jfid – Studi banding telah lama menjadi ritual tahunan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia. Agenda yang katanya untuk belajar dan memahami kebijakan luar negeri ini selalu dihiasi dengan kontroversi dan kritik dari berbagai pihak.
Dari masyarakat hingga pakar, banyak yang mempertanyakan efektivitas dan tujuan sebenarnya dari studi banding yang sering kali tampak lebih sebagai wisata ketimbang misi belajar serius.
Biaya Besar, Hasil Minim
Selama lima tahun antara 2004 dan 2009, DPR melakukan 143 kali kunjungan studi banding ke luar negeri. Dari kunjungan sebanyak itu, hanya tiga laporan pertanggungjawaban yang terbuka untuk publik
Ketidaktransparanan ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang apa sebenarnya yang didapat dari kunjungan-kunjungan tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya, DPR tetap melanjutkan tradisi ini dengan tambahan 54 kunjungan lagi, namun hanya lima di antaranya yang memiliki laporan yang terbuka.
Tidak hanya soal transparansi, efektivitas dari studi banding ini juga dipertanyakan. Sebagai contoh, kunjungan ke Swedia untuk mempelajari program makan siang gratis pada Mei 2024, menimbulkan keheranan dan kritik dari banyak pihak.
Program makan siang gratis mungkin penting, tetapi apakah perlu mengirim rombongan besar ke Swedia hanya untuk mempelajari itu? Selain itu, apakah hasilnya sepadan dengan biaya besar yang dikeluarkan? Ini adalah pertanyaan yang sering kali tak terjawab.
Kritik dari Masyarakat dan Lembaga Pengawas
Masyarakat dan lembaga pengawas tidak tinggal diam melihat praktik yang dianggap pemborosan ini. Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda pernah melontarkan kritik tajam pada kunjungan anggota DPR pada periode 2007-2009.
Mereka menyebut bahwa dari seluruh jadwal kunjungan, hanya dua-tiga jam yang benar-benar dipakai untuk kegiatan studi banding, sementara sisanya diisi dengan jalan-jalan dan belanja.
Tidak hanya di Belanda, kritik serupa juga muncul di negara-negara lain yang menjadi tujuan studi banding DPR.
Daripada terus menerus menghabiskan anggaran negara untuk kegiatan yang hasilnya sering kali tidak jelas, ada beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan untuk mengefektifkan kinerja DPR:
Alokasi Anggaran ke Program yang Lebih Bermanfaat
Dana yang digunakan untuk studi banding bisa dialokasikan ke program-program yang langsung menyentuh masyarakat, seperti penelitian oleh mahasiswa atau pakar lokal.
Misalnya, daripada belajar tentang pertanian di luar negeri, dana tersebut bisa digunakan untuk mendanai penelitian pertanian di universitas-universitas lokal yang hasilnya lebih relevan dan aplikatif bagi kondisi Indonesia
Pemanfaatan Teknologi
Di era digital ini, banyak informasi bisa diakses dengan mudah melalui internet. Kemajuan teknologi memungkinkan anggota DPR untuk melakukan telekonferensi atau mencari informasi melalui situs-situs resmi lembaga terkait tanpa perlu pergi ke luar negeri. Ini tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga lebih efisien dari segi waktu
Optimalisasi Peran Staf Ahli
DPR memiliki staf ahli yang bisa dimaksimalkan fungsinya. Staf ahli ini bisa melakukan penelitian dan kajian yang diperlukan, sehingga anggota DPR tidak perlu pergi jauh-jauh untuk mencari informasi. Di Indonesia tak kurang ilmuan, libatkanlah mereka.
Kerja Sama dengan KBRI
Anggota DPR bisa memanfaatkan komunitas Indonesia di luar negeri, seperti PPI dan KBRI, untuk mendapatkan informasi yang diperlukan.
Dengan demikian, kunjungan langsung ke luar negeri bisa diminimalisir dan informasi tetap bisa didapatkan dengan biaya yang lebih rendah
Studi Banding yang Tidak Relevan
Sering kali, negara-negara yang dipilih sebagai tujuan studi banding memiliki kondisi sosial, politik, dan geografis yang sangat berbeda dengan Indonesia. Hal ini membuat hasil studi banding tersebut menjadi tidak relevan untuk diterapkan di Indonesia.
Misalnya, kunjungan untuk pembahasan RUU Pramuka ke luar negeri jelas merupakan pemborosan karena topik tersebut bisa ditangani tanpa harus keluar negeri.
Selain itu, banyak anggota DPR yang melakukan studi banding saat pembahasan RUU sudah hampir selesai, yang membuat kunjungan tersebut menjadi tidak berguna dan menimbulkan polemik.
Terakhir, sebagai contoh, Saan Mustopa, anggota Komisi III DPR, menyoroti bahwa kunjungan kerja ke luar negeri untuk membahas RUU sebaiknya dilakukan sejak awal pembahasan atau saat proses akademis dari RUU tersebut, bukan saat hampir selesai.