Jika Politisi Gaek “Nyapres” di 2024

Herry Santoso
6 Min Read
Ilustrasi kartun politisi "gaek" (Isahamahameru)
Ilustrasi kartun politisi "gaek" (Isahamahameru)

jfid – ADA fenomena politik baru di negeri kita diprediksi oleh pengamat, konon “politisi gaek” akan rame-rame turun gunung untuk nyapres 2024. Paling tidak setelah belakangan diisukan mencuatnya nama-nama laiknya Megawati Soekarnoputri (74), Jusuf Kalla (78), dan Prabowo Subianto (69). Jika isu tersebut benar, politisi muda laiknya Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Anies Baswedan dan lain-lain bisa “gigit jari” karena sejatinya mereka hanya menjadi “boneka politik”. Prediksi tersebut sah-sah saja dalam era demokratisasi, sebab beberapa negara besar juga dipimpin oleh politisi senior. Amerika Serikat (Biden, 78), Rusia (Putin, 68), China (Xi Jinping, 67) dan India (Narendra Modi, 70), dan bahkan Mahatir Muhammad di usianya ke-94 masih mampu memimpin negeri jiran Malaysia. Barangkali mapping geopolitik tersebut yang menginspirasi para politisi senior come back di panggung politik Indonesia.

Paling tidak sebagaimana analisa Profesor Greg Fealy dari Australian National University, mengritisi panggung politik Indonesia akan diwarnai came back-nya para politikus gaek di panggung Pilpres 2024. Jika hal tersebut terjadi, maka jelas panggung suksesi politik Indonesia mengalami kegagalan dalam upaya regenerasi kepemimpinan hanya lantaran politisi gaek ingin mengobral kembali syahwatnya untuk berkuasa, sebagaimana kritikan Greg Fealy, “In Indonesia there is a phenomenon of generation transfer which is transferred again because of the lust of old politician are !” (Di Indonesia terjadi fenomena alih generasi yang dialihkan lagi karena syahwat para politikus gaek)

Memaksakan Diri

Munculnya politisi gaek di pasca Jokowi nanti, adalah sesuatu yang dipaksakan (too push myself), lebih ekstrem lagi sebagai praktik “penjarahan hak generasi muda”, karena akan menghadirkan image “alih generasi yang dialihkan lagi”. Generasi muda yang diimajinasikan sebagai agen pembaru sosial, tiba-tiba stagnan yang pada gilirannya rakyat yang punya hak tiket konstitusi hanya akan menjadi penonton di pinggir lapangan !

Ambisi berkuasa (baca : keserakahan) yang kasat mata tersebut diprediksi pula sebagai biang penyebab mundurnya demokratisasi di Indonesia serta-merta kembali terseret ke kultur politik aliran yang sarat intrik “klenikisme” dan praktik “dagang sapi”. Alhasil, rakyat semakin tersandra oleh jargon-jargon politik memabukkan dan licik karena : (1) hanya parpol berkuasa yang merasa paling berhak mengatur negara dan pemerintahan, (2) hanya parpol berkuasa yang merasa paling berhak dan paling mampu nembuat peraturan perundang-undangan, dan (3) hanya parpol berkuasa yang merasa paling mampu membangun keadilan dan kesejahteraan rakyat !
Sifat tidak tahu diri (no self-awareness) inilah yang sejatinya menganjal jalannya demokrasi bahkan praktik pengagungan hak asasi manusia.

Peta Politik Indonesia

Berbicara lebih jauh, mapping politik ke depan masih akan diramaikan oleh euforia dan tarik ulur kepentingan mazab (ideologi) politik. Di peta politik Indonesia paling tidak ada dua ideologi besar politik yaitu Islam (khilafah) dan Nasionalis. Ideologi Islam dipilah menjadi dua yaitu Islam Fundamentalis, yang diwakili oleh PKS, dan parpol sehaluan (umumnya parpol gurem), dan Islam Liberal yang terwakili oleh kaum Nahdliyin dan sebagian Muhamnadiyah moderat. Sebagai manifestasi politiknya adalah PPP, PKB, (bisa juga) PAN.
Sementara ideologi Nasionalis adalah manifestasi partai-partai yang berazas pada Pancasila, akan tetapi juga tidak “monogen” melainkan disemaikan oleh heterogenitas. PDIP misalnya berasal dari partai yang berhaluan ajaran Soekarno, sedangkan partai nasionalis lainnya (Golkar, Nasdem, dan Demokrat) pecahan dari Golkar Orde Baru.
Nah, dari mapping tersebut dapat diprediksi kemungkinan besar jika politikus gaek akan benar-benar meramaikan Pilpres 2024 maka kans kemenangan adalah dari koalisi partai besar, misalnya koalisi PDIP, Gerindra, dan Golkar, maka politisi paling berpotensi menang pasangan Megawati – Prabowo Subianto. Sebab, dwitunggal ini telah terikat oleh ikrar dalam “politik nasi goreng” beberapa waktu lalu. Tetapi dalam hitungan politik tidak semudah itu jangan lupa ada tokoh gaek lain yang cukup moncer sepak terjangnya misalnya Jusuf Kalla, tidak tertutup kemungkinan ia akan bermanuver berpasangan dengan figur muda misalnya JK-Anis, atau JK-Gatot Nurmantyo, atau malah Anies – Gatot.

Capres Muda

Untuk capres muda yang selama ini mulai digadang-gadang bisa semakin berada di bilik dilema lantaran para senioritasnya (srkaligus ketua parpol) masih bernafsu untuk maju. Kecuali politikus muda melalui “jalan tikus” yaitu diam-diam dicalonkan oleh parpol lain dengan catatan target minimal kursi pendukung di parlemen terpenuhi. Jika yang disebut terakhir terjadi, maka akan banyak pasangan ideal misalnya : Ganjar Pranowo – Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo – Puan Maharani, Anies Baswedan – AHY. Konfigurasi akan menarik lagi apabila (mungkin) lahir pasangan Sipil – TNI, atau Sipil – Ulama. Tidak mustahil jika nanti akan muncul Ganjar – Andika Perkasa, atau Ganjar – KH. Said Aqiel Sirodj.
Semua paparan ini sekadar prediksi liar yang imajinatif dan cerdas. Sebab untuk jadi presiden di Indonesia memang penuh lika-liku, trik dan intrik. Laiknya lagu anak-anak Balonku ada Lima, atau Otok-otok Bunyinya Tokek . Bagaimana ? Hehe… ***

Herry Santoso: Pemerhati masalah sosial politik, dan budaya tinggal di Blitar, Jawa Timur.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article