Jurnalfaktual.id, – Jika Referendum Papua tak bisa ditawar lagi dan NKRI Harga mati. Tentu, sebuah kecelakaan dalam berbangsa dan bernegara. Jika kerusuhan di Papua sebagai tafsir klimaks dari kekecewaan dan ketidakadilan. Lalu siapakah penawar terakhir?
Saya katakan dengan tegas, bukan TNI dan Polri sebagai alat konsesus untuk jalan tengah Papua. Karena secara psikologi sosial, masyarakat Papua mempunyai jarak pandang yang jauh dari kedua alat negara itu.
Beberapa pejabat daerah diberbagai wilayah di Papua, keheranan. Bagaimana tidak, yang semula masyarakat Papua tak mengenal prilaku Demonstrasi. Dan, tiba-tiba terjadi ledakan demonstrasi brutal.
Rumah-rumah masyarakat pendatang dibakar, pertokoan diratakan, pasar-pasar hangus, segala yang berkaitan dengan perekonomian diblokade. Termasuk Mesin ATM yang dihancur. Apakah itu Revolusi? Tentu jawabannya iya.
Lebih tepatnya, sebuah upaya Revolusi menuju West Papua. Bagaimana dengan NKRI harga mati? Tentu, kemerdekaan berpendapat dan hak menentukan nasib sendiri bukan berarti harus lepas dengan NKRI.
Saya adalah salah satu pengagum Benny Wenda. Jauh dari peristiwa Kerusuhan di Papua, beberapa musik yang dimainkannya di kota Oxford Inggris, mengingatkan saya pada sosok seniman Mbah Surip. Tapi apakah saya harus sepakat dengan gagasan dan konsep Benny Wenda, soal Papua Merdeka? Secara objektif, saya katakan tidak.
Namun bukan saya mendukung ketidakadilan di Papua. Saya bersepakat dengan pendapat Jimmy Demianus Ijie, jika Harus ada jalan tengah. Jalan tengah yang dimaksud adalah optimasi Otonomi Khusus (Otsus) dan perubahan aturan politik untuk mendukung hak-hak politik masyarakat asli Papua.
Jimmy Demianus Ijie, mengatakan, “jika Papua Barat yang seluas itu, hanya ada 3 orang perwakilan di Parlemen. Dan ditambah 10 orang dari Provinsi Papua. Jadi, hanya berjumlah 13 orang dari Papua Barat dan Provinsi Papua,” terangnya, dikutip disalah satu media.
Selain itu, Jimmy Demianus Ijie, menceritakan, jika perwakilan DPR di daerah Papua, banyak berasal dari bukan penduduk asli Papua. Baginya, peristiwa politik seperti itu, adalah ketidakadilan bagi hak politik rakyat Papua.
Otonomi Khusus, juga perlu diberlakukan sebuah regulasi politik yang membatasi setiap orang bukan asli Papua untuk tidak menjadi perwakilan di Parlemen. Jimmy mengatakan, jika dirinya sebagai putra asli Papua, juga hampir gagal mewakili di Parlemen.
Konsensus akan berhasil, jika Negara ini berani untuk mengeluarkan maklumat, untuk meminta maaf pada seluruh rakyat Papua, atas peristiwa berjatuhan nya para Korban, baik itu kerusuhan saat ini dan dimasa lalu.
Negara harus hadir dengan kasih cinta yang penuh, bukan sebuah arogansi mengerahkan personil TNI dan Polri untuk alasan keamanan.
Dendam akan terbayar lunas, jika hak-hak politik rakyat Papua dihormati. Bagaimana Negara menghadapi tokoh-tokoh Kemerdekaan Papua seperti Filep Karma?
Filep Karma, setiap saat sebagai corong dan pengilham bagi masyarakat Papua untuk yakin Merdeka. Harga diri seorang Filep Karma yang pernah dijatuhkan oleh Negara mungkin menjadi sebuah memori kuat untuk yakin pada apa yang menjadi gagasannya.
Bagaimana tidak, Filep Karma mengatakan, jika rakyat Papua tidak akan mati karena ditinggal NKRI, karena nenek moyang mereka ( Leluhur rakyat Papua) tetap bisa hidup dengan memakan umbi-umbian. Sungguh pernyataan yang menegasikan, jika kemerdekaan Papua tidak bisa ditawar.
Lantas, apakah dengan pola seperti itu, Negara menyalahkannya, tentu tidak bisa dihadapkan dengan sebuah pasal-pasal dan tiba-tiba menghukum Filep Karma ke jeruji penjara.
Jalan tengah di langit Papua sebuah jawaban. Negara meminta maaf (Usut tuntas Pelanggar Ham), dan terapkan regulasi politik untuk keadilan Politik Rakyat Papua. West Papua akan terlupakan dan masa lalu akan dimaafkan.
Dan tentu rakyat Papua takkan pernah diam, hanya dengan iming-iming permen karet dari Negara.