Kafka dan Kematian yang Biru

Heru Harjo Hutomo
3 Min Read
"The Trial," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
"The Trial," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

Bale lumut ambreganggeng

Suksma ilang kontrang-kantringan

Oncate suksma dhedhencengan

Lir ganggeng kulawan lumut

Manut ilining tirta

Lelambat tumekeng samudra

Lebur katiyuping mandra

Tlutur

jfid – Ketika saat meninggalnya tiba, konon, lelaki itu begitu kosong matanya, datar, tanpa ekspresi sama sekali. Tapi, setelah sang maut menjemputnya, lidahnya terjulur keluar, seperti penuh rontaan dan penolakan.

Kematian memang suatu hal yang memerlukan keterampilan khusus. Dalam khazanah budaya dikenal ungkapan “manising pati patitis.” Secara filosofis hal ini berkaitan dengan kematian yang manis, tak menderita, tak tercekik. Juga terkait erat dengan sebuah ketepatan yang tersirat dari istilah “patitis”—selain tentu saja istilah ini mengacu pula pada keadaan setelah peristiwa yang bagi Sunan Kalijaga diungkapkan dengan istilah “sonteg pisan anigasi.”

Barangkali, khalayak beragama asing dengan keterampilan untuk mati itu—setidaknya, saya kira, bagi kalangan yang berkecenderungan puritan dalam doktrin dan modern dalam klaim. Sebab, di kalangan nahdliyin dikenal pula keterampilan untuk mati tersebut. Tasawuf atau sufisme telam lama menjadi salah satu kepercayaan sekaligus praktik di kalangan nahdliyin. Bukankah salah satu dasar dari tasawuf adalah upaya transformasi diri sebagaimana yang diwedarkan oleh al-Qur’an sendiri (Radikalisme, Konsep, dan Transformasi Diri dalam Tasawuf, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev)? Bukankah al-Qur’an menjanjikan bahwa yang diperkenankan pulang dengan riang gembira (manising pati), ridha dan diridhaiNya, adalah diri yang utun, muthmainah?

Dengan demikian jelas, Islam—khususnya dalam tafsiran NU yang mengakomodasi tradisi tasawuf—mengetengahkan pula ideal sekaligus metode untuk memperoleh manising pati sebagaimana para penganut kapitayan di nusantara. Kata “pulang” dalam surat al-fajr tersebut sejatinya cukup gamblang ketika diungkapkan dengan istilah Jawa “mulih” atau “mantuk” yang merupakan kata kerja aktif (Gabah Den Interi: Antara yang Sampah dan yang Bertuah, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Karena kata kerja aktif, maka seni untuk menjemput kematian adalah sebuah keterampilan khusus.

Seandainya saja pengetahuan dan keterampilan untuk bersanggama ada tata caranya, kenapa untuk kematian (dianggap) tak ada? Memang benar bahwa dunia adalah ladang akhirat, tapi bukankah kisah manusia juga banyak dianggap berakhir ketika kematian tiba sebagaimana upaya-upaya yang menolak tahlilan, tawasulan, ziarah kubur, peling atau slametan yang sampai hari ini banyak diekspresikan? Dan lagi, banyak orang sangat gampang berucap khusnul khatimah dan su’ul khatimah, tapi bagaimana konkritnya hal itu? Adakah parameter yang pasti terkait dengan pengalaman yang selagi kita masih hidup tak punya pengalaman di sana? Yang jelas, ketika melihat cara kematian salah satu karakter dari novel Franz Kafka di atas kita dapat merasakan kengenasan.

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik) 

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article