Mengembalikan Legitimasi Pemerintah

Rasyiqi
By Rasyiqi
7 Min Read
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (foto: Istimewa)
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (foto: Istimewa)

jfid – Berdiri dan keberlangsungan suatu instansi pemerintahan pastilah karena adanya legitimasi rakyat. Dari rakyat, Pemerintah memiliki legalitas yang sah dalam membuat kebijakan publik. Arus kebijakan diarahkan berdasar pada kepentingan rakyat dan berasas kebajikan bersama. Kebijakan publik direalisasikan mesti memperoleh legalisasi rakyat atas kewenangan yang berlaku. Keberadaan legitimasi rakyat dibutuhkan untuk penggunaan ‘paksaan fisik’ secara sah demi tercapainya kemaslahatan. Jika tidak, kiprah kedaulatan pemerintah akan hilang, berbagai arah tindakan hanya dipandang sebelah, dan pemerintah perlu melegitimasi ulang kepemerintahannya.

Dalam penanggulangan pandemi Virus Corona (Covid-19), isu kebijakan pemerintah kembali terjadi. Dalam hemat konsep kebijakan publik, isu kebijakan (policy issues) juga berarti masalah kebijakan (policy problem). Policy issues terjadi ketika alokasi ide pemerintahan tidak sesuai dengan pengharapan rakyat itu sendiri. Banyak persoalan yang melatarbekalangi. Diantaranya, komunikasi politik masih minim, sosialisasi kebijakan tidak merata, dan prosedural rumusan kebijakan yang cacat. Pengamat Politik Universitas Esa Unggul, Jamaluddin Ritonga menilai koordinasi kebijakan pemerintah semakin buruk sejak perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di beberapa daerah. Hal itu didasarkannya pada pernyataan perpanjangan PPKM oleh aparat yang cendrung kontroversi.

Misalnya, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyebut perpanjangan PPKM akan berlangsung hingga akhir Juli 2021. Sedangkan di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap PPKM berlangsung selama enam pekan. Juga di hari yang sama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang menuturkan pihaknya belum dapat memutuskan opsi perpanjangan PPKM karena masih dalam tahap evaluasi. Tindakan aparat pemerintah itu menjukkan keambiguan kebijakan. Program yang diagendakan hanya sebatas formalitas tanpa mengedepankan solusi permasalahan. Jelas hal ini melanggar asas legalitas tatanan hukum (wetmatigheid van het berstuur) sebagaimana Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Pasal 5 yang menyebut penyelenggaraan kebijakan harus berasaskan administrasi yang baik dan terencana.

Di satu sisi, akibat policy issues yang tidak menuai respon, Penolakan PPKM bertengger dimana-mana. Baru-baru ini perpanjangan masa PPKM yang tertuang dalam Surat Intruksi Mendagri Nomor 22 dan 23 Tahun 2021 kembali mengundang seruan aksi penolakan oleh warga Bandung, Rabu (21/7/2021). Seruan meme ‘Bandung Sekarat’ dan ‘PPKM (Pelan-Pelan Kami Mati)” segera meletus. Teriakan para pedagang yang kian menurun penghasilannya menjerit sepanjang jalan. Tindakan anarkis pun meledak. Persoalan kebijakan pemerintah jika terus berlanjut dan tidak menuai perbaikan akan mengundang kerugian besar, baik secara materi maupun moral.

Belum lagi kasak-kusuk krisis kepercayaan tim medis di mata rakyat. Program vaksinasi yang dimotori tim medis diisukan sebagai alat konspirasi bisnis dalam meraup keuntungan dan akan berakhir pada kematian. Isu pun segera meluas. Banyak media online dan cetak memuat isu hoaks kematian akibat vaksin (CCN_Isu Vaksinasi, 2021). Meskipun hal itu mendapat klarifikasi, nyatanya masyarakat tetap menjaga jarak dengan hal yang menyangkut medis. Penyakit dan kematian yang mewabah tidak menggoyahkan iktikad masyarakat berurusan dengan medis. Keberedaannya hanya sebagai memedi kematian yang disiasati.

Fenomena aksi penolakan di atas seharusnya menjadi wacana dialektis kepada pemerintah. Mengapa arah kebijakan yang telah dirancang menuai sahutan negatif dari rakyat? Mengapa regulasi kebajikan mendapat penolakan? Persoalan iru menuntut kebijakan untuk dievaluasi. Agenda dan realisasinya di lapangan perlu ditinjau kembali. Meredam seruan penolakan dengan agenda yang lebih terorganisir dan terarah. Kungkungan ‘konsep kebijakan’ perlu dilucuti oleh pemerintah ketika realitas sudah tidak sesuai pengharapan. Karena indikasi kebajikan publik tetaplah realitas. Kita tidak akan terus-menerus hidup mengawan-awang dengan konsep (Platonian). Jika konsep bertolak dengan keadaan, konsepsi baru dikonstruksi dan yang lama ditanggalkan.

Pertama, langkah solutif yang ditawarkan dengan mengagendakan ulang kebijakan (evaluasi). Alur dan platform perumusan kebijakan bersama direkonstruksi dengan menjadikan ‘isu kebijakan’ sebagai ‘agenda kebijakan’ (Kimber, 1974). Kreteria isu kebijakan yang menjadi pijakan diantaranya, mencapai titik kritis yang jika diabaikan menjadi ancaman serius; menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak; menyangkut persoalan fasionable (sulit dijelaskan dan mudah dirasakan kehadirannya). Langkah ini menuntut adanya ide-ide kreatif untuk menyusun rumusan kebijakan dengan varian baru. Tentu kebijakan lama direstorasi secara total dan merumuskan kembali kebijakan dari awal.

Kedua, dengan menyiasati eksekutor (subjek) kebijakan. Membangun isu tandingan untuk policy issues yang kerap kali terjadi (William Dunn, 1985). Pandangan rakyat yang acap kali merasa dirugikan dengan kebijakan pemerintah harus dialihkan. Sekat penguasa dan rakyat jelata yang semakin akut harus diantisipasi. Melihat mayoritas rakyat masih terus bergelut dengan keyakinan ilahiyah dan pengalaman spritual-rohanistik, regulasi kebajikan yang dianggap melawan arus spritualitas, kebudayaan, dan dirasa merugikan akan mati kutu di hadapan rakyat. Langkah ini dapat dilakukan dengan melihat peran sentralis keumatan, seperti Ulama, Pastor, dan Pendeta menduduki staratifikasi sosial yang tinggi dalam tatanan masyarakat. Mereka secara naluriyah memiliki legitimasi figur hidup yang ditaklid oleh masyarakat luas. Mereka perlu dikoordinasi secara khusus oleh pemerintah untuk kemudian menjadi pengganti dalam mengeksekusi berbagai regulasi yang telah dicanangkan sebelumnya.

Melalui para sentralis keumatan, krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akan terkikis secara perlahan. Pemerintah akan menuai legitimasi rakyat kembali untuk keberlanjutan pemerintahan selanjutnya. Membaca pentingnya legitimasi rakyat, perancangan regulasi dan kebijakan kiranya dilalui prosedural yang ketat dan penuh dengan pertimbangan yang matang. Rumusan kerangka dan nilainya harus objektif, terarah dan berasaskan legalitas hukum dan kepentingan rakyat agar rancangan kebijakan ketika dieksekusi tidak menuai pertentangan. Wallahu a’lam.

Penulis: A. FAHRUR ROZI (Alumni PP. Annuqayah Guluk-guluk dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article