samono iku bêbasan
padu-padune kapengin
ênggih mêkotên man dhoplang
bênêr ingkang angarani
nanging sajroning batin
sajatine nyamut-nyamut
wis tuwa arêp apa
muhung mahas ing asêpi
supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma
—Serat Kalatidha, R.Ng. Ronggawarsita
jfID – Seseorang tiba-tiba memutuskan untuk menarik diri dari carut-marut keadaan dunia. Baginya pemerintahan sudah kehilangan fungsi. Sudah tak ada lagi yang laik diteladani. Segala sesuatu telah serendah tanah (kongas kasudranira). Meskipun rajanya raja utama dan para pejabat negaranya mumpuni, tapi setiap gegayuhan yang baik selalu berujung gagal. Kemarahan laksana sekam yang sudah berjejal, tinggal menunggu waktu untuk mubal, kemarahan yang beraneka macam, karena berlatarbelakang berbagai kepentingan.
Orang itu hanya dapat berkeluh-kesah, dengan sedikit nubuah. Satu-satunya kawan yang ia percayai untuk menerima keluh-kesahnya hanyalah Paman Dhoplang.
demikian ibaratnya
bermunafik ria
o, paman dhoplang
benarlah yang menuding
tapi dalam batin
sejatinya sangsi
sudah tua mau apa lagi
lebih baik bersunyi diri
agar dimaafkan Tuhan
Di masa silam orang itu pernah terlibat dalam keedanan zaman. Sebab baginya, kalau tak edan, tak akan kebagian dan menajadi kelaparanlah pada akhirnya. Demikianlah Serat Kalatidha (1931) yang merupakan salah satu karya Ronggawarsita yang paling dikenal oleh publik. Dalam karya itulah istilah “zaman edan” dinubuahkan. Saya tak akan mengupas karya ini kembali sebagaimana pada esai-esai terdahulu saya tentang diri dan karya-karya sang pujangga penutup Jawa tersebut. Dalam hal ini saya hanya tertarik pada sosok Paman Dhoplang yang menjadi pusat keluh-kesah si “aku” dalam bait-bait yang serat yang ditulis oleh jebolan pesantren Gebang Tinatar itu (Gebang Tinatar & Gelar Santri di Balik Nama Besar Ronggawarsita, Heru Harjo Hutomo, https://enis.id).
Dalam Serat Kalatidha Paman Dhoplang tampak seperti sesosok orang utun, udik, yang jauh dari hingar-bingar perpolitikan atau pemerintahan. Saya membayangkannya sebagai seorang yang hidup di pedesaan, bercelana komprang hitam selutut, memakai caping, yang barangkali kebiasaannya sehari-hari hanyalah bagaimana mencukupi pangan. Angan dan ambisinya dibatasi oleh hamparan sawah dan keterpencilan desa. Karena tahunya hanya bagaimana mencukupi pangannya sehari-hari, barangkali, ia tak akan segelisah hingga berkeluhkesah laiknya si “aku” dalam bait-bait Serat Kalatidha.
Dalam karya yang ditulis pada masa pemerintahan PB VII itu Paman Dhoplang hanya dikenal namanya, tak ada yang tahu kiprahnya. Ia hanya hadir sebagai sosok yang diam, tanpa membantah, tanpa menyanggah, ataupun sok berhikmah. Barangkali, Paman Dhoplang memang bukan tukang hujah. Baginya hidup tampak sederhana, sekedar dijalani (amung sakderma nglampahi), seperti sudah digariskan, tanpa peduli untuk mempertanyakan.
Paman Dhoplang pun sama sekali tak menyuguhkan wejangan. Sebab, barangkali, orang yang gelisah ataupun orang yang marah hanyalah orang kesepian yang sekedar butuh didengarkan. Dalam diamnya, Paman Dhoplang hanyalah sepetak tanah di mana si “aku” dalam Serat Kalatidha dapat memetik buah-buah hikmah yang ia tanam sendiri. Dan benarlah Paman Dhoplang, dengan sikap diam dan mendengarkannya, si “aku” pun menemukan rumus untuk meruwat keruwetan hidupnya sendiri. Bahwa pada akhirnya, guru terbaik adalah diri sendiri—“murid gurune pribadi, guru muride pribadi.”
beda lan kang wus santosa
kinarilan ing Hyang Widhi
satiba malanganea
tan susah ngupaya khasil
saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
marga samaning titah
rupa sabarang pakolih
parandene maksih tabêri ihtiyar
sakadare linakonan
mung tumindak mara ati
anggêr tan dadi prakara
karana wirayat muni
ihtiyar iku yêkti
pamilihing rèh rahayu
sinambi budidaya
kanthi awas lawan eling
kang kaèsthi antuka marmaning Suksma
Entah pada akhirnya apa atau siapa Paman Dhoplang yang diacu dalam Serat Kalatidha, yang jelas makam Ronggawarsita terbaring di sebuah dusun yang terpencil dan dikelilingi hamparan sawah: Palar, Trucuk, Klaten. Terpisah dari ayahnya, Mas Pajangswara yang jasadnya entah raib ke mana, dan eyang terkasihnya, Yasadipura, di Pengging, Boyolali (Ronggawarsita, Palang Kebudayaan Jawa yang Terbuang, Heru Harjo Hutomo, https://www.berdikarionline.com).
(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)