Sejarah Kapal Selam Indonesia Terseret Torpedo di Kalibacem

Herry Santoso
6 Min Read
Awal Kapal Selam Indonesia (foto: dok. Negara)
Awal Kapal Selam Indonesia (foto: dok. Negara)

Kisah Heroik

jfid – Ketika Belanda melakukan blokade laut, Indonesia membuat kapal selam mini untuk mengatasinya.

Pembuatannya dikerjakan oleh Djodoe Ginagan, seorang pemuda kelahiran Sibolga yang sempat belajar di Belanda. Surat kabar Algemeen Handelsblad edisi 18 Agustus 1937 mengabarkan bahwa namanya tercatat sebagai salah satu penumpang kapal MV Marnix van Sint Alriegonrie. Kapal itu berlayar dari Jakarta ke Amsterdam pada 11 Agustus 1937. Menurut Heldersche Courant edisi 22 Juli 1939.

Kepergian Ginagan ke Belanda bertujuan untuk belajar di kursus pelatihan mualim. Maka sebelum pulang ke Indonesia, ia sempat bekerja menjadi mualim di sebuah perusahaan pelayaran.

Informasi lain tentang Ginagan disampaikan oleh Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik 1945 sampai dengan 1949 (2019).

Menurutnya, Ginagan sempat terdaftar sebagai anggota Angkatan Laut Belanda. Meski demikian, ia termasuk orang Indonesia di Belanda yang mendukung perjuangan pergerakan nasional.

Sikapnya itu membuat ia diusir dari Belanda pada Desember 1946. Ginagan bukan satu-satunya orang Indonesia yang keluar dari dinas Angkatan Laut Belanda dan meninggalkan negeri tersebut.

Pada permulaan tahun 1947, seperti dilaporkan Nederlandsche Staatscourant edisi 07 Maret 1947, keluar juga Washington Siahaan yang sebelumnya bekerja sebagai Opsir Administrasi Angkatan Laut Kelas Dua.

Selain itu ada Raden Soebijakto yang mengundurkan diri sebagai Letnan Laut Kelas Tiga. Setibanya di Indonesia, Ginagan diperbantukan di Kementerian Penerangan sebagai perwira Angkatan Laut.

Sementara Siahaan dan Soebijakto bekerja di Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.

Baca juga: Wafatnya Laksamana Mas Pardi: Sejarah Bapak Angkatan Laut RI Membuat Kapal Selam dari Mesin Fiat Dalam sejumlah catatan, Ginagan ternyata sempat belajar juga di Gemeentelijke Zeevaartschool (Sekolah Pelayaran Pemerintah) di Den Helder, dan belajar teknik mesin di Groningen.

Bekal pendidikan ini membuatnya mendorong untuk merancang sebuah kapal selam pertama untuk Angkatan Laut Republik Indonesia.

Usahanya tersebut dilakukan untuk merespons blokade Angkatan Laut Kerajaan Belanda terhadap kapal-kapal Indonesia deng tujuan untuk mengisolasi dan menghancurkan ekonomi Indonesia.

Indroyono Soesilo dan Budiman dalam Kapal Selam Indonesia (2008) mencatat, Ginagan dibantu oleh M. Susilo seorang pegawai perencanaan kapal, untuk merancang desain kapal selam tersebut. Setelah rancangan selesai, mereka baru mengerjaan pembuatannya di sebuah pabrik besi di Yogyakarta mulai Juli 1947.

Kapal selam berukuran 7×1 meter itu menghabiskan biaya sebesar 5 ribu ORI (Oeang Republik Indonesia) dan memakan waktu selama berbulan-bulan. Bobot matinya seberat 5 ton dan digerakkan oleh mesin mobil Fiat 5 PK.

Kapal yang dirancang untuk satu awak itu dilengkapi dengan torpedo berukuran 5 meter peninggalan Jepang yang tersedia di lapangan terbang Maguwo. Jarak tembaknya sekitar 1 mil, dan diharapkan mampu merusak kapal perusak Belanda.

Ketika Mohammad Hatta menjadi Perdana Menteri yang merangkap Menteri Pertahanan, ia mengirim surat kepada Ginagan. Surat keputusan Nomor A 527/1948 tanggal 23 Juni 1948 itu berisi perintah untuk menyerahkan kapal selam kepada Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), jika telah selesai dikerjakan dan diujicoba. Ginagan diberi waktu paling lambat sampai tanggal 20 September 1948 untuk melapor kepada KSAL.

Kapal Selam Dicoba di Kali

Tak Sempat Melaut untuk Republik Setelah selesai dikerjakan, kapal selam itu segera diujicoba. Namun, alin-alih di laut, ujicoba kapal selam mini itu justru dilakukan di sungai Kalibayem, Yogyakarta dan diawaki langsung oleh Ginagan.

Dalam percobaannya, kapal selam yang digerakkan mesin truk itu berhasil bergerak mengapung dan menyelam. Tetapi ketika torpedo dicoba untuk dilepaskan, ternyata handel pengikat tidak mau melepaskan dan torpedo tetap terikat. Akibatnya kapal selam mini itu terseret oleh torpedonya sendiri.

Kapal selam yang masih dalam tahap penyempurnaan itu tak sempat melaut untuk membela Republik, sebab Yogyakarta keburu diduduki Belanda. Setelah disita, Belanda mengejeknya lewat siaran radio, “Wah orang Indonesia, di kali, membuat kapal selam dari drum.”

September 1948, setelah ibu kota Republik diduduki dan para pemimpin nasional ditawan. Ginagan bersama para perwira penting Angkatan Laut lainnya berangkat ke Aceh. Ia sesuai latar pendidikannya, diangkat menjadi perwira teknik permesinan.

Awal tahun 1950-an, Ginagan masih berdinas di Angkatan Laut dengan pangkat Kapten. Dalam catatan De vrije Pers edisi 6 Mei 1952, Ginagan tengah berada di Belanda saat Sekolah Torpedo dan Persenjataan dalam Air ALRI dibuka di Surabaya.

Selama berdinas di ALRI, Ginagan tidak sampai berpangkat bintang. Setelah Laksamana Madya Soebijakto tak lagi menjadi KSAL, dan golongan perwira didikan Belanda mulai tersingkir, Ginagan pun pensiun pada 31 Agustus 1961 dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel. (Diceritakan kembali okeh : Herry Santoso / Jurnalfaktual.id).

Tentang Penulis: Hery Santoso adalah seorang Intelektual kelahiran Blitar Jawa Timur. Selain menjadi Dosen di salah satu Universitas, Hery Santoso juga sebagai Jurnalis jurnalfaktual.id.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article