Enframing

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
Gambar ilustrasi "Infiltran," 20x40 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2020
Gambar ilustrasi "Infiltran," 20x40 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2020

Suatu hari saya melihat seorang driver ojol di sebuah angkringan. Wajahnya terlihat kusam khas pekerja jalanan. Ketika sama-sama ngopi, saya iseng untuk bertanya, “Tak narik, Bung?”

Nggak, Mas. Lagi ke-suspend,” jawabnya pasrah.

jfID – Saya, yang sejujurnya ndesa, tak tahu menahu tentang apa itu suspend dalam konteks per-ojol-an. Setahu saya suspend berkaitan dengan dekonstruksi Derrida yang mengacu pada penundaan makna (Dekonstruksi dan Jalan Pembebasan, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Tapi dalam per-ojol-an suspend itu merujuk pada sanksi yang mesti diterima oleh driver ojol karena melanggar peraturan tertentu atau atas laporan para customer-nya. Seumpamanya sengaja menolak 2 atau 3 kali orderan secara berturut-turut ataupun atas desakan para customer yang merasa dirugikan: melakukan pemaksaan, pelecehan seksual, dst. Konsekuensi yang terakhir ini memerlukan pemanggilan dan sidang nyata di kantor ojol yang bersangkutan.

Yang menarik dari kasus Bung ojol tersebut adalah bungkamnya sisi kemanusiaan dimana semuanya telah ditentukan oleh sebuah sistem digital yang bersifat otomatis dan tak mengenal pengistimewaan—sekali pun, misalnya, si driver ojol adalah seorang Eddie Murphy, tetap saja ia mesti pasrah dan bersabar dalam menghadapi itu semua, sebab semuanya telah ditentukan oleh sistem digital yang bekerja dengan logikanya sendiri. Dengan kata lain, cara kerja sistem yang terkomputerisasi memang tak mengenal istilah tebang-pilih. Serevolusioner apapun sampeyan seumpamanya, komputer tetap akan melihatnya secara abstrak, sekedar deretan angka atau nomor pengenal belaka.

Sistem pengaturan digital atau yang telah terkomputerisasi yang di hari ini sudah lazim dipakai dalam perusahaan-perusahaan daring ataupun sistem layanan birokrasi (adminduk) di negara ini, di satu sisi memang sangat “egaliter”, menyamakan status dan daya pengaruh siapa pun, tak peduli siapa sampeyan dan pernah apa sampeyan. Tapi di lain sisi, sistem tersebut seperti telah mencerabut rasa kemanusiaan pada sebuah sistem dimana seseorang berada. Heidegger suatu ketika pernah membongkar cara kerja teknologi yang ia istilahkan sebagai “enframing” dimana, singkatnya, ia sepadan dengan otoritarianisme dan totalitarianisme yang menutup kemungkinan lainnya dalam melihat dan menampilkan seorang manusia. Taruhlah seorang driver ojol di atas. Komputer sungguh tak peduli seandainya ia sedang mati-matian mencarikan biaya pengobatan anaknya yang telah terbaring di rumah sakit.

Tak jauh berbeda dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang jejaring sosial secara digital: twitter, facebook, dst. Sistem yang bekerja secara otomatis dan tak tebang-pilih juga berlaku di sana. Laiknya si driver ojol, berbagai media sosial itu tak pula dapat melihat dan menampilkan manusia secara humanis dan historis. Taruhlah presiden sekali pun, seandainya konten media sosialnya menyalahi berbagai ketentuan yang ada atau ada pihak yang melaporkannya, ia tak pula dapat mengelak dari aturan dan sanksi yang berlaku—tentu hal ini pasti berlangsung pada tahap awalnya (maklum komputer bukanlah sesosok penyair sendu yang empatik dalam melihat seseorang).

Dalam hal ini, saya tak dapat membayangkan bagaimana seorang Karl Marx, Ernesto dan Fidel, seandainya masih hidup di zaman ini, menyikapi otoritarianisme dan totalitarianisme teknologi tersebut. Masihkah semangat revolusioner dan strategi perlawanannya dapat meruntuhkan tembok tirani teknologi? Terkadang, di hadapan teknologi, seseorang mesti sadar diri untuk sesekali sumarah, barangkali.

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)     

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article