Menulis Sebagai Sebentuk Laku

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
4 Min Read

jfID – Menulis pada dasarnya bukanlah hal yang biasa-biasa saja. Ada yang jauh lebih rumit dari sekedar mengekspresikan benak dan pikiran. Ada berbagai teori yang lahir dari kegiatan menulis. Selain Foucault, Derrida dan Barthes, ada pula Maurice Blanchot yang membuat tulisan dan kegiatan menulis laiknya sesuatu yang berkaitan dengan hidup dan mati.

Tapi, saya pribadi, cenderung memaknai tulisan dan kegiatan menulis seperti legenda tentang Aji Saka bersama dengan dua murid kinasih-nya, Dora dan Sembada, yang akhirnya melahirkan aksara carakan atau aksara dentawiyanjana di Jawa (Menyingkap Aksara, Meneroka yang Baka: Hikayat Aksara Dentawiyanjana, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Menulis adalah seperti halnya Aji Saka yang mengamanatkan pesan pada kedua muridnya tersebut dan menuntut kesetiaan mereka untuk tak mengingkarinya tanpa harus peduli pada apapun yang terjadi.

Dalam hal ini, Aji Saka laiknya seorang penulis yang pada akhirnya tak dapat berkuasa penuh atas makna pada pesannya sendiri. Begitu pesan itu terlahirkan, maknanya menjadi sesuatu yang khas pada Dora dan Sembada sehingga keduanya perlu saling berebut klaim kebenaran yang berujung kematian. Hal ini membuktikan bahwa keinginan manusia tak dapat benar-benar sebangun dengan bahasa yang digunakan. Senantiasa terdapat ketaksebangunan antara keinginan manusia dan bahasa atau kata-kata yang digunakan untuk melahirkan keinginan itu. Dengan kata lain, bahasa atau kata-kata pada dasarnya memiliki logika dan hukumnya sendiri yang tak senantiasa sesuai dengan logika dan keinginan manusia.

Tapi, kisah Aji Saka dan kedua muridnya tak setragis yang dibayangkan. Justru, pada akhirnya, kisah mereka melahirkan aksara yang mengawali peradaban dan tumbuh-kembangnya pengetahuan. Sebab dengan tradisi tulisan dan kegiatan menulis, keabadian akan lebih dimungkinkan, khususnya di masa silam sebelum alat perekam ditemukan, sehingga berbagai pengetahuan dan informasi tak akan lekas hilang sebagaimana yang dihasilkan oleh tradisi lisan.

Bagaimana kemudian di masa sekarang, mengingat alat perekam sudah sedemikian mudah dan murahnya digunakan untuk mengabadikan yang lisan? Masihkan tradisi tulis dan kegiatan menulis mendapatkan statusnya yang khas? Secara kesusastraan saya kira tradisi tulis dan kegiatan menulis masihlah memiliki keunikan. Taruhlah Derrida dengan “kondisi” différance yang mangangkat status tradisi tulisan yang selama ini dipinggirkan oleh filsafat dan kebudayaan.

Tapi saya punya pemikiran lain tentang tradisi tulis dan kegiatan menulis yang memiliki status berbeda dengan tradisi lisan yang kini dapat sejajar atau bahkan melebihi tradisi tulis. Bahwa menulis adalah sebuah laku yang sebenarnya, meskipun dalam strukturalisme aktivitas lisan pun bernilai sebagai sebuah aksi. Tapi bentuk laku pada kegiatan menulis adalah sebentuk gerak yang mesti disertai oleh tubuh. Artinya, senantiasa ada sinkronisasi antara benak dan gerak jarinya (tubuh). Bukankah tak ada tulisan yang pelo atau celat sebagaimana lisanan atau pembicaraan? Itulah kenapa konon orang yang sholat ada yang memaknai tengah menulis sesuatu lewat gerak tubuhnya: alif, khak, mim, dan dal.

(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

Share This Article