Menyoal Kecongkaan dan Hegemoni Barat atas Invasi Rusia terhadap Ukraina

Herry Santoso
5 Min Read

jfid – PERANG Rusia-Ukraina meletus (Kamis, 24/2/22). Dunia terkejut dan kalang kabut. Betapa tidak, dua negara yang dulu sama-sama bernafaskan sosialis dan bergabung dalam Uni Soviet kini sama-sama kehilangan rasa solidaritas dan berniat ingin saling menghancurkan.

Jika perang Rusia-Ukraina tidak kunjung usai, maka tidak satu pun negara di dunia ini yang tidak terdampak. Sikap keras kedua kepala negara, yakni Vladimir Putin (Rusia), dan Volodymyr Zelensky (Ukraina) menjadikannya war-fobia akan memicu terjadinya Perang Dunia ke-3. Ironisnya, opini global telah menggiring Rusia ke bilik yang amat dilematis lantaran dituding sebagai “agresor” yang haus darah.

Buah Kecongkaan Barat

Padahal, sejatinya biang kerok pemicu sumbu ketegangan di bumi justru berada di blok Barat alias Sekutu. Sudah menjadi rahasia global, kelompok Sekutu yang identik dengan kaum Nekolim sudah puluhan dekade lamanya ingin memerah keuntungan dari  negara-negara Dunia Ketiga dan, atau negara-negara Blok Timur.

Padahal negara-negara yang disebut terakhir (Dunia Ketiga) adalah sebagai sumber energi, sementara Blok Barat justru menjadi konsumen energi paling boros di jagad raya ini. Bisa kita bayangkan untuk Amerika Serikat saja tiap hari bisa menghabiskan energi minyak bumi sebesar 17.177.648 barel/hari, batubara sebesar 317.010.101 metrik ton/tahun (selama tahun 2018, Koran Tempo, 23/9/18).

Meskipun AS sendiri merupakan penghasil minyak bumi terbesar di dunia 17 juta barel/hari, tetapi sudah barang tentu tidak cukup untuk menggerakkan denyut kehidupan industri dan masyarakatnya. Dalam hal ini  mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) ke Dunia Ketiga menjadi tujuan utama termasuk turut serta memainkan peran (menguasai) di OPEC. Itu pun belum cukup memberikan ruang bagi Barat pada gilirannya ada kecenderungan melakukan invasi militer ke berbagai sudut dunia. Sebagai ilustrasi nyata, runtuhnya Irak, Lybia, Suriyah, Afganistan, Yaman, dan terakhir Ukraina juga lantaran campur tangan Sekutu (Amerika Serikat, Cs). Sebab di negara-negara yang disebut di atas adalah kaya minyak.

Monopoli Bisnis Alutsista

Bukan cuma itu, dalam perdagangan alutsista global pun Sekutu selalu “memonopolinya”. Contoh kasus keserakahan AS mengancam Jakarta yang mengauisisi 11 jet tempur multiperan Sukhoi-35 dari Rusia telah gagal total tidak bisa membawa pulang ke Indonesia padahal sudah terjadi penandatanganan kontrak sekiar US$ 1,1 milyard. Jakarta dalam bayang-bayang oleh sanksi The Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) yakni undang-undang federal Amerika Serikat yang memberlakukan sanksi terhadap negara manapun yang membeli piranti perang dari Rusia. Sesungguhnya sanksi tersebut hanya sekadar trik licik monopoli perdagangan alutsista Amerika Serikat.

Buktinya, setelah Jakarta gagal memboyong Sukhoi 35 bergegas mengakuisisi 42 ekor jet tempur Rafale dari Prancis, dan 36 ekor pesawat tempur generasi 4,5 F 15 EX dari AS. Meski keinginan TNI adalah jet tempur generasi siluman (ke-5) F-35 namun Amerika melarang dengan alasan TNI belum mampu menguasai teknologinya.

Padahal tujuan utama AS tersebut hanya untuk melindungi anak emasnya di Asia-Pasifik yaitu Australia dan Singapura. Sungguh, sesuatu yang merendahkan martabat bangsa kita di dunia internasional karena pembelian alutsista demi pertahanan kedaulatan sendiri pun harus diatur negara lain. Bersama Mesir, Uni Emirat Arab, dan India kita tunduk pada arogansi Amerika Serikat tersebut.

Mandiri dan Kuat

Untuk menghindari kolonialisme terselubung dari Blok Sekutu tersebut, tidak ada jalan lain kecuali kita harus mandiri dan kuat.

Kemandirian dimaksud adalah melakukan kerjasama dengan negara maju dengan melakukan TOT ( _transfer of technologie_) sebagaimana yang kita lakukan dengan Korea Selatan tentang pengembangan kapal selam kelas chambogo, dan pesawat termpur multiperan KFX/IFX Boramae. Hasilnya nyata dan tidak direcoki oleh Amerika Serikat.

Kembali pada kasus perang Ukraina-Rusia, AS sangat ambisi untuk menarik Ukraina ke NATO. Karena AS tau bahwa Ukraina negara sarat teknologi sekaligus energi. AS khawatir jika Ukraina tetap di bawah bayang-bayang Moskwa maka akan tetap menjadi kekuatan yang tak bisa dianggap remeh, karena pabrik nuklir Chernobil ada di Ukraina. ***

Herry Santoso adalah penerhati masalah sosial dan budaya tinggal di Kediri / Blitar, Jawa Timur.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article