Kronik Kaum Komunis di Sekitar Kemerdekaan

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
"Hajat," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
"Hajat," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

jfid – Maring atau Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet, konon, adalah seorang komunis Belanda yang singgah di Indonesia. Banyak para tokoh pergerakan saat itu mengalami besutan tangannya untuk sekedar dapat memblejeti kapitalisme dan kolonialisme. Saya tak tahu pasti materi apa saja yang diajarkan oleh Sneevliet waktu itu. Barangkali, sekedar materialisme dialektis dan materialisme historis sebagaimana yang pernah dijejalkan pada para aktivis progresif generasi 90-an. Tentang bagaimana hukum dialektika bekerja pada pertemuan sebuah air dan api, dst. Barangkali juga tentang tahap-tahap revolusi beserta nubuah gaib Karl Marx yang terkenal itu, tentang kontradiksi internal kapitalisme. Barangkali pula tentang larangan poligami pada para komunis yang entah kenapa seolah dapat menggerogoti jiwa-jiwa revolusioner—yang karenanya, barangkali, Tan Malaka sampai harus melajang sampai akhir hayatnya.

Tapi menengok sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia ketika itu, dengan segala sengkarut ide dan mimpi-mimpi besar para pelakunya, sungguh menarik melihat konsistensi mereka pada kegaiban yang tentu saja menyalahi segala hukum materialisme historis dan materialisme dialektis. Barangkali cuma ada di Indonesia ketika seorang komunis anggota PKI memiliki kemampuan untuk tak mempan dibacok, menjadi ayam ketika terkepung dalam sebuah pertempuran, dst. Apakah hal ini sekedar berlaku pada para komunis akar rumput yang tentu saja tak paham marxisme? Ternyata figur besar Soekarno, yang terilhami pula oleh marxisme laiknya tokoh-tokoh pergerakan Indonesia lainnya, menyibakkan fakta bahwa paradoks antara kegaiban dan ma-di-log, untuk meminjam akronim yang dicetuskan oleh Tan Malaka, berlaku secara umum di Indonesia.

Hal kedua yang patut saya perhatikan adalah keterkaitan komunisme dengan wahabisme dimana Haji Oemar Said Cokroaminoto, yang masih keturunan Kanjeng Kyai Kasan Besari, yang pernah pula mendirikan Laskar Nabi Muhammad untuk memprotes publikasi Serat Gatholoco di salah satu kalawarti di Solo, menelurkan pula jalur SI Merah yang akhirnya menjadi para tokoh komunis par excellence Indonesia kala itu. Maka, Pan-Islamisme Jamalauddin al-Afghani dan Muhammad Abduh sangat berasa Komintern ketika diterjemahkan pada upaya kontra kapitalisme-kolonialisme.

Barangkali, hal-hal menggelikan seperti itu memang khas bangsa Indonesia mengingat para leluhurnya terkenal sangat kreatif dalam melakukan “pengkhianatan” atas sesuatu yang asli. Taruhlah epos Ramayana ataupun Mahabharata Jawa yang cukup berbeda dengan versi aslinya di India. Barangkali, atas kemampuan kreatif bangsa Indonesia itulah Ahmad Aidit cenderung berkiblat ke Beijing daripara Moskow.

Pengkhianatan kreatif itu pun rupanya juga tampak pada Tan Malaka ketika niat luhurnya untuk membersihkan bangsa Indonesia dari kegaiban mesti menaruh perhatian khususnya pada agama Islam di Madilog yang konon ditulisnya dalam pelarian dan ketiadaan perempuan di sisinya. Padahal Karl Marx, sebagai sesepuh marxisme dunia, cukup terkenal dengan stigma yang ditinggalkannya pada agama. Saya tak mengatakan bahwa lokalitas seorang Tan Malaka menjadi kendala di antara rekan-rekan komunismenya sehingga ia menjadi seorang komunis kesepian yang hanya dapat secara sembunyi-sembunyi, laiknya berselingkuh, ketika sekedar ingin berdiskusi dengan Soekarno ataupun Wahid Hasyim.

Dengan kata lain, komunisme di Indonesia, ketika dilihat dari perspektif hari ini, sangat tak berbentuk. Tapi, barangkali, justru sifat abstrak itulah yang menjadi sumber keseksian komunisme masa lalu di Indonesia yang mengilhami pergerakan mahasiswa tahun 80-an dan 90-an. Ironisnya, penobatan Tan Malaka sebagai salah satu pahlawan nasional seperti sebuah upaya pengakuan bangsa Indonesia atas kontribusi kaum “komunis muram” atas kemerdekaan bangsa Indonesia. Label “komunis muram” kiranya perlu saya gamblangkan sebab ternyata fenomena kejiwaan itulah yang menjadi daya pikat elemen-elemen progresif di Indonesia. Singkat kata, sejak tahun 1920-an hingga pasca reformasi, seolah-olah siapapun dapat menjadi seorang komunis, dengan catatan, hidupnya mestilah muram dan mengundang simpati. Sepak-terjang yang membingungkan rupanya juga syarat lain untuk diterima ketika kurun itu, seumpamanya, secara personal hidupnya kesepian, banyak musuh, tanpa pekerjaan tetap, sedikit menunjukkan sedikit gelagat Islam seperti ulasan bab-bab terakhir kitab agung yang bernama Madilog.

Heru Harjo Hutomo: Penulis, perupa dan pemusik, penulis buku Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai (2011), Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang (2020), Kahanan: Melongok dari yang Tak Pokok (2021), Sangkan-Paran (2021).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article