Corona, Kebijakan Lockdown, dan Uji Kelayakan Nalar Publik Tentangnya

Heru Harjo Hutomo
7 Min Read
Perkiraan korban Virus Corona yang menimpa di beberapa negara maju Eropa
Perkiraan korban Virus Corona yang menimpa di beberapa negara maju Eropa

jfID – YLBHI, sebagai salah satu unsur civil society, belum lama ini menggelontorkan sebuah nalar publik seandainya kebijakan lockdown diambil oleh pemerintah, baik nasional maupun lokal.

Ada beberapa poin tentang hak masyarakat yang mesti dipenuhi pemerintah yang diusung YLBHI ke ruang publik. Poin-poin itu didasarkan pada UU Kekarantinaan Kesehatan yang telah disahkan pada 2018 lalu, UU Penanggulangan Bencana/2007 dan UU Wabah Penyakit

Menular/1984: “(1) Diberikan penjelasan sebelum pelaksanaan Karantina Wilayah (Ps. 54 ayat 1 UU 6/2018), (2) Ditanggung kebutuhan hidup dasarnya dan makanan hewan ternak (Ps. 55 ayat 1 UU 6/2018), (3) Apabila menderita penyakit Corona dilakukan tindakan isolasi dan segera dirujuk ke Rumah Sakit (Ps. 54 ayat 4 UU 6/2018), (4) Pemulihan kondisi dari dampak (Ps. 6 UU 24/2007), (5) Perlindungan terhadap kelompok rentan: bayi, balita dan anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui, disabilitas dan orang lanjut usia (Ps. 48e UU 24/2007), (6) Pemenuhan kebutuhan dasar, air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan,

psikososial dan penampungan dan tempat hunian (Ps. 48d UU 24/2007), (7) Diberikan ganti rugi kepada mereka yang mengalami kerugian harta benda diakibatkan penanggulangan wabah (Ps. 8 ayat 1 UU 4/1984), (8) Diikutsertakan secara aktif untuk menanggulangi wabah (Ps. 6 ayat 1 UU 4/1984), (9) Tidak di PHK atau dipaksa mengundurkan diri atau diturunkan posisinya karena bukan keinginannya sendiri tidak bekerja.”

Andaikata diseksamai secara sekilas tuntutan YLBHI adalah memang sebentuk nalar publik.

Tapi benarkah nalar publik itu bersifat publik, mampu mengakomodasi kepentingan unsur-unsur masyarakat lainnya? Dan benarkah bahwa kepentingan YLBHI sendiri, atau dalam istilah John Rawls disebut sebagai “comprehensive doctrine,” tak telanjang—seumpamanya keberdayaan masyarakat sipil yang mesti berhadapan dengan pemerintah? Sebab jamak diketahui bahwa paradigma NGO sedari dulu adalah kontra dengan pemerintah, yang kadang justru akan membuahkan bunuh diri, atau kalau tak demikian, akan menyebabkan terjalnya atau terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk tercapainya hakikat demokrasi.

Sejarah telah banyak menyuguhkan pelajaran bahwa “radikalitas” adalah seperti halnya ular yang pada akhirnya selalu mencaplok ekornya sendiri.

Saya tak mengatakan bahwa pemerintah, dalam hal ini, selalu saja benar. Saya tak lagi percaya bahwa power tends to corrupt andaikata adagium yang klise semacam ini diartikan bahwa kekuasaan bersifat sentralistik dan dapat dilokalisir. Dengan kata lain, bahwa kekuasaan selalu saja berada pada pemegang kebijakan, atau dalam kacamata Marx, pemilik alat-alat produksi.

Bukankah secara sederhana kisah jatuh-bangunnya sebuah rezim membuktikan bahwa kekuasaan tak selamanya mengalir dari atas dan terpusat? Dan ketika kekuasaan itu juga terdapat pada masyarakat yang bukan pemangku kebijakan, adakah jaminan bahwa ia tak korup pula?

Bukankah pembangkangan-pembangkangan sipil—atau pada kasus-kasus lama semisal aksi sepihak dan juga riot—tak pula mengindikasikan suatu pemerintahan yang tak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Bukankah semua itu justru dapat terjadi karena adanya kebodohan dan bukannya karena pemberdayaan—karena tak pernah proporsional dan terkesan ngacau?

Tak cukupkah bukti selama ini bahwa populisme, baik kanan maupun kiri, justru membunuh konsep masyarakat sipil itu sendiri, di mana para aktivis pada akhirnya hanyalah sebentang tangga yang setelah semua orang menginjak-injaknya untuk naik ke atas lalu digeletakkan begitu saja di pojok ruangan, dihinakan dan dilupakan—atau justru malah digurui atau diberdayakan balik oleh mereka?

Nalar publik yang diracik YLBHI pun akan berhadapan dengan pernyataan beberapa organisasi profesi yang terpaksa untuk sementara waktu tak ikut melakukan perawatan penanganan pasien wabah corona demi melindungi dan menjaga keselamatan sejawat sebelum benar-benar terjaminnya Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai untuk setiap tenaga kesehatan. Hal ini membuktikan tentang berbahayannya dan perlunya kecanggihan alat pelindung diri dari corona.

Andaikata para tenaga kesehatan saja yang telah jelas keahliannya masih merasa terlalu riskan, lalu bagaimana dengan pelibatan aktif masyarakat awam? Terang dalam hal ini beberapa organisasi profesi itu tak sedang melakukan nalar publik. Karena jelas mereka sedang mengutarakan kepentingan golongannya atau kepentingan pribadi: melindungi dan menjaga keselamatan sejawat dan terhentinya kelangsungan pelayanan penanganan pasien corona.

Nalar publik yang pernah digelontorkan pemerintah untuk tak menempuh kebijakan lockdown tak pula benar-benar bersifat publik dan memenuhi kepentingan semua unsur masyarakat.

Mereka berkilah bahwa andaikata kebijakan lockdown ditempuh, masyarakt bawah adalah yang pertama kali merasakan dampaknya. Maka pemerintah lebih memilih untuk menerapkan kebijakan Karantina Wilayah dan bukannya lockdown. Tapi adakah benar bahwa pemerintah dalam hal ini tengah mengakomodasi kepentingan masyarakat bawah untuk tak menerapkan lockdown? Tak dapatkah hal ini dibaca sebagai sebuah tanda “ketaksiapan” pemerintah seandainya memilih kebijakan lockdown, di mana—merujuk pada pasal-pasal dari semua UU yang dijadikan dasar oleh YLBHI—mesti berskala nasional?

Tentu, dalam hal ini saya tak sedang menentukan pilihan nalar publik yang mana yang terbaik

dan dapat mengakomodasi semua kepentingan masyarakat. Katakanlah esai sederhana ini hanya semacam ajang negosiasi atau upaya menegosiasikan berbagai nalar publik untuk benar-benar mewakili kepentingan publik yang luas dan bukannya golongan atau perseorangan. Untuk meneguhkan bahwa kekuasaan ternyata tak berlangsung dari atas ke bawah dan bersifat sentralistik, maka nalar publik menjadi salah satu pilihan ketika orang menghendaki sebentuk demokrasi deliberatif dan kedewasaan civil society.Corona, Kebijakan Lockdow … ar Publik Tentangnya.docxBuka dengan Google DokumenHalaman 2 dari 2.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article