Perang Jawa Sebagai Tonggak Historis Islam Nusantara

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read

jf.id – “Jawa” pada dasarnya adalah sebuah abstraksi, sebentuk simplifikasi atas realitas yang kompleks. Konstruksi “Jawa” sebenarnya bermula tatkala para antropolog Barat (Belanda) berupaya menjadikannya obyek pengetahuan yang kemudian diiringi oleh kolonialisasi. Pada masa lampau, khususnya oleh orang Jawa sendiri, sebelum Belanda secara politis menaklukkan pulau Jawa, tak ada definisi yang pasti perihal apa yang diacu oleh istilah “Jawa.” Serat Wedhatama, salah satu karya kesusastraan Jawa klasik yang dianggap adiluhung, mengetengahkan teladan orang “Jawa” yang memiliki kegemaran menempa ruhani dan “Amemangun karyenak tyasing sesama (menolong sesama).” Tak ada dalam penyandraan itu mengacu pada suku bangsa, bahasa, dialek bahasa, cita rasa, warna kulit, wilayah administratif dan seterusnya. Dengan demikian, “Jawa” dalam tilikan Serat Wedhatama adalah sebentuk diri ideal. Tentu, berbicara idealitas adalah berbicara tentang sebuah proses.

Karena itu, saya kira, banyak orang memandang “Jawa” selalu saja “Jawa” di masa lampau yang turut dikonstruksikan pula oleh Belanda, seperti halnya pandangan dikotomis antara “Jawa” dan “luar Jawa.” Padahal pendefinisian “Jawa” di masa lampau tersebut berjalan bukan tanpa persoalan di dalamnya. Seperti tripartismenya Clifford Geertz yang pernah saya bantah: “santri” dalam kaitannya dengan priyayi dan abangan mengacu pada kalangan religius yang mana, yang berkecenderungan tradisionalis, modernis atau wahabi (Mbah Mutamakin, Santri Sang Ruci, https://alif.id)? Bagaimana kemudian meletakkan aksara pegon, di mana aksaranya adalah aksara Arab, tapi pengucapan dan maknanya adalah Jawa, pada tata bahasa Jawa atau tata bahasa Arab? Dan bagaimana meletakkan seorang Dipanegara di antara tripartisme priyayi, santri, dan abangan? Belum lagi, yang lebih kompleks, seorang Ronggawarsita dan karya-karyanya, ke manakah anak Mas Pajangswara dan mantan santri Kanjeng Kyai Kasan Besari itu diletakkan: priyayi, santri, abangan?

Dipanegara dan Ronggawarsita hanyalah segelintir orang yang berada di ruang ambang antara priyayi, santri, dan abangan. Tentang ke-abangan Dipanegara dapat ditemukan dalam sepenggal gelarnya sebagai sang Heru Cokro dan kuatnya ramalan tentang Ratu Adil dalam setiap derap langkah perjuangannya—yang kelak memengaruhi pecahnya aliansinya dengan Kyai Mojo yang terkenal puritan. Tapi kenyataannya, Dipanegara sendiri adalah seorang santri dan bahkan sufi. Ia adalah penganut tarekat Syattariyah (Menyulam yang Terbenam [Seusai Menengok Makam Syekh Yahuda], Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).  

Adapun Ronggawarsita (“Zaman Kalabendu” Ronggawarsita, Heru Harjo Hutomo, http://www.berdikarionline.com), selain dikenal sebagai mantan santri bengalnya Kanjeng Kyai Kasan Besari, juga percaya pada peristiwa tumimbal lahir (reinkarnasi). Hal ini dapat dibaca dalam salah satu karyanya yang menjadi semacam “buku suci” bagi anak-murid Ki Ageng Djoyopoernomo di Temuguruh, Banyuwangi—yang konon diakui sebagai “saudara” oleh Abdurrahman Wahid—: Wirid Hidayat Jati.

Dengan demikian, kekhawatiran bahwa Islam nusantara hanya mengacu ke “Jawa” saja—dan tak pernah mewakili wilayah “luar Jawa”—sama sekali tak relevan lagi. Saya pernah membaca Layang Muslimin-Muslimat karya R. Asep Martawijaya yang berbahasa Sunda dan menggunakan metrum-metrum macapat. Seni tembang macapat sendiri tak khas Jawa, Sunda dan Bali juga mengenal seni sejenis ini yang dirangkai dengan bahasanya sendiri. Layang Muslimin-Muslimat adalah sejenis karya sastra-sufistik yang mengetengahkan doktrin-doktrin tarekat Akmaliyah. Tarekat Akmaliyah sendiri merupakan peleburan tarekat Naqsyabandiyah dan Syattariyah. Aurad-nya banyak yang berasal dari Syattariyah, tapi sanad dan prinsip khalwat dar anjuman serta tradisi khafi-nya bersambung ke Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq laiknya tarekat Naqsyabandiyah.

Saya sendiri berpendapat bahwa tonggak historis dari apa yang dikenal sekarang sebagai Islam nusantara, selain era kepemimpinan walisanga dan Raden Patah di Demak, adalah perang Jawa yang berkobar pada tahun 1825-1830 yang dipimpin oleh Pangeran Dipanegara. Pangeran yang juga bergelar Heru Cokro itu mampu mengundang simpati dari banyak orang yang memiliki latar-belakang yang berbeda. Seusai perang Jawa, jejaring Dipanegara masih dapat dikenali hingga saat ini. Selain makam-makam pendheman (khumul), jejaringnya menyebar menjadi gerakan tarekat dan kapitayan (Jejaring Dipanegara dan Nasibnya Sesudah Perang Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Dengan demikian, berbicara Islam nusantara tak hanya berbicara warisan-warisan yang tampak, seperti halnya kepustakaan yang berbahasa Arab dan pegon, tapi juga hal-hal—karena keadaaan tertentu—yang tersembunyi. Dan itu pun tak semata mencakup wilayah Jawa. Sebab persebaran Islam di masa walisanga dan seusai perang Jawa tercatat tak sekedar di pulau Jawa dan masyarakat yang berbahasa Jawa.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article