jfid – Albert Einstein dikenal sebagai salah satu ilmuwan paling terkenal dalam sejarah, yang mengubah dunia fisika dengan teori relativitasnya.
Namun, di balik kejeniusannya, Einstein juga memiliki kisah politik yang kompleks dan berkembang seiring dengan peristiwa-peristiwa penting di abad ke-20.
Salah satu isu yang menarik perhatiannya adalah konflik Israel-Palestina, yang membuatnya berubah dari seorang pendukung Zionis menjadi penentang pendudukan Israel di tanah Arab.
Zionisme adalah gerakan nasionalis Yahudi yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina, tanah yang dianggap sebagai tanah air historis mereka.
Gerakan ini muncul pada akhir abad ke-19 sebagai respons terhadap antisemitisme yang melanda Eropa dan dunia.

Banyak Yahudi yang merasa terancam dan terdiskriminasi di negara-negara tempat mereka tinggal, dan berharap untuk memiliki sebuah negara sendiri yang dapat melindungi dan menjamin hak-hak mereka.
Einstein, yang lahir di Jerman pada tahun 1879, awalnya skeptis terhadap gagasan sebuah negara Yahudi dengan perbatasan, tentara, dan kekuasaan temporal.
Ia menolak nasionalisme, yang ia anggap sebagai sumber kekerasan dan perang. Ia menyaksikan sendiri dampak mengerikan dari Perang Dunia I, yang menewaskan jutaan orang akibat persaingan antara negara-negara imperialis.
Dalam sebuah pidato kepada para pemimpin buruh, ia menyatakan keberatannya terhadap ide “sebuah negara Yahudi dengan perbatasan, tentara, dan kekuasaan temporal, sekecil apapun.”
Einstein khawatir akan “nasionalisme sempit” yang ia yakini akan menyertai negara semacam itu.
Einstein juga mengakui adanya populasi Arab yang hidup di Palestina sebagai “kerabat” dan menyampaikan keprihatinannya bahwa pembentukan sebuah negara Yahudi di atas tanah Arab akan berujung pada puluhan tahun permusuhan dan konflik.
Dalam sebuah surat kepada seorang rekan, fisikawan Paul Ehrenfest, ia memperingatkan bahwa nasionalisme Yahudi yang meluap-luap “mengancam akan menurun menjadi permusuhan dan fanatisme.”
Visi Einstein adalah sebuah visi internasionalis, di mana kerjasama dan pengertian antara bangsa-bangsa dapat membuka jalan untuk sebuah dunia yang lebih adil dan damai.
Namun, seiring dengan berjalannya abad ke-20, dan ia menyaksikan penindasan yang semakin meningkat terhadap orang-orang Yahudi di Eropa dan tempat lain, Einstein mulai meninjau kembali sikapnya terhadap Zionisme.
Munculnya antisemitisme dan kengerian Holocaust meninggalkan bekas yang mendalam pada dirinya, dan ia melihat perlunya sebuah tempat perlindungan bagi orang-orang Yahudi.
Pada periode ini, ia mulai mendukung gagasan sebuah tanah air Yahudi.
Namun, dukungan Einstein terhadap Zionisme tidak tanpa syarat.
Ia tetap kritis terhadap elemen-elemen ekstremis dan kekerasan dalam gerakan Zionis dan sangat terkejut oleh kekerasan dan kekejaman yang dilakukan menjelang berdirinya Israel, seperti pembantaian Deir Yassin.
Dalam insiden terkenal itu, sekitar 120 militan dari Irgun pimpinan Menachem Begin dan Stern Gang menyerbu desa Palestina Deir Yassin, yang mengakibatkan pembunuhan brutal antara 100 dan 250 pria, wanita, dan anak-anak.
Laporan-laporan menyebutkan kematian akibat tembakan, granat yang dilemparkan ke rumah-rumah, dan bahkan pawai mengerikan di Yerusalem Barat. Ada juga laporan tentang perkosaan, penyiksaan, dan mutilasi.
Einstein menentang keras tindakan-tindakan kekerasan seperti itu.
Pada tahun 1948, ia bersama dengan akademisi Yahudi lainnya mengirimkan sebuah surat ke New York Times untuk memprotes kunjungan Menachem Begin ke Amerika.
Dalam surat itu, mereka mengutuk partai Herut (Kebebasan) milik Begin, yang menyamakannya dengan “partai politik yang sangat mirip dalam organisasi, metode, filsafat politik, dan daya tarik sosialnya dengan partai Nazi dan Fasis.”
Kecaman keras Einstein terhadap Herut dan kelompok-kelompok serupa mencerminkan penolakannya terhadap ekstremisme.
Partai Herut kemudian berkembang menjadi partai Likud (Kesatuan) – partai konservatif sayap kanan yang menjadi partai Perdana Menteri Israel saat ini, Benjamin Netanyahu.
Kekerasan dan pertumpahan darah yang mengotori jalan menuju kelahiran Israel sangat mengganggu pemenang Nobel itu, dan ini pasti menjadi faktor penting dalam keputusannya untuk menolak tawaran dari Perdana Menteri David Ben-Gurion pada tahun 1952.
Ben-Gurion menawarkan agar Einstein menjadi presiden Israel setelah kematian presiden pertama mereka, Chaim Weizmann. Namun, penolakan Einstein terhadap tawaran ini didasarkan pada keyakinannya bahwa ia harus “memberitahu rakyat Israel hal-hal yang tidak mereka sukai.”
Einstein memiliki pandangan yang berbeda dengan Ben-Gurion tentang masa depan Israel. Ia berharap agar Israel menjadi sebuah negara yang demokratis, sekuler, dan multikultural, yang menghormati hak-hak minoritas dan hidup berdampingan dengan tetangga-tetangganya.
Ia menentang kebijakan-kebijakan yang menindas dan mendiskriminasi orang-orang Palestina, dan mendukung solusi dua negara yang adil dan damai.
Sikap Einstein terhadap konflik Israel-Palestina tetap menjadi contoh yang menarik dari dimensi etis dan kemanusiaan dari isu tersebut. Ia mengakui penderitaan rakyat Palestina dan kebutuhan akan resolusi yang adil dan damai.
Penentangan kuatnya terhadap kekerasan dan ekstremisme, ditambah dengan dukungannya terhadap gagasan sebuah tanah air Yahudi, menekankan kompleksitas dan dilema moral yang menyertai konteks historis dan politik dari konflik Israel-Palestina.
Dengan mengingat kembali warisannya, kita diingatkan akan pentingnya etika dan kemanusiaan dalam mengejar tujuan politik, bahkan dalam menghadapi konflik yang sangat rumit dan emosional.