa, di beberapa suku Kalimantan disebut sebagai Pahotara, Jubata atau Mahatala.

Nusantara sebagai bumi yang memiliki karakter religiusitas menyambut kedatangan agama-agama global dari Hindia, Eropa dan Timur Tengah dengan baik. Bahkan terjadi perjumpaan dengan toleransi yang mesra, proses saling belajar saling mengisi, yang kesemuanya semakin memperkokoh Nusantara sebagai bangsa yang berkarakter religius. Keberagaman, toleransi dan semangat pencarian spiritualitas dan religiusitas Nusantara tercermin dalam relief-relief Gandawyuha di candi Borobudur lorong dua, tiga dan empat dengan 460 panel.

Relief Gandawyuha dianggap puncak nilai-nilai yang ada di Borobudur. Relief Gandawyuha sendiri merupakan relief-relief yang berdasar pada teks Sutra Gandavyuha pada abad ke-2 masehi. Disebut juga sebagai Dharmadhatupravesana-parivatra atau Acintavimoksa yang mengisahkan perjalanan Sudhana dalam pengembaraannya mencari ilmu pencarian ilmu kebenaran (the ultimate truth). Pengembaraan Sudhana dalam pencarian ilmunya melewati 110 kota dan menemui 110 Kalyanamitra atau mita handal (guru) di antaranya ada 54 minta handal dengan latar belakang berbeda, antara lain bhiksu, biksuni, perumah tangga (ratnacuda), pedagang, brahmana, raja (anala), anak laki-laki, anak perempuan, pelaut, wanita penghibur, tukang emas, dewa-dewi, ratri dan juga budhis.

Relief naratif Gandawyuha yang berkisah perjalanan Sudana ini merefleksikan nilai-nilai religiusitas, metta (cinta kasih), karuna (kasih sayang), mudita (simpati), bebas dari belenggu ketamakan, arhat (pemadaman nafsu). Nilai-nilai yang menonjol adalah nilai untuk semangat belajar tanpa kenal lelah, sikap keterbukaan dalam mencari ilmu dengan berbagai sumber tanpa pandang bulu kedudukan sumber tersebut di masyaraka, dan sikap toleransi dalam belajar sipiritual.

Akhirnya, sampailah kita pada sebuah kesepakatan bahwa melalui penghikmatan Gandawyuha kita menghayati kembali berbagai ragam religiusitas Nusantara untuk merawat Indonesia untuk lebih toleran, menghormati pluralisme dan damai. Menjadi tugas kita bersama untuk menjadikan nilai-nilai religiusitas dan spritulalitas yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara ini menjadi milik bersama yang mengokohkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berkarakter religi.****

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article