Indonesia, negara dengan populasi lebih dari 279 juta orang, adalah tempat di mana kepercayaan tradisional dan modernitas sering kali bertabrakan.
Meski teknologi dan ilmu pengetahuan sudah semakin maju, banyak orang di Indonesia yang masih mempercayai dukun.
Menurut survei Wellcome Global Monitor pada 2020, sekitar 13% orang Indonesia lebih mempercayai dukun daripada ilmuwan, yang hanya sebesar 12%. Angka ini menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap hal-hal supranatural masih kuat di kalangan masyarakat.
Dengan populasi Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan mencapai 279.072.446 penduduk, ini berarti sekitar 30 hingga 40 dari setiap 100 orang masih mempercayai dukun.
Kalau kita bicara soal masyarakat Indonesia yang masih percaya dukun, ini bukan cuma soal tradisi, tapi juga masalah mindset dan keterbatasan akses.
Gini ya, kita ini hidup di zaman di mana Elon Musk bisa kirim orang ke Mars, tapi masih ada yang percaya kalau penyakit bisa disembuhin sama dukun yang cuma modal kemenyan dan mantra. Ironis? Banget!
Pertama, budaya dan tradisi memang memainkan peran besar. Di banyak daerah, terutama yang jauh dari pusat-pusat kota besar, kepercayaan terhadap dukun sudah mendarah daging. Ini bukan cuma soal kesehatan, tapi juga soal kenyamanan emosional.
Orang merasa lebih dekat dan percaya sama dukun yang udah dianggap bagian dari komunitas ketimbang dokter yang kadang lebih sibuk main golf daripada ngurus pasien. Tradisi ini diwariskan turun-temurun dan susah banget dihilangkan.
Kedua, akses terhadap layanan kesehatan yang layak masih jadi masalah besar di Indonesia. Di banyak tempat, puskesmas atau rumah sakit itu jauh dan mahal. Sementara, dukun selalu ada di dekat rumah, murah, dan siap melayani kapan saja.
Jadi, kalau ada yang sakit, ngapain repot-repot ke dokter yang jauh dan mahal kalau bisa ke dukun yang dekat dan terjangkau? Logika sederhana tapi memprihatinkan.
Ketiga, pengaruh sosial dan lingkungan juga nggak kalah kuat. Kalau satu kampung percaya sama dukun, susah banget buat jadi satu-satunya orang yang skeptis. Tekanan sosial ini bikin orang jadi ikut-ikutan meskipun dalam hati mungkin mereka ragu.
Lingkungan keluarga yang kuat dalam kepercayaan supranatural memainkan peran besar dalam mempertahankan tradisi ini. Kalau orang tua percaya dukun, anak-anak pun kemungkinan besar akan mengikuti.
Namun, meskipun kepercayaan terhadap dukun masih tinggi, Indonesia juga menunjukkan perkembangan signifikan di bidang pendidikan dan keahlian STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). Indonesia termasuk dalam tujuh negara teratas dengan jumlah lulusan STEM terbanyak di dunia.
Pada tahun 2020, Indonesia menghasilkan sekitar 200.000 lulusan STEM, menempatkannya di posisi ketujuh. Ini menunjukkan bahwa pendidikan di bidang ini mulai mendapatkan perhatian lebih, meskipun kepercayaan terhadap dukun tetap kuat.
Tapi di sini ada paradoks yang bikin kita garuk-garuk kepala. Di satu sisi, anak-anak muda Indonesia berlomba-lomba masuk jurusan STEM, belajar coding, bikin startup, dan segala macam teknologi canggih.
Di sisi lain, masih banyak yang kalau sakit sedikit langsung ke dukun. Jadi, meskipun pendidikan STEM sudah semakin baik, literasi kritis dan logika masih harus ditingkatkan. Jangan sampai kita jadi negara yang maju secara teknologi tapi mentalnya masih zaman batu.
Kemudahan mencari tenaga terampil juga mulai meningkat, meskipun belum optimal. Berdasarkan indikator global, Indonesia berada di peringkat 43 dalam hal kemudahan mencari tenaga terampil.
Ini menunjukkan bahwa meski ada tantangan, tenaga terampil di Indonesia semakin mudah ditemukan. Namun, masih banyak yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga terampil ini.
Pendidikan saja tidak cukup. Harus ada usaha lebih untuk meningkatkan literasi sains dan mengurangi kepercayaan pada hal-hal mistis yang nggak masuk akal.
Dalam hal keterampilan digital, Indonesia berada di peringkat 52. Masih ada ruang untuk perbaikan dalam penguasaan teknologi dan keterampilan digital di kalangan tenaga kerja Indonesia.
Dengan peningkatan ini, diharapkan masyarakat dapat lebih kritis dalam menghadapi informasi dan kepercayaan yang tidak rasional. Pendidikan yang komprehensif, yang tidak hanya fokus pada STEM tapi juga pada logika dan kritisisme, bisa menjadi kunci untuk masa depan yang lebih rasional.
Fenomena ini menunjukkan adanya paradoks dalam masyarakat Indonesia. Di satu sisi, ada peningkatan signifikan dalam bidang pendidikan dan teknologi, dengan banyaknya lulusan STEM dan meningkatnya keterampilan digital.
Namun, di sisi lain, kepercayaan terhadap dukun tetap bertahan kuat. Mungkin ini karena ilmu pengetahuan dan teknologi belum sepenuhnya mampu menggantikan peran yang dimainkan oleh kepercayaan dan tradisi dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi banyak orang, dukun tidak hanya menyediakan solusi kesehatan, tetapi juga memberikan kenyamanan emosional dan dukungan spiritual.
Melihat fenomena ini, kita bisa menyimpulkan bahwa modernitas dan tradisi bisa berjalan beriringan dalam masyarakat Indonesia.
Kepercayaan terhadap dukun mungkin tidak akan hilang sepenuhnya, tetapi dengan peningkatan pendidikan dan akses terhadap informasi, diharapkan masyarakat bisa lebih kritis dalam menghadapinya.
Pendidikan yang komprehensif, yang tidak hanya fokus pada STEM tapi juga pada logika dan kritisisme, bisa menjadi kunci untuk masa depan yang lebih rasional.
Jadi, meskipun kita sudah melihat perkembangan signifikan dalam pendidikan dan teknologi, masih ada pekerjaan rumah besar untuk memastikan masyarakat bisa mengadopsi pola pikir yang lebih rasional.
Kepercayaan terhadap dukun mungkin tidak akan hilang dalam semalam, tetapi dengan usaha yang tepat, kita bisa berharap untuk masa depan di mana ilmu pengetahuan dan logika menjadi pemandu utama dalam pengambilan keputusan.