jfID – Tradisi penciptaan sastra di Indonesia bukanlah sebuah proses yang “tiba-tiba”, namun merupakan buah dari pohon tradisi besar yang tumbuh dari bibit yang disemai generasi sebelumnya dan dilanjutkan terus menerus oleh generasi berikutnya. Demikian juga pertumbuhan sastra di berbagai wilayah di Indonesia merupakan tradisi yang terbentuk secara bertahap seperti gumpalan es yang sedikit demi sedikit membesar lantas menggelinding ke mana-mana.
Jawa Timur merupakan sebuah provinsi yang menjadi lahan subur bagi perkembangan sastra Indonesia. Sejak zaman Singasari, Majapahit, mulai dari era Kameswara, Airlangga, Jayabaya, hingga Hayam Wuruk dan berlanjut pada varian sastra pesantren dan pesisir, Jawa Timur memiliki kekuatan sastra yang dahsyat. Sebut saja, kitab-kitab Arjuna Wiwaha, Kresnayana, Hariawangsa, Smaradhana, Panji, Jangka Jayabaya, Pararaton, Negarakertagama, Kuntaramanawa, Sutasoma, Suluk Wujil, Malang Sumirang atau bahkan jauh sebelum itu seperti Tantu Panggelaran, Bubuksah Gagak Aking, Sundayana, merupakan saksi dan bukti otentik kedahsyatan sastra Jatim.
Kekokohan dan kedahsyatan tradisi penulisan sastra di Jatim tempo dulu itu berlanjut pada pertumbuhan sastra modern saat ini. Jawa Timur dengan kota-kota dan wilayahnya yang luas memiliki kemapanan dan kekokohan dalam konstelasi sastra nasional. Nama-nama besar satrawan Indonesia banyak bercokol di Jawa Timur.
Lalu, bagaimanakah Ngawi sebagai bagian dari Jawa Timur, sudahkah kesusastraan di Ngawi memiliki andil dalam konstelasi sastra di Jatim dan di konstelasi sastra nasional?
Dengan tegas, saya mengatakan bahwa Ngawi telah memiliki tradisi yang kokoh dalam pertumbuhan sastranya. Bahkan, Ngawi telah memberikan warna baru bagi pertumbuhan dan konstelasi sastra Indonesia.
Marilah kita simak fakta historis pertumbuhan sastra Ngawi di bawah ini.
Sastra modern di Ngawi bercorak dua macam, yaitu yang berupa sastra Indonesia (ditulis dalam bahasa Indonesia) dan sastra modern Jawa (yang ditulis dalam bahasa Jawa dalam bentuk modern). Sastra Indonesia di Ngawi secara historikal dimulai dari (alm) Alwan Tafsiri. Beliau tergolong sastrawan angkatan 45 dengan karyanya yang telah dicatat dalam Sejarah Sastra Indonesia (baca: Ihtisaar Sastra Indonesia karya Ajip Rosidi) dengan karyanya Lukisan Dinding (kumpulan cerpen), berpuluh novelet dan novel. Sampai akhir hayatnya Beliau yang tinggal di Kauman Masjid besar Ngawi terus mengabdi pada dunia literasi dengan membaca dan menulis karya. Karya-karya Beliau termuat dalam majalah Kisah, Basis, Horison, Kartini dan Femina.
Setelah era Alwan Tafsiri, sejarah sastra Indonesia mencatat nama Umar Kayam yang lahir di Ngawi dan masa kecilnya tinggal di wilayah jalan Kartini. Nama besar Guru Besar Sastra UGM ini menjadi spirit dan roh tersendiri dan menginspirasi sastrawan-sastrawan Ngawi yang tumbuh berikutnya. Karya besar almarhum seperti Kunang-Kunang di Manhataan, Bawuk, Para Priyayi, Jalan menikung, Mangan Ora Mangan Penting Kumpul banyak mengambil latar Ngawi dan sampai sekarang terus menjadi kajian para mahasiswa sastra.
Berikutnya, adalah nama MH. Iskan, yang berkarya sejak 1970an-sekarang merupakan nama yang tak bisa dilepaskan dari sejarah penulisan sastra di Ngawi. Melalui komunitasTeater Persada, Beliau mengenalkan teater modern di Ngawi sambil melanjutkan tradisi penulisan sastra. Aktor-aktor hebat dan penulis hebat dari Ngawi dilahirkan oleh tangan dingin beliau, sperti Anwaroedhin, Suwandi Black, Sutomo Ete, Agnes Suyono, Katjik Tjiptardjo, Wahab Asyari, Salimoel Amin. Sastrawan-satrawan hebat Ngawi hampir semuanya pernah mencicipi ilmu Beliau dan dari tangan dingin beliau lahir Aming Aminoedhin (kelak digelari Presiden Penyair Jawa Timur), M. Har Hariyadi (alm), Koespriyanto namma, Tjahjono Widarmanto, dan Tjahjono Widijanto. Atas dedikasinya terhadap tumbuh kembangnya sastra dan teater di Ngawi, maka di tahun 2005 Gubernur Jatim menganugerahi MH. Iskan, Penghargaan Seniman/Budayawan Berprestasi.
Seangkatan dengan Mh. Iskan, tercatat nama Giyanto Jangkung. Beliau adalah ayah kandung dari peragawati Ratih Sang. Drama radionya yang berjudul Srigala Mataram menjadi perbincangan publik. Noveletnya yang dipublikaikan Surabaya Post berjudul Catatan Harian Seorang Pelacur merupakan novel yang mewarnai kesusastraan di Jatim. Beliau juga merupakan seorang pelukis dan dalang wayang kulit dan wayang golek.
Generasi berikutnya memunculkan nama Aming aminoedhin, yang kelak oleh Prof, Suripan Sadihutomo digelari sebagai Presiden Penyair Jawa Timur. Puluhan antologi dan ratusan puisi lahir dari pemikirannya. Namanya sangat diperhitungkan dalam skala nasional dan berkali-kali menjadi duta Jatim dalm pertemuan sastra setingkat Asia Tenggara. Atas prestasinya, gubernur Jatim dan prov.Jatim menganugerahinya Penghargaan Seniman/Budayawan Jawa Timur di tahun 2006.
Hampir seangkatan Aming Aminoedhin, tercatat nama Daniel Tito yang nama aslinya Tito Setya Budi. Merupakan cerpenis tangguh yang diera 1980an menjadi perbincangan jagat sastra nasioanal. Karya-karnya dimuat dalam Suara Pembaruan, Sinar Harapan,Kompas, Jawa Pos. Daniel Tito ini merupakan teman diskusi dari Arswendo Atmowiloto. Selain menulis dalam bahasa Indonesia, Daniel Tito juga menulis dalam bahasa Jawa. Sampai sekarang beliau masih menulis sebagai seorang jurnalis dan tinggal di Sragen.
Ada pula nama penyair Hardho Sayoko SPB, yang tinggal di Kedunggalar. Puisi-puisinya bertebar di sekitar tahun 1980-an sampai sekarang. Ratusan karya dan banyak antologi puisi dilahirkan oleh Hardho Sayoko. Bahkan ia pernah mewakili Indonesia dalam perhelatan sastra di Brunai Darussalam.
Hamdy Salad adalah nama sastrawan Ngawi berikutnya. Menemukan kesejatian kepenyairannya di Yogyakarta. Lelaki asal desa Geneng Ngawi, suami dari Abidah El Khaliqi penulis novel dan film Perempuan Berkalung Sorban ini, menjadi salah satu ikon sastra Indonesia. Berkali-kali mewakili Indonesia dalam pertemuan sastrawan dunia, utamanya di negara-negara Timur Tengah. Ratusan buku dan karya menjadi saksi kesastrawanannya.
Generasi berikutnya, sedikit di bawah era Aming dan Haro Sayoko, muncullah nama Anas Yusuf (Yus An). Di tahun 1987 ia digolongkan sebgai Penyair Indonesia angkatan 1987. Oleh kritikus dan guru besar UI, Prof. Abdul Hadi WM, penyair Anas Yusuf ini digolongkan sebagai genre penyair sufi. Naskah dramanya Sang Ideot memenangkan lomba penulisan naskah drama tingkat nasional. Dan ditahun 2016 salah satu buku puisinya menjadi nominasi nasional. Di tahun 1992, Anas Yusuf ini bersama-sama Tjahjono Widarmanto mendirikan Studi Lingkar Sastra Tanah Kapur dan Teater Sampar.
Sastra Indonesia modern di Ngawi mengalami masa paling subur di tahun 1990 an-2000. Muncullah nama-nama Kuspriyanto Namma, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widijanto, dan S.Yoga.
Kuspriyanto Namma adalah penyair /sastrawan Ngawi yang berhasil mendobrak sejarah sastra Indonesia dengan gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman. Namanya menjadi daya tarik sendiri dalam konstelasi sastra Indonesia. Ratusan puisi dan cerpen berikut antologi tunggal dan bersama dilahirkan olehnya. Kuspriyanto Namma mendirikan Teater Magnit dan menjalin jaringan yang kuat dengan berbagai komunitas sastra di berbagai wilayah.
Tjahjono Widarmanto merupakan sastrawan Ngawi berikutnya. Pernah menerbitkan Jurnal RONTAL (1994-1999-AN) di Ngawi melalui komunitas Studi Lingkar Sastra Tanah Kapur Ngawi yang kini berubah menjadi Lingkar Sastra Tanah Kapur Ngawi. Penyair ini menerima Anugerah Seniman/Budayawan dari Gubenur dan pemrov Jatim di tahun 2003. Berkali-kali memenangkan berbagai lomba penulisan sastra dari tahun 1997 hingga 2012. Mewakili Indonesia dalam dalam pertemuan Sastrawan ASEAN ke-16 di Kedah pada tahun 2007, mewakili Jatim dan Indonesia dalam Jakarta International Festival Literary 2009, bersama saudara kembarnya Tjahjono Widijanto menjadi duta jatim/Indonesia dalam International Poet Gathering (2012), diundang dalam Borobudur Writers and Cultur Festival (2012, 2013, 2014, 2015,2016), dan mewakili Indonesia dalam Konferensi Internasional ASEAN Council of Teacher (ACT) ke-27 di Brunai Darussalam. Mendapat anugerah Sastrawan Pendidik 2013 dari Pusat Bahasa. Mendapat gelar Guru Sastra Berdedikasi dari Balai Bahasa di tahun 2014. Berpuluh buku, ratusan puisi, puluhan cerpen dan esai telah ia lahirkan. Pada tahun 2016 buku puisinya Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak menjadi salah satu buku puisi terbaik tingkat nasional versi Hari Puisi Nasional. Pernah menjadi pengurus Dewan Kesenian Jatim mulai tahun 2004 sd 2013
Nama yang tak kalah menggetarkan dalam konstelasi sastra Indonesia adalah Tjahjono Widijanto. Saudara kembar Tjahjono Widarmanto ini, sangat produktif dan seperti juga saudara kembarnya, berprestasi di tingkat internasional. Pernah menjadi sastrawan tamu di Hangkuk University Korea (2010). Diundang dalam Ubud WriterFestival di Ubud Bali. Berkali-kali memenangngkan lomba menulis sastra tingkat nasional mulai tahun 2002 sd 2011. Di tahun 2016 mendapat kehormatan menjadi salah satu peserta residence sastrawan berkarya (Porodisa) di Kepulauan Talaud Sulawesi Utara. Mendapat anugerah Sastrawan Pendidik di 2012 dari Pusat Bahasa. Meraih Anugrah Penghargaan Seniman Budayawan Jatim dari prov. Jatim dan Gubernur Jatim di 2014.Ratusan karya dan puluhan buku telah dilahirkannya.
S. Yoga merupakan sastrawan ngawi ke-5 yang mendapatkan Anugrah Penghargaan Seniman Budayawan Jawa Timur dari pemprov dan gubernur Jatim. Lulusan Unair ini berkali-kali mendapat kesempatan menjadi duta sastra prov jatim ke tingkat nasional. Semua media besar seperti Kompas, Jurnal Kalam, Jawa Pos, Tempo, dsb.
Sastrawan Ngawi berikutnya adalah Yoes Sastra Pani. Pada awalnya merupakan seorang penyiar radio yang mencintai dunia sastra dan drama. Melahirkan ratusan puisi dan puluhan cerpen. Yang menonjol dari sastrawan ini adalah gerakan budaya yang dilakukannya secara diam-diam tanpa publikasi namun bermakna. Saat ini juga menekuni dunia film dan fotografi.
Adapula sastrawan Ngawi, yang menemukan kecermerlangannya saat berkelana di luar Ngawi. Dia adalah Elang Kirana Kejora. Perempuan Ngawi ini menulis puluhan novel best seller dan merambah dunia film. Karya-karyanya menjadi warna tersendiri dalam konstelasi sastra di Ngawi.
Di tahun 1996-an saya menemukan sebuah bakat yang besar dari seorang siswa Ngawi bernama Meydina Arisandi. Bakat sastranya sangat luar biasa. Dalam usianya yang beliau waktu itu, karya-karyanya di publikasikan di Jurnal Perisa Malaysia dan di Suara Jerman. Saya berharap ia kelak tumbuh menjadi sastrawan Ngawi yang akan diperhitungkan. Ramalan saya ini mendekati kebenaran. Setelah Lulus sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, ia semakin suntuk menulis dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dalam bentuk puisi, cerpen dan novel. Beberapa karya puisi telah diterbitkan oleh media massa nasional juga Malaysia, antara lain: “Perisa”: Jurnal Puisi Melayu; Dewan Bahasa & Pustaka Kuala Lumpur, Malaysia, Memorandum, Nusa Tenggara Post, Radio Suara Jerman, Deusch Welle, Suara Karya Minggu, Solo Post, dan Surabaya Post. Buku puisi antologi tunggalnya berjudul Aku Bukan Kertas Sajak (2017). Puisi-puisinya juga terhimpun dalam antologi bersama berjudul Suluk Hitam Perjalanan Hitam di Kota Hitam: Temu Penyair 3 Kota (2000), Secangkir Kopi Untuk Kota Ngawi (2002), Love Lines (2017), Menguak Tabir Khatulistiwa (2016), Cinta Gugat (2013) yang diterbitkan oleh Pasar Malam Production dan The Letters diterbitkan oleh Penerbit Rumah Kita (2016). Satu novel pernah diterbitkan oleh PT One Earth Media berjudul Musim Cinta Berubah Warna dan satu e-book-nya akan segera diterbitkan oleh Gradien Mediatama. Cerpennya juga pernah diterbitkan oleh Ellunar Publisher di dalam kumpulan cerpen berjudul Beneath the Same Moon Volume 2. Novelnya EFESUS (2016).
Regenerasi terus bergulir. Saat ini tumbuh pula sayap-sayap berkembang dari generasi terkini sastrawan Ngawi. Mereka adalah Ari Kundari, Wixe, Pena Ragita, dll. Generasi terbaru ini mulai menapak demi setapak dengan menulis di berbagai media. Kalau mereka yakin dan setia berproses menapaki jalan sastra, saya yakin mereka akan diperhitungkan dalam konstelasi sastra Indonesia.
Di atas telah disampaikan bahwa sastra di Ngawi ada juga yang ditulis dalam bahasa Jawa. Jagat sastra Jawa modern telah mencatat nama-nama besar sastrawan Ngawi yang menulis dalam bahasa Jawa. Nama Mbah Poerwadhi Atmodiarjo (alm) merupakan salah satu tonggak penulisan sastra Jawa modern di Indonesia. Ada lagi Jayus Pete yang merupakan ikon cerpen bahasa Jawa. Jayus Pete sekarang bermukim di Bojonegoro. Daniel Tito merupakan sastrawan Jawa yang masih berkibar dalam konstelasi kesusastraan. Di Kedunggalar tercatat nama (alm) Bene Sugiarto. Di Jogorogo ada (alm) Hadi Cahyono yang merupakan penggurit hebat. Juga ada nama Rustamadji yang sampai sekarang setia menulis sastra Jawa modern dan diperbicangkan dalam berbagai pertemuan.
Dari paparan data historis di atas dapatlah disimpulkan bahwa Ngawi memiliki peran penting dan strategis dalam konstelasi sastra Indonesia. Dengan kata lain, sastrawan-sastrawan Ngawi telah memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan sastra Indonesia. Kondisi ini harus selalu dikembangkan dengan memberi berbagai stimulus, ruang dan kesempatan bagi generasi-genarasi berkiutnya melalui berbagai program literasi sastra. Kalau hal itu terus menerus dilakukan oleh pihak pemerintah kabupaten Ngawi dan berbagai pihak terkait dengan melibatkan masyarakat, maka saya berkeyakinan: Ngawi akan menjadi lahan yang subur bagi pulung kapujanggan sastra Indonesia! Semoga.
Penulis adalah sastrawan dan guru SMA 2 Ngawi