Ernest Douwes Dekker: Manusia Indis Sang Nasionalis Indonesia

Faidi Ansori
8 Min Read
Ernest Douwes Dekker
Ernest Douwes Dekker

Jikalau diantara kita mengaku sebagai seorang nasionalis, namun sementara kita masih mengukur jiwa nasinalisme seseorang dengan berdasarkan wilayah, agama, ras, kebudayaan, tradisi, dan asal-ulul negaranya, maka pemahaman tersebut alangkah lebih baik dicampakkan diselokan,” (Bung Slenteng).

jfid – Pahlawan Indonesia seperti Bung Karno, Bung Hatta, H.O.S Tjokroaminoto, Bung Syahrir, dan lain-lain, sekarang ini tidak asing didengar ditelinga bangsa Indonesia. Jiwa nasionalisme mereka tidak perlu diragukan lagi. Namun sayang, ada salah seorang nasionalis berdarah keturunan campuran (Indis) malah tidak banyak diketahui oleh kita, akan peran pentingnya dalam perjuangan kemerdekaan tanah air Indonesia, beliaulah  Ernest Douwes Dekker.

Douwes Dekker terlahir sebagai keturunan bangsa campuran. Ayahnya bernama, Auguste Douwes Dekker keturunan Kreol (Eropa Murni), sementara ibunya, Louisa Margaretha Neumann peranakan Jerman-Jawa. Dia lahir di Pasuruan, Jawa Timur pada tanggal 8 Oktober 1879. Nama pemberian orang tuanya adalah Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, namun berjalannya waktu dalam perjuangan, Bung Karno memberinya nama Danudirja Setiabudi.

Sebagai seorang Indis yang lahir di Jawa, dimasa remajanya Douwes Dekker memulai mengenyam pendidikan di H.B.S. Batavia, sekolahan Belanda. Di masa muda itulah ia sudah mulai mengindentifikasikan diri sebagai seorang Jawa dan mulai mengasingkan status Eropanya. Maka berjalannya waktu, Douwes Dekker dicap sebagai pemberontak karena bersikap sudah memihak terhadap masyarakat bumi putra.

Doues Dekker seperti yang kita ketahui didalam teks buku sejarah Indonesia, mulai sejak muda ia merupakan salah seorang Indis yang suka memberontak. Apa yang tidak disukainya maka akan diterobos. Walaupun pagar besi pemirintah penjajah Belanda menghadangnya. Itu diketahui saat Douwes Dekker bekerja menjadi pengawas perkebunan kopi, Sumber Duren di Kaki Gunung Semeru.

Selama Doues Dekker bekerja, ia melihat sistem kolonial yang amat eksploitatif terhadap kaum pribumi, khususnya terhadap buruh-buruh perkebunan. Penindasan dan ketidakadilan memantiknya untuk berpihak terhadap pribumi, sehingga Douwes Dekker terpaksa dikeluarkan sebagai pekerja perkebunan kopi.

Tidak hanya di perkebunan kopi, demikian juga saat Douwes Dekker mulai bekerja di Pabrik Gula Pajarakan, Probolinggo. Tetapi kolonial masih bersikap sama dan berlaku tidak adil terhadap bumiputra dengan pembagian yang tidak merata atas air irigasi untuk penduduk, maka ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan walaupun pada waktu itu Douwes Dekker menjadi seorang ahli kimia di pabrik tersebut.

Perang Boer meledak di Afrika pada tahun 1899, apalagi Douwes Dekker sangat merasa frustasi karena sudah ditinggal orang tua, namun kabar berita meletusnya perang Boer di Afrika Selatan memancing ia untuk ikut andil dalam bekerja sebagai petani, dan bersama-sama mereka melakukan pemberontakakan upaya menerobos ketidakseenang-wenangan pemerintah Inggris. Bersama Boer (Orang-orang Belanda) itulah ia berjuang dengan jiwa progresif dan radikal.

Saat Douwes Dekker menjadi sukarelawan (dalam perang Boer Afrika Selatan), dan berjuang memberontak ketiadilan justru ia malah pilihannya menuai penyesalan. Sebagaimana bunyi dalam salahsatu tulisan yang berjudul Ernest Douwes Dekker: Indis Nasionalis dikatakan; “Perang tersebut tak ubahnya perebutan hegemoni antar Belanda melawan Inggris di wilayah Afrika Selatan, tanpa memperhatikan penduduk asli,” (Prima Dwianto, www.indonesiana.id, 3 Maret, 2017). 

Kekalahan Belanda atas Inggris membuat Douwes Dekker menjalani penahanan di Kolombo dan Pretoria pada tahun 1902. Nasib seorang pejuang kemanusiaan memang kebanyakan mengalami penjara dan pembuangan, sebagaimana Douwes Dekker mengalami itu semua sebagai konsekwensi prinsipnya untuk menjunjung tinggi keadilan melawan penindasan.

Setelah penahanan di Kolombo dan Pretoria Douwes Dekker kemudian kembali ke Hindia (Indonesia sekarang) untuk merintis karir jurnalis dan politiknya. Dari karir jurnalisme itulah dia tambah bebas mengkriktik dengan pedas atas tindakan pemerintah Hindia Belanda yang eksploitatif terhadap rakyat Nusantara saat itu. 

Pemikiran-pemikiran radikal Douwes Dekker upaya sengaja ditujukan terhadap Pemerintah Belanda untuk melepaskan Nusantara (Indonesia sekarang) dari cekikan penjajahan kolonial Belanda yang mencokol. Tulisan pedas tersebut di muat di Nieuwe Arnhemsche Courant pada Juli 1908 yang berjudul Hoe Kan Holland Het Spoedigst Zijn Kolonien Verliezen.

Tidak hanya pada kritikan melalui tulisan, Douwes Dekker juga mendengungkan kemerdekaan Indonesia dengan mendirikan Indische Partij (IP) pada tanggal 25 Desember tahun 1912 melalui sebuah vergadering bersama dua kawan seperjuangannya, yaitu Tjipto Mangoenkoesoemoe dan Soewardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Tiga orang tersebut nanti dikenal dengan ‘Tiga Serangkai’. 

Nama Ernest Douwes Dekker menjadi tokoh penting dimasa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Dialah salah satu tokoh yang menumbuhkan benih-benih nasionalisme pertama kali di Indonesia. Sementara IP dengan tokoh tiga serangkai dikenal dengan organisasi politik pertama di Indonesia.

Nasionalisme Dekker tak ubahnya dengan nasionalisme yang didengungkan Bung Karno, yaitu nasionalisme kemanusiaan yang tidak menggolirifikasikan keunggulan fisik atau pun warana, ras, dan agama. 

Politik propaganda yang digunakan dan didengungkan oleh IP dengan tokoh Tiga Serangkainya dikenal dengan jargon “Hindia untuk orang Hindia”. Gerakan inilah pada waktu itu dikatakan sebagai gerakan radikal. Bahkan “Yang mula-mula sekali mengembangkan cita-cita kemerdekaan Tanah Air dan Bangsa adalah Indische Partij yang dipimpin oleh tiga orang, Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat” kata Bung Hatta, seperti yang dikutip Walentina Walutanti De Jong dalam Sukarno-Hatta Bukan Proklamtor Paksaan (2015: 41).

Jangan heran ketika seorang Indis bernama Ernes Douwes Dekker ini oleh Bung Karno diberikan gelar istimewa sebagai “Bapak Nasionalisme Politik Indonesia”. 

Seorang nasionalis Indis seperti Douwes Dekker patut diberi penghargaan setinggi-tingginya, sebab dialah yang menolak perkataan Inlander (Orang tersial) yang telah dikatakan oleh Belanda terhadap orang Indonesia pada masa-masa penjajahan.

Kita sebagai bangsa Indonesia (terutamasekali sekarang) penting kiranya mempelajari siapa dan apa yang telah dilakukan oleh Douwes Dekker terutama saat ia mempropagandakan kemerdekan kita sebangai bangsa yang besat upaya lepas dari bentuk-bentuk penjajahan.

Hanya dengan cara menghargai jasa-jasa para pahlawan dan meneruskan titah perjuangannya, bangsa ini bisa besar. Tentu juga kita harus lebih percaya kepada kekuatan diri sendiri, dan jangan mencacimaki satu sama lain walupun berbeda latar belakang agama, ras, budaya, dan warna kulit. Apalagi Douwes Dekker mengajarkan kita suatu ajaran yang dikenal dengan suatu faham nasionalisme dengan selalu berjiwa humanisme.

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk seluruh rakyat Indonesia, dan mudah-mudahan  jiwa nasionalisme kita sama semangatnya seperti nasionalisme Ernes Douwes Dekker seorang Indis yang amat termat cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tentang Penulis: Faidi Ansori, Agen Intelektual jurnalfaktual.id. Penulis buku Homo Digitalis (2018). Marhaenisme, Marxisme Ala Indonesia (2019).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article