jfid – Israel menghadapi krisis ekonomi dan politik yang parah di tengah perang dengan Hamas yang telah menewaskan ribuan orang dan menyandera ratusan lainnya.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang telah berkuasa selama lebih dari 16 tahun, mengumumkan pengunduran dirinya setelah mendapat tekanan dari berbagai pihak, termasuk mantan pejabat militer, intelijen, dan politik, yang menyalahkan dirinya atas kegagalan yang menyebabkan serangan Hamas pada 7 Oktober lalu.
Menurut laporan IMF, ekonomi Israel telah terpukul sekitar $8 miliar (Rp 66,657 triliun) sejak konflik dimulai dan negara itu menghabiskan $260 juta (Rp 2,166 triliun) per hari untuk perangnya dengan Hamas.
Tingkat pengangguran naik tajam, produk domestik bruto (PDB) menyusut, dan defisit anggaran membengkak. Harga minyak dunia juga melonjak hingga $150 per barel, menyebabkan inflasi dan resesi global.
Netanyahu, yang masih menghadapi persidangan atas beberapa kasus korupsi, telah dikritik keras oleh publik Israel, mantan kepemimpinan militer, dan mantan pejabat lainnya atas upayanya untuk mereformasi peradilan sebelum serangan mematikan pada 7 Oktober.
Ia juga dituduh berbohong dan melemparkan kesalahan kepada para jenderalnya atas kegagalan intelijen yang tidak mendeteksi rencana Hamas untuk melakukan perang.
Pemimpin oposisi Yair Lapid, yang kini menjadi bagian dari kabinet perang darurat, menyerukan Netanyahu untuk mengundurkan diri segera dan membentuk pemerintahan persatuan nasional untuk mengatasi krisis.
“Kami membutuhkan perubahan. Kami membutuhkan pemimpin yang dapat mengembalikan kepercayaan publik, yang dapat mengakhiri perang ini dengan kemenangan, dan yang dapat memulihkan ekonomi kita,” katanya.
Mantan perdana menteri Ehud Barak, yang juga salah satu tentara paling terhormat di Israel, menggambarkan serangan Hamas sebagai “pukulan paling parah yang dialami Israel sejak berdirinya hingga saat ini”.
Ia mengatakan bahwa Netanyahu tidak layak memimpin negara di bawah beban peristiwa yang menghancurkan itu.
“Ini adalah kelalaian dan kegagalan di beberapa tingkat. Ini adalah kegagalan intelijen kita untuk mengikuti persiapan yang terjadi selama setahun, mungkin lebih lama,” katanya.
Sementara itu, situasi di Gaza semakin mengerikan, dengan ribuan warga sipil tewas atau terluka akibat serangan udara Israel. Hamas masih memegang sekitar 200 sandera Israel, yang nasibnya tidak diketahui.
Beberapa keluarga sandera memohon pemerintah untuk bernegosiasi sebelum menyerbu Gaza, sementara yang lain mengatakan bahwa hanya operasi militer yang dapat memberikan solusi, bahkan jika ini membahayakan keselamatan sandera.
Konflik di Timur Tengah juga berpotensi menimbulkan dampak luas di dunia, mulai dari kerusuhan baru di dunia Arab, hingga pemilihan presiden tahun depan di AS, di mana harga bensin adalah kunci bagi sentimen pemilih.