Keuntungan Strategis Amerika Serikat dari Perang Israel-Palestina

Redaksi
By Redaksi
8 Min Read
grayscale photo of city buildings during daytime
Photo by yeswanth M on Unsplash
- Advertisement -

Konflik Israel-Palestina telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade, dengan eskalasi terbaru sejak Oktober 2023 menimbulkan dampak kemanusiaan yang luas. Di balik tragedi ini, Amerika Serikat (AS) memainkan peran sentral sebagai pendukung utama Israel. Artikel ini mengkaji secara rinci keuntungan yang diperoleh AS dari konflik tersebut, mencakup aspek ekonomi, geopolitik, militer, dan diplomatik, berdasarkan data dari lembaga riset seperti Quincy Institute dan Costs of War Project.

Amerika Serikat telah menjadi sekutu utama Israel sejak pendirian negara tersebut pada 1948. Dukungan AS terhadap Israel dalam konflik dengan Palestina bukan hanya bersifat ideologis, tetapi juga strategis. Dalam konteks perang Gaza 2023–2025, AS menggelontorkan lebih dari USD 21,7 miliar (sekitar Rp360 triliun) dalam bentuk bantuan militer dan logistik.

Keuntungan Ekonomi Yang Diperoleh Amerika Serikat

Perusahaan seperti Lockheed Martin, Raytheon, dan Boeing mendapat kontrak besar untuk memasok senjata ke Israel. Ketika perusahaan seperti Lockheed Martin, Raytheon Technologies, dan Boeing menandatangani kontrak bernilai miliaran dolar untuk memasok senjata ke Israel, kita tidak hanya menyaksikan transaksi bisnis biasa, kita menyaksikan bagaimana industri pertahanan global beroperasi di persimpangan antara keuntungan, geopolitik, dan kemanusiaan.

Di satu sisi, kontrak ini adalah bagian dari aliansi strategis antara Amerika Serikat dan Israel, yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi dalam kerangka hukum dan kebijakan luar negeri AS, dan mereka memenuhi permintaan yang sah dari sekutu utama. Dari perspektif ekonomi, kontrak ini menciptakan lapangan kerja, mendorong inovasi teknologi militer, dan memperkuat posisi industri pertahanan AS di pasar global.

Namun disisi lain, ada pertanyaan mendalam yang tidak bisa diabaikan: Apa konsekuensi dari ekspor senjata ke wilayah konflik yang telah menelan ribuan korban sipil? Ketika bom berpemandu presisi dan jet tempur buatan perusahaan-perusahaan ini digunakan dalam operasi militer yang menuai kritik internasional, tanggung jawab moral tidak bisa semata-mata diserahkan kepada negara pemesan.

Perusahaan-perusahaan ini bukan aktor netral. Mereka memiliki kekuatan untuk meninjau dampak dari produk mereka dan memilih untuk lebih transparan dalam praktik bisnisnya. Dalam dunia yang semakin sadar akan hak asasi manusia dan akuntabilitas korporasi, publik berhak tahu bagaimana dan di mana senjata-senjata ini digunakan.

Kontrak besar bukan hanya soal angka. Mereka adalah cerminan dari nilai-nilai yang dijunjung oleh perusahaan dan negara yang mendukungnya. Jika keuntungan menjadi satu-satunya kompas, maka kita berisiko kehilangan arah dalam hal kemanusiaan.

Sistem pertahanan Iron Dome, rudal presisi, dan drone tempur diproduksi oleh perusahaan AS dan dibeli dengan dana bantuan AS sendiri.

Sistem pertahanan seperti Iron Dome, rudal presisi, dan drone tempur telah menjadi simbol kemajuan teknologi militer abad ke-21. Namun, ketika sistem-sistem ini diproduksi oleh perusahaan Amerika Serikat dan dibeli oleh negara lain menggunakan dana bantuan dari AS sendiri, muncul pertanyaan mendasar siapa yang sebenarnya diuntungkan?

Iron Dome, yang dikembangkan oleh Israel dengan dukungan teknologi dan dana dari AS, terbukti efektif dalam mencegat roket jarak pendek. Namun, seperti yang terlihat dalam beberapa insiden terbaru, sistem ini tidak kebal terhadap serangan drone berkecepatan rendah dan tak terduga. Disisi lain rudal presisi dan drone tempur buatan AS menawarkan kemampuan serangan yang sangat akurat dan mematikan, sering digunakan dalam operasi militer yang kontroversial.

Ketika AS memberikan bantuan militer kepada negara sekutu seperti Israel, dana tersebut sering kali kembali ke kantong perusahaan pertahanan AS seperti Lockheed Martin, Raytheon, atau Boeing.
Hal Ini menciptakan siklus ekonomi tertutup, AS memberi dana, negara penerima membeli senjata dari AS, dan perusahaan AS mendapat keuntungan. Secara teknis, ini bukan “bantuan” murni, melainkan subsidi terselubung untuk industri militer domestik.

Bantuan militer bukan hanya soal solidaritas, tapi juga soal pengaruh. Dengan mengontrol sistem senjata dan aliran dana, AS menjaga dominasi strategis di kawasan seperti Timur Tengah. Negara penerima menjadi tergantung pada teknologi dan intelijen AS, mempersempit ruang gerak politik luar negeri mereka.

Ketika sistem seperti Iron Dome gagal mencegat serangan drone, muncul pertanyaan tentang efektivitas dan transparansi penggunaan dana bantuan.
Lebih jauh lagi, penggunaan rudal presisi dan drone dalam konflik yang menimbulkan korban sipil menimbulkan dilema etis: apakah teknologi canggih benar-benar membawa keamanan, atau justru memperpanjang konflik.

Efek domino peningkatan permintaan senjata dari negara-negara Timur Tengah yang merasa terancam oleh konflik.

Peningkatan permintaan senjata dari negara-negara Timur Tengah bukan sekadar respons terhadap ancaman, melainkan cerminan dari siklus ketidakpercayaan dan ketegangan yang terus berputar. Ketika satu negara memperkuat militernya karena merasa terancam, negara tetangga pun merasa perlu melakukan hal yang sama. Inilah efek domino yang mempercepat perlombaan senjata di kawasan yang sudah rapuh secara geopolitik.

Konflik yang melibatkan aktor negara dan non-negara seperti perang proksi Iran melalui kelompok Houthi di Yaman, atau Hezbollah di Lebanon telah menciptakan rasa tidak aman yang mendalam. Negara-negara seperti Arab Saudi, Qatar, dan Mesir merespons dengan meningkatkan anggaran pertahanan dan mengimpor senjata dalam jumlah besar. Menurut laporan SIPRI, Arab Saudi bahkan menjadi importir senjata terbesar kedua di dunia pada 2019–2023.

Efeknya tidak hanya lokal. Ketika negara-negara Timur Tengah meningkatkan pembelian senjata, produsen senjata global seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Italia mendapat keuntungan besar. Perusahaan-perusahaan ini berlomba memenuhi permintaan, yang pada gilirannya mendorong inovasi militer dan memperkuat industri persenjataan. Namun, ini juga memperpanjang konflik karena senjata yang dibeli digunakan dalam perang yang belum selesai seperti di Gaza dan Yaman.

Ironisnya, senjata dibeli atas nama keamanan, tetapi justru memperbesar potensi konflik. Ketika semua pihak bersenjata, ruang untuk diplomasi menyempit. Ketakutan akan serangan mendadak membuat negara-negara lebih reaktif daripada reflektif. Dalam jangka panjang, ini menciptakan ketidakstabilan yang lebih besar dan memperumit upaya perdamaian.

Efek domino ini menunjukkan bahwa keamanan tidak bisa dibangun hanya dengan senjata. Ketika rasa takut menjadi bahan bakar utama kebijakan luar negeri, maka perdamaian akan selalu tertinggal di belakang. Yang dibutuhkan bukan hanya pertahanan, tetapi juga keberanian untuk berdialog dan membangun kepercayaan.

AS menjaga pengaruhnya atas jalur distribusi minyak dan gas di Timur Tengah.
Ketegangan di kawasan mendorong harga energi global, menguntungkan perusahaan energi AS yang beroperasi secara internasional. Dukungan terhadap Israel memperkuat posisi AS sebagai aktor dominan di kawasan, Amerika menggunakan konflik untuk menekan Iran, Hezbollah, dan kelompok proksi lainnya.

Amerika Serikat memperoleh berbagai keuntungan dari konflik Israel-Palestina, mulai dari ekonomi hingga geopolitik. Kendati demikian keuntungan ini datang dengan harga tinggi, korban jiwa, krisis kemanusiaan, dan ketegangan global.

- Advertisement -
Share This Article