Jalan Puisi

Tjahjono Widarmanto
8 Min Read
Chairil Anwar
Chairil Anwar

jfid – Pada sidang ke-30 UNESCO yang diselenggarakan di Paris, di tahun 1999 telah menyepakati bahwa 21 Maret ditetapkan sebagai Hari Puisi Dunia. Di Indonesia sendiri, ditetapkanlah “Hari Puisi Indonesia” pada tanggal 26 Juli sebagai bentuk penghormatan kepada pelopor puisi Indonesia modern, Chairil Anwar, yang lahir pada tanggal itu. Walaupun peringatan itu jatuh pada bulan Juli namun puncak acara dilakukan pada bulan Oktober sebagai penghikmatan spirit Sumpah Pemuda.

Puisi tak pernah mati. Puisi selalu abadi seperti halnya politik dan kekuasaan. Puisi bahkan dianggap sebagai antitesis dari politik dan kekuasaan. Ungkapan bijak: “Jika politik bengkok, puisi akan meluruskannya! Jika politik kotor, puisi akan membersihkannya!” Ungkapan tersebut menyiratkan puisi memiliki daya suci, ada suara Tuhan, ada suara kebenaran dan malaikat penjaga di sana.

Ungkapan tersebut menegaskan bahwa puisi adalah parajanana, penjaga kebenaran, penjaga kemanusiaan. Puisi bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan kemanusiaan. Namun sayang sekali, kita acapkali tidak mendudukkan dan memosisikan puisi dan penyairnya pada tempat yang sepatutnya, acap kali mengabaikan perannya dalam tatanan kehidupan. Puisi hanya dipandang sebagai tempat curhat belaka, luapan emosi yang cengeng atau paling-paling sebagai teriakan-teriakan protes yang bawel dan mengganggu kemapanan.

Puisi memiliki peranan penting terhadap perwujudan Indonesia, dimulai sejak puisi mengangankan dan membayangkan bagaimana rupa tanah air. Persis seperti kata Benedicht Enderson yang mengatakan bahwa nasionalisme adalah komunitas imajiner, maka para penyair Indonesia pun jauh sebelum Indonesia memiliki de fakto dan de jure sebagai sebuah negara, mereka telah mengangankan dan membayangkan bagaimana rupa tanah air mereka. Puisi-puisi Moh Yamin: Indonesia Tumpah Darahku, Tanah Airku, Bahasa Bangsa, juga puisi-puisi Rustam Effendi, Soekarno, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, dan sebagainya, jelas-jelas membayangkan dan mengimajinasikan bagaimana identitas kebangsaan yang lantas diberi nama Indonesia. Pun dalam perjalanan historisnya, puisi-puisi Indonesia telah mencatat dan merekam secara baik perlawanan terhadap kolonialisme, sejak pra kemerdekaan seperti Hikayat Perang Sabil, Serat Diponegoro, Serat Mangkubumi hingga saat mempertahankan kemerdekaan seperti bisa dilihat dalam sajak-sajak Rendra, Toto Sudarto Bachtiar, Chairil Anwat, dan masih banyak lagi. Tak berhenti di sini, acapkali puisi menjadi corong pengingat saat kekuasaan melenceng dari amanatnya seperti terekspresi dalam sajak-sajak angkatan 66 dan reformasi.

Selain itu tak bisa dipungkiri bahwa puisi mampu merajut, membangun dan meneguhkan heterogenitas kebudayaan Indonesia. Melalui puisilah bila dijalin pengenalan, pemahaman atas keberagaman etnik yang menjadi karakteristik identitas Indonsia. Puisi bisa menjadi miniatur keberagaman budaya Indonesia. Dari metofora-metafora, diksi-diksi yang ada dalam puisi dapat disajikan berbagai keberagaman etnik tersebut yang pada gilirannya memunculkan metaforis Indonesia. Melalu para penyair yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara kita bisa mengenal berbagai ragam kebudayaan Indonesia. Untuk menyebut beberapa nama sebagai contoh: bacalah puisi-puisi Umbu Landu Parunggi yang kental dengan citra Sumba, puisi-puisi Frans Nadjira, Oka Rusmini, Mira Antigone, Warih Wisatsana yang bernafaskan kehidupan Bali, puisi-puisi Akhudiat, Mashuri, Aziz Mana, yang kental dengan corak Jawa Timur, Mardiluhung, Zawawi yang kental citra pesisiran, Hasna Aspanani, Fahrunas Jabar yang mewarisi tradisi Riau, Iyut Fitra, Syaifuddin Ganni, Anwar Putra Bayu yang memantulkan citra Sumatera, dan masih banyak lagi yang apabila kita baca akan melahirkan kesadaran bahwa kita memang heterogen.

Tak dapat disangkal bahwa puisi dapat menumbuhsuburkan nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan dan persatuan Indonesia. Sekali lagi, puisi adalah parajanana atau penjaga kemanusiaan, penjaga kebenaran. Melalui metafora-metafora puisi bisa dibangun nilai-nilai rasa kemanusiaan., moralitas dan karakter bangsa. Spirit perayaan hari puisi tidak lain adalah menjadikan puisi sebagai salah satu bagian yang tak terpisahkan dari usaha membangun nilai-nilai moral karakter bangsa sekaligus meneguhkan keanekaragaman dalam kesatuan Indonesia.

Sejarah kebesaran Nusantara yang berreinkarnasi Indonesia telah pula membuktikan bahwa campur tangan puisi begitu kuat untuk mendorong tercapainya cita-cita kebangsaan. Bacalah Sumpah Amukti Palapa yang begitu indah dan menggetarkan yang ditulis sebagai puisi yang mampu mendorong Mahapatih Gajah Mada memasyhurkan kejayaan Majapahit di seantero Nusantara, bacalah pula Sutasoma karya besar Mpu Tantular yang memuisikan begitu indah keragaman Nusantara melalui baris puitis “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangruwa”.

Sumpah Pemuda yang mengilhami nasionalisme Indonesia pun ditulis dalam bentuk puisi. Bacalah Sumpah Pemuda di dalamnya bisa dilihat ciri-ciri puitika yang padat, sublim, imajis dan memiliki visi ke depan. Proklamasi kemerdekaan kita pun, kalau kita telisik bisa dikatahui ditulis dalam bentuk puisi deklarasi yang padat, kaya bunyi dan memiliki pesan dan visi yang kuat.


Melalui puisi, dapat menjadi sebuah momentum bagi bangsa Indonesia untuk tidak menjadi bangsa yang tuna sejarah. Melalui puisi bisa menjadi momentum penting bagi kita untuk tidak menjadi bangsa yang tuna identitas yang asing dengan jatidirinya sendiri. Peringatan Hari Puisi Indonesia bisa dijadikan pijakan komunikasi untuk saling menghormati dan menghikmati keberagaman budaya Indonesia sebagai modal kultural dalam proses pembentukan bangsa.


Sebagai akhir wacana ini, bisa dicatat bahwa Perayaan Hari Puisi Indonesia (HPN) 2016 bukan merupakan seremonial belaka, namun merupakan upaya yang totalitas dan sungguh-sungguh mengembalikan peran puisi sebagai bagian sejarah perjuangan bangsa Indonesia sekaligus sebagai bagian sejarah pemikiran bangsa Indonesia. Lebih-lebih lagi saat bangsa Indonesia diposisikan di tempat yang memprihatinkan dalam dunia literasi yang berarti meletakkan posisi Indonesia pada masyrakat yang kurang beradab karena tak memiliki kecakapan keberaksaraan, maka kehadiran buku-buku puisi menjadi jawaban atas keprihatinan itu. Upaya memberikan anugerah atau penghargaan terhadap buku-buku puisi berkualitas pun merupakan bentuk apresiasi yang nyata terhadap keberadaan puisi dan penyair. Penghargaan atau penganugerahan terhadap buku puisi merupakan pengakuan bahwa puisi di dalamnya tak hanya sekedar estetika, namun sarat nalar yang di dalamya terdapat berbagai pengetahuan, seperti antropologi, sejarah, ilmu sosial bahkan sains. Penghargaan atau anugerah terhadap buku-buku puisi merupakan pemuliaan terhadap puisi dan sastra pada umumnya. Memang sudah saatnya bangsa Indonesia yang besar ini memuliakan puisi yang pada gilirannya akan memuliakan harkat martabat dan marwah bangsa Indonesia. Akhirnya, mari kita baca kembali puisi. Melalui puisi kita bangun peradaban, daulat dan marwah bangsa! ***

Penulis adalah penyair dan guru yang tinggal di Ngawi

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article