Anak-anak Dibully, Dilecehkan, Dianiaya Sampai Merenggut Nyawa! Apa yang Salah dengan Pendidikan di Negeri Kita?

Noer Huda By Noer Huda - Content Creator
4 Min Read

jfid – Kekerasan di lingkungan pendidikan merupakan masalah yang semakin meresahkan dan memprihatinkan.

Melalui serangkaian kasus yang mengemuka dalam beberapa waktu terakhir, kita disuguhkan dengan gambaran nyata akan rentannya anak-anak dalam lingkungan pendidikan terhadap berbagai bentuk kekerasan, mulai dari bullying hingga kekerasan seksual.

Kasus yang paling mencolok adalah kematian tragis Fatir Arya Adinata, seorang siswa berusia 12 tahun yang diduga menjadi korban bullying di SMPN 1 Tambun Selatan.

Dianiaya oleh teman-temannya, Fatir mengalami amputasi pada kakinya yang berujung pada infeksi fatal dan kemudian kematian.

Ad image

Kasus serupa juga terjadi di SD Negeri 1 Teluk Pandan, Lampung, yang berakhir damai meskipun menyisakan trauma mendalam bagi korban.

Tak hanya itu, kejadian perundungan fisik dan seksual juga menimpa seorang santri di sebuah pesantren di Kota Jambi.

Meskipun korban mulai pulih, kejadian ini menunjukkan betapa rentannya anak-anak dalam lingkungan pendidikan, tanpa memandang status sosial atau lokasi institusi pendidikan.

Data yang disajikan memperlihatkan kecenderungan yang mengkhawatirkan. Statistik dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat 15 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan, melibatkan 124 anak sebagai korban. Jumlah yang cukup besar ini menyoroti betapa masifnya masalah ini dalam skala nasional.

Menurut data yang dikumpulkan oleh FSGI dari Republika, tercatat 16 insiden perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah selama periode Januari hingga Agustus 2023. Perundungan paling sering terjadi di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang menyumbang sekitar 25 persen dari total insiden tersebut.

Tak hanya itu, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menunjukkan lonjakan kasus kekerasan anak yang signifikan, khususnya pada tahun 2022.

Lonjakan tersebut mencakup berbagai bentuk kekerasan, mulai dari fisik, psikis, hingga seksual. Dari jumlah keseluruhan korban anak di tahun 2022, sebanyak 53 persen terjadi di lingkungan rumah tangga dan 29 persen dilakukan oleh teman atau pacar.

Terlepas dari angka yang mencengangkan ini, pentingnya respons yang tegas dan terukur dalam menangani masalah ini menjadi sorotan utama.

Masih terasa minimnya upaya yang konkret dalam mencegah kasus serupa. Pihak sekolah dan yayasan pendidikan perlu lebih proaktif dan responsif, tidak hanya dalam menangani kasus ketika terjadi, tetapi juga dalam menerapkan program-program pencegahan dan edukasi yang konsisten.

Namun, tidak hanya tanggung jawab pihak sekolah. Pemerintah juga memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan kebijakan yang mendukung perlindungan anak-anak di lingkungan pendidikan.

Implementasi dari kebijakan tersebut menjadi hal yang krusial untuk menjamin perlindungan anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan.

Melihat aduan yang masuk ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencapai ribuan, kita sebagai masyarakat memiliki tanggung jawab kolektif untuk melindungi anak-anak dari kekerasan di segala bentuknya.

Ini adalah panggilan kritis untuk mengatasi masalah ini secara menyeluruh, responsif, dan tidak hanya sekadar reaktif. Semua pihak, mulai dari individu, institusi pendidikan, pemerintah, hingga masyarakat luas, harus bersatu untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi generasi penerus bangsa.

Share This Article