Benarkah KAMI Bukan Pemburu Kekuasaan?

Herry Santoso
6 Min Read
sumber ilustrasi: geotime.co.id
sumber ilustrasi: geotime.co.id

jfID – PANGGUNG perpolitikan Indonesia kembali bergetar setelah lahirnya organisaai baru bernama KAMI (Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia),  konon kelompok yang “ditongkrongi” para elite politikus dan para intelektual ini tak lebih  sekedar aksi gerakan moral (moral force).

Pendek kata KAMI hanya kesatuan aksi kritis yang (akan) siap mengupas pemerintahan Jokowi hingga tampak transparan borok-boroknya. Tetapi di lain sisi, KAMI diprediksi oleh para pengamat, adalah sebuah gerakan kritis pemburu kekuasaan (government critics are power hunter) yang suatu saat amat potensi untuk menikam dari belakang (back stabber) pemerintahan Jokowi. Sebab KAMI ditengarai adalah barisan sakit hati “kontra rezim” penguasa.

Fenomena politik itulah yang menjadikan massa pro-Jokowi alergi karena KAMI kerap teridentivikasi sebagai orang-orang buangan yang haus kekuasaan, bahkan di antaranya orang-orang lama tanpa prestasi yang gagal di gerbong pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin dan, atau pemerintahan sebelumnya.

Rizal Ramli misalnya, mantan menteri yang berbasis ekonom ini sejak zamannya Gus Dur dikenal sebagai biang kegaduhan di kabinet. Juga Din Syamsudin, sungguhpun . mantan Ketum PP Muhammadiyah, tetapi pokok-pokok pikirannya tak lebih selalu bernuansa pertentangan. Lebih-lebih Rocky Gerung, hanyalah sosok “artis medsos” lantaran pikiran-pikiran kritisnya yang naif. Gerung bukan pilitikus, melainkan vokalis karbitan besutan ILC yang berbasis kampus UI yang tak punya peluh perjuangan bersama rakyat/partai sekali. Analisisnya cuma acap membuat orang terperangah tetapi hanya dari sudut filsafat yang amat sulit diaplikasikan dalam dunia nyata.

Lain halnya dengan Gatot Nurmantya. Meskipun orang ini tidak laku di pasar politik, namun masih punya “sumpah prajurit” yang bernuansa _nation and character building_ dibanding lainnya. Sayangnya, Gatot tidak elastis dan acap “menakutkan” dunia. Kita ingat, ketika lawatannya ke Amerika Serikat ditolak oleh Gedung Putih. Mengapa? Karena Gatot sosok pimpinan tentara yang ditengarai suka “main mata” dengan kelompok Kadrun yaitu sebutan untuk etnik minoritas Arabian yang berhaluan khilafah.

Gatot sendiri terjebak oleh pabrik impiannya ( _dreams factory_ ) yang ingin jadi presiden setelah pensiun. Ia kurang membangun ikat primordial dengan partai-partai besar yang menjadi pelanggan para calon presiden sejak dulu. Gatot memang cerdas dalam wawasan nasional kebangsaan tetapi bukan seorang pendukung partai-partai yang berhaluan nasionalis sebagai pemegang “kartu kekuasaan”. Alhasil Gatot adalah sosok pemimpi pemegang “kartu mati”.

Bandul Penyeimbang

Dengan demikian lahirnya organisasi KAMI di panggung politik Indonesia tetapi bermanfaat sebagai “bandul penyeimbang” perpolitikan (the political balanced) agar pemerintahan saat ini tidak lupa daratan (baca : terlalu serakah) terhadap kekuasaan laiknya praktik-praktik oligarky kekuasaan lewat Pilkada Serentak 2020 hingga menjadi seolah-olah lahir rezim otoritarian baru. Sebab sebaik-baiknya sebuah kekuasaan pasti ada kekurangannya atau kelemahannya. Pada pemerintahan Jokowi misalnya, terlalu terkooptasi oleh kebijakan sang induk semangatnya yaitu Megawati Soekarno Putri sehingga _tuan  presiden yang terhormat menjadi “anak manis yang patuh”.

Kembali pada KAMI, agaknya eksistensinya bagaikan lilin tak bersumbu ( _a candle without a wick_ ). Terlihat banyak konten politik yang diusung berasa basi laiknya “isu PKI” padahal masyarakat punggiran pun tahu bahwa tentang PKI sudah dijamin dalam undang-undang yaitu TAP-MPRS No. 25 / 1966 dan undang-undang tersebut mutlak masih berlaku hingga kini. Isu PKI tak lebih konten lama yaitu  menu politik yang disokong CIA ketika di babak awal berdirinya pemerintahan junta militer Orde Baru. Menengarai itu saja dapat ditebak bahwa ada “titipan” dari bekas imperium Cendana sekaligus titipan dari Amerika Serikat yang (memang) saat ini tengah perang lawan negeri komunis Tiongkok baik dalam perang dagang ( _trade war_) sampai kecenderungan perang terbuka di Laut China Selatan (LCS). Padahal saat ini Jakarta tengah berbulan madu dengan Beijing di bidang investasi. Jokowi ingin meniru Arab Emirat yang sukses spektakuker di kawasan gara-gara investasi China.

Geopolitik yang didesain oleh Jokowi itulah yang menambah mesiu KAMI sekaligus partai oportunis ( untuk tidak menyebut oposisi) laiknya PKS dan Demokrat guna memberondong kritikan pada Jokowi. Akan tetapi jangan lupa bahwa Jokowi sangat mengakar di kawasan “ibu kota politik” yaitu di Pulau Jawa, yang dalam kultur pilitik Indonesia diisyaratkan, barang siapa mampu menguasai Jawa maka bisa menguasai kancah kekuasaan nasional. Doktrin tradisional tersebut agaknya masih relevan di era perpolitikan yang bernuansa kekinian. Sayangnya pula tokoh-tokoh KAMI sepertinya terlalu lemah pengaruhnya di Jawa khususnya. Sepak terjang politikus kontrovetsial laiknya Amien Rais, Rizal Ramli, Said Didu dan lain-lain menjadi “cap kecemenan” gerbong KAMI. Orang awam pasti akan bergumam, _”Weleh-weleh itu lagi, itu lagi…”._  Hehe…bagaimana ? ***

Herry Santoso, adalah pemerhati sosial politik dan budaya, jurnalis aktif tinggal di Blitar, Jawa Timur.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article