Hari Santri: Jangan Hanya Jadi Pahlawan Sehari

Rasyiqi
By Rasyiqi
9 Min Read
Hari Santri: Hari Santri: Jangan Hanya Jadi Pahlawan Sehari
Hari Santri: Hari Santri: Jangan Hanya Jadi Pahlawan Sehari

jfid – Hari Santri Nasional diperingati setiap tanggal 22 Oktober sebagai bentuk penghargaan kepada para santri yang telah berjuang membela kemerdekaan Indonesia. Peran santri dalam sejarah bangsa ini tidak bisa dianggap remeh. Mereka adalah generasi penerus ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan pengetahuan. Namun, apakah para santri saat ini masih memegang teguh nilai-nilai tersebut? Ataukah mereka justru terjebak dalam berbagai sindrom yang mengancam eksistensi mereka sebagai santri?

Post Power Syndrome

Salah satu sindrom yang mungkin dialami oleh sebagian santri adalah post power syndrome. Sindrom ini terjadi ketika seseorang hidup dalam bayang-bayang kekuasaan atau kejayaan yang pernah dimilikinya dan belum bisa menerima hilangnya kekuasaan itu.

Sindrom ini sering dialami oleh orang yang baru saja memasuki masa pensiun atau mengalami pemutusan hubungan kerja. Namun, sindrom ini juga bisa menimpa para santri yang merasa paling berjasa kepada republik ini.

Contohnya adalah ketika seorang santri mengklaim bahwa tanpa peran santri, Indonesia tidak akan merdeka. Ia merasa bahwa santri adalah pahlawan sejati yang harus dihormati dan dihargai oleh semua orang.

Ia juga merasa bahwa santri memiliki hak istimewa untuk menentukan arah politik dan sosial bangsa ini. Ia tidak mau mendengar pendapat orang lain yang berbeda dengan keyakinannya. Ia suka mengkritik atau mencela pendapat orang lain yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Sindrom ini tentu saja sangat berbahaya bagi perkembangan santri itu sendiri maupun bagi masyarakat luas. Santri yang mengalami sindrom ini akan kehilangan semangat untuk belajar dan berinovasi.

Ia akan terjebak dalam zona nyaman dan tidak mau berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Ia juga akan menimbulkan konflik dan perpecahan dengan orang lain yang memiliki pandangan berbeda. Ia akan melupakan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin, bukan agama eksklusif dan intoleran.

Jangan Terjebak dalam Euforia Seremonial

Selain post power syndrome, sindrom lain yang bisa menyerang para santri adalah euforia seremonial. Sindrom ini terjadi ketika seseorang terlalu larut dalam perayaan atau acara-acara formal yang bersifat simbolis tanpa memperhatikan makna atau tujuan sebenarnya dari acara tersebut. Sindrom ini sering dialami oleh orang yang terlalu terobsesi dengan pencitraan atau popularitas.

Contohnya adalah ketika seorang santri merayakan Hari Santri dengan cara yang berlebihan dan tidak relevan. Ia mengikuti parade, konvoi, festival, atau acara-acara lain yang hanya menampilkan kesenangan semu tanpa ada muatan edukatif atau dakwah.

Ia juga mengabaikan protokol kesehatan dan keselamatan dalam acara tersebut. Ia hanya ingin tampil di depan kamera atau media sosial untuk mendapatkan pujian atau pengakuan dari orang lain.

Sindrom ini tentu saja sangat merugikan bagi diri santri itu sendiri maupun bagi masyarakat luas. Santri yang mengalami sindrom ini akan kehilangan esensi dari Hari Santri itu sendiri.

Ia akan melupakan bahwa Hari Santri adalah momentum untuk mengenang, meneladani, dan melanjutkan peran santri dalam membela dan membangun bangsa ini. Ia juga akan menyia-nyiakan waktu, tenaga, dan sumber daya yang seharusnya bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.

Tidak Terlalu Kesufi-sufian

Selain post power syndrome dan euforia seremonial, sindrom lain yang bisa menimpa para santri adalah terlalu kesufi-sufian. Sindrom ini terjadi ketika seseorang terlalu fokus pada aspek kesufian atau mistisisme dalam agama tanpa memperhatikan aspek-aspek lain yang juga penting. Sindrom ini sering dialami oleh orang yang terlalu mengagungkan pengalaman-pengalaman spiritual atau metafisik tanpa ada dasar ilmiah atau rasional.

Contohnya adalah ketika seorang santri menganggap bahwa kesufian adalah jalan satu-satunya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ia merasa bahwa dengan melakukan zikir, hadrah, sama’, atau praktik-praktik lain yang berkaitan dengan kesufian, ia sudah mencapai tingkat makrifat atau pengenalan akan hakikat Allah.

Ia juga merasa bahwa dengan mengikuti tarekat atau aliran tertentu dalam kesufian, ia sudah mendapatkan karamah atau karunia khusus dari Allah. Ia tidak mau belajar atau berdiskusi tentang hal-hal yang bersifat saintifik atau filosofis dalam agama.

Sindrom ini tentu saja sangat membahayakan bagi diri santri itu sendiri maupun bagi masyarakat luas. Santri yang mengalami sindrom ini akan kehilangan keseimbangan antara aspek lahir dan batin dalam agama.

Ia akan melupakan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan ketauhidan, bukan kesyirikan. Ia juga akan melupakan bahwa Islam adalah agama yang menghargai akal, bukan khurafat. Ia akan menutup diri dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa membantu umat manusia.

Menuju Saintifik dan Filosofis

Untuk menghindari berbagai sindrom yang telah disebutkan di atas, para santri perlu mengembangkan pendekatan saintifik dan filosofis dalam memahami agama.

Pendekatan saintifik adalah pendekatan yang menggunakan metode ilmiah untuk meneliti dan menjelaskan fenomena-fenomena alam dan sosial yang berkaitan dengan agama.

Pendekatan filosofis adalah pendekatan yang menggunakan akal budi untuk menganalisis dan mengkritisi konsep-konsep dan doktrin-doktrin yang ada dalam agama.

Dengan menggunakan pendekatan saintifik dan filosofis, para santri bisa meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan mereka terhadap ajaran Islam.

Mereka bisa mengetahui dalil-dalil yang kuat dan lemah, argumentasi-argumentasi yang logis dan tidak logis, serta implikasi-implikasi yang positif dan negatif dari berbagai pandangan atau paham dalam Islam.

Mereka juga bisa berdialog dan berkolaborasi dengan para ilmuwan dan filsuf dari berbagai bidang dan latar belakang untuk mencari solusi bagi permasalahan-permasalahan umat manusia.

Contohnya adalah ketika seorang santri ingin mempelajari tentang konsep tauhid dalam Islam. Ia tidak hanya menghafal ayat-ayat al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan tauhid, tetapi juga mencari tahu tentang konteks sejarah, sosial, budaya, dan politik di balik turunnya ayat-ayat atau sabda-sabda tersebut.

Ia juga membandingkan dan menimbang berbagai penafsiran atau tafsir dari para ulama atau mufassir tentang ayat-ayat atau hadis-hadis tersebut.

Ia juga mencari tahu tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa membantu menjelaskan atau membuktikan kebenaran tauhid. Ia juga berpikir kritis tentang implikasi tauhid bagi kehidupan pribadi, sosial, dan global.

Kesimpulan

Hari Santri adalah hari yang penting bagi bangsa Indonesia. Hari ini bukan hanya sebagai hari untuk merayakan peran santri dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, tetapi juga sebagai hari untuk merefleksikan peran santri dalam masa kini dan masa depan Indonesia.

Para santri harus menyadari bahwa mereka memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga nilai-nilai Islam yang luhur dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.

Untuk itu, para santri harus menghindari berbagai sindrom yang bisa mengganggu eksistensi mereka sebagai santri. Mereka harus menghindari post power syndrome yang membuat mereka merasa sombong dan superior.

Mereka harus menghindari euforia seremonial yang membuat mereka lupa akan makna dan tujuan Hari Santri. Mereka harus menghindari terlalu kesufi-sufian yang membuat mereka abai akan keseimbangan antara lahir dan batin.

Mereka harus menuju saintifik dan filosofis yang membuat mereka mampu memahami dan mengamalkan Islam secara rasional dan relevan.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article