Islam Menurut Sukarno

Syahril Abdillah By Syahril Abdillah
15 Min Read
Presiden Sukarno bersama Pemimpin Negara Islam (Foto: Dok. Negara)
Presiden Sukarno bersama Pemimpin Negara Islam (Foto: Dok. Negara)
- Advertisement -

Jurnalfaktual.id, – Pemahaman Islam Sukarno tentu karena didasari saat ia sedang berguru dan belajar terhadap tokoh pergerakan Sarekat Islam (SI) saat itu, yaitu Haji Omar Said (H.O.S) Tjokroaminoto. Pemahaman Sukarno tentang Islam ini diakui atau tidak maka Pak Tjokrolah yang menamkan terhadapnya terlebih dahulu saat ia tinggal di rumah Paneleh Surabaya (pusat perkumpulan Sarekat Islam).

Namun sebagai konsep dasar daripada ide Marhaenisme Sukarno, tidak akan pernah lepas dari artikel pertamanya yang dimuat di Majalah “Suluh Indonesia Muda” pada tahun 1926 saat itu. Sukarno muda menerangkan gerakan Islam di Indonesia saat itu tidak bisa dipungkiri karena peran penting dari tokoh Pan-Islamis Sayyid Jaluddin Al-Afghani, Syeh Mohammd Abduh, dan tokoh pergerakan Pan-Islamis yang lain.

Pada abad kegelapan sekitar abad ke 19-an tokoh Islam datang untuk menyinari zaman tersebut. Dari zaman modern itu muncullah tokoh terkemuka di dunia Islam. Maka didalam abad kesembilanbelas berkilaulah di dalam dunia ke-Islam-an sinarnya dua pendekar, yang namanya tak akan hilang tertulis dalam buku-riwayat Mulim; Sheikh Mohammad Abdouh, Rektor sekolah-tinggi Azhar, dan Seyid Jamaluddin El Afghani—dua panglima Pan-Islamisme yang telah membangun rakyat Islam di seluruh benua Asia daripada kegelapan dan kemunduran (Soekarno, 2015: 22).

Dua pendekar Pan-Islamisme sama-sama berjuang untuk melawan segala bentuk kolonialisme didalam Islam, namun walau demikian kata Sukarno, dari dua tokoh tersebut terdapat perbedaan sikap khas dalam perjuangan Islam. Mohammad Abdouh lebih bersikap moderat dalam perjuangan, sedangkan Jamaluddin El Afghani lebih memilih bersikap radikal upaya melawan kekajaman imperialimse.

Dari dua tokoh tersebut kata Sukarno dapatlah diamati bahwa mereka sama-sama melawan kekejaman Imperialisme Barat ditubuh Islam. Benih-benih ke Islaman yang dibangun oleh dua pendekar Islam itu menumbuhkan semangat terhadap dunia Islam, bahkan sampai wafat beliau berdua umat Islam tidak akan bisa melupakannya.

Merekalah penyebar spirit Pan-Islamisme (persatuan umat seluruh dunia) disaat tubuh umat Islam lagi mengalami demam. Dua orang terkemuka tersebut juga menyarankan agar mempelajari kemajuan-kemajuan dunia barat untuk dipelajar agar umat Islam bisa tegab berdiri untuk dapat bisa menyaingi mereka juga. Sebagai Sukarno menuliskan nama mereka bagai ombak. Benih-benih itu tertanam! Sebagai ombak makin lama makin hebat, sebagai gelombang yang makin lama makin tinggi dan besar (Soekarno, 2015: 22). 

Gelombang perjuangan dari dua tokoh tersebut semakin besar dan menyalar hingga bergerak ke Turki, Mesir, Maroko, Kongo, Persia. Afganistan, India, bahkan sampai ke Indonesia. Kemajuan perjuangan tersebut telah dicatat oleh sejarah, maka akhirnya Islamisme bisa melimpah kemana-mana. Inilah yang disebut oleh Sukarno, bahwa spirit dari jiwa pejuang Islam membanjir dalam satu semangat perangainya yang internasionalisme.

Ciri Pan-Islamisme ini juga mengilhami pergerakan Islam di Asia, terkhusus lagi di Indonesia yaitu Sarekat Islam (SI). Seperti yang dikutip oleh Sukarno dari perkataan tokoh Ralston Hayden bahwa SI dalam keyakinan bahwa perangainya yang Internasional membawa umat Islam Indonesia menyebur kedunia Islam seluruh Asia. Ia menununjukkan pula suatu penglihatan yang jernih di dalam kejadian-kejadian yang belum terjadi pada saat ia menulis itu. Bukankah tujuannya telah terjadi? Pergerakan Islam di Indonesia telah ikut menjadi cabangnya Muktamarul Alamil Islami di Mekkah (Soekarno, 2015: 24).

Dari kepopulernya gerakan kaum Islamis dan SI inilah yang menyebabkan keseganan kelompok Marxis dan Nasionalis untuk bersatu. Sebab kebesaran pergerakan Pan-Islamisme tersebut dua penganut Marxisme dan Nasionalisme menjadi cemburu. Bahkan tidak hanya itu dari dua golongan tersebut membuat sama berkeyakinan bahwa agama tidak boleh dibawa-bawa dalam perpolitik.

Itulah awal kenapa perselesihan idelogis dari kaum pergerakan di Indonesia sehingga sulit sekali untuk disatukan. Begitu juga kaum Islamis yang kolot juga bergsikap sama terhadap dua kelompok (nasionalis dan marxis). Sulitnya persatuan tiga elemen pemikiran ini yang juga dikhawatirkan oleh Sukarno dalam upaya menuju kemerdekaan.

Kesalah-fahaman kelompok Nasionalis kolot dan Marxis terhadap golongan Islamis ini oleh Sukarno dianggap karena kusut faham. Mereka kusut-faham! Bukan Islam, melainkan yang memeluknyalah yang salah! (Sukarno, 2005: 9).

Pandangan dangkal tersebut menjadi kekuatan kuat kelompok Nasionalis dan Marxis untuk melumpuhkan kekuatan dan persatuan umat Islam seluruh dunia. Kerusakan peradaban Islam itu mula-mula karena umat Islam sendiri.

Sebagaimana juga yang dikatakan oleh H.O.S. Tjokroaminoto terhadap Amir Muawiah-lah haruslah bertanggung jawab atas kemunduran umat Islam diseluruh dunia. “Amir Muawiah-lah yang harus memilikul pertangungan jawab atas rusaknya tabiat Islam yang nyata bersifat sosialistis dengan sebenar-benarnya” begitulah Oemar Said Tjokroaminoto berkata (Soekarno, 2015: 25).

Sekali lagi, watak Islam sejati yang dikatakan oleh Sukarno sama sekali sangat menolak watak kolonialisme dan imperialisme. Dari ini sepertinya hanya penganut Islam kolot yang mengatakan bahwa kaum Nasionalis-Marxis harus ditolak, padahal Islam sejati yang dimaksudkan oleh Sukarno sama sekali tidak akan menolak azas dari kaum nasionalis yang cinta persatuan dan menolak semua sistem penindasan.

Oleh karena itu Sukarno didalam artikel “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme” mengatakan; Selama kaum Islamis memusuhi faham Nasionalisme yang luas-budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islam tidak berdiri di atas Sirothol Mustaqim (Sukarno, 2005: 10). 

Paradigma umum orang Eropa juga menjadi alat konsumsi bagi penganut isme lain seperti kebanyakan dari aliran ateisme juga membenci kelompok agama, bahkan terhadap Islam.

Sebagaimana yang ditulis oleh Prof. Dr. Slamet Muljana menuturkan; Di Eropa, ilmu pengetahuan telah sedemikian dalamnya sehingga ilmu ketuhanan tidak nyaman lagi. (Muljana, 2008: 34). Hal ini yang oleh Sukarno juga ditentang.

Probaganda tersebut membuat satu aliran dengan aliran lain tidak lagi mau bekerja untuk kepentingan bersama dalam upaya untuk mencapai kemerdekaan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Kecerdasan Sukarno dalam upaya mempersatukan berbagai macam elemen kekuatan tidaklagi menjadi wacana onani kita sebagai bangsa Indonesia. Ia mencoba mensingkretiskan berbagai ide yang mempunyai kepentingan bersama dalam melawan penjajahan.

Jadi tidak berlebihan kiranya jika peneliti mengutip perkataan Sukarno. Bukankah sebagai yang sudah kita terangkan Islam yang sejati mewajibkan pada pemeluknya mencintai dan bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk rakyat di antara mana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam? (Soekarno, 2015: 26).

Khotab Pan-Islamisme oleh Jalaluddin El-Afghani membuat musuh-musuhnya semakin geram, apalagi sebagaimana diketahui, bukan hanya dari kalangan kaum nasionalis saja, bahwa nasionalisme dibutuhkan. Jalaluddin El-Afghani juga pernah dicatat oleh Sukarno, mula-mula belaiulah yang sering memprobagandakan faman cinta terhdap tanah air. Nasionalisme dan Patriotisme yang didengungkan olehnya menjadi alat oleh musuh-musuhnya dengan dinamakan Chauvinisme.

Jalaluddin El-Afghani ini sekaligus seorang Islamis sejati dan nasionalis yang dikagumi. Menurut Sukarno, kaum nasionalis yang muncul bukan hanya Jalaluddin El-Afghani, namun masih banyak, antara lain dari mereka adalah; Mustafa Kamil, Mohammad Farid Bey, Ahmed Bey Agayeff, Arabi Pasha, Ali Pasha, Mohammad Ali, dan Shaukat Ali. Semua itu dikatakan sebagai pendekar-pendekar daripada pembela tanah air.

Sebagaimana yang diterangkan diatas sebenarnya ada banyak yang dilukapan demikian kata Sukarno, bahwa kaum Islam sejati juga menolak apa yang menjadi prinsip daripada kaum Marxisme yaitu meerwaarde.

Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula! Sebab meerwaarde sepanjang faham Marxisme, dalam hakikatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang faham Islam. Meerwaarde, yalah teori: memakan hasil pekerjaan orang lain, tidak memberikan bahagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untuk itu,—teori meerwaarde itu disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menerangkan asal-asalnya kapitalisme terjadi (Sukarno, 2005: 12). 

Ide Islamisme dalam diri Sukarno yang telah dijelaskan tentu punya konsepsi dasar sendiri. Pandangan Islam Sukarno memang tidak dilatarbelakangi dengan pendidikan yang baik. Bapak Sukarno, Raden Sukemi Sosrodiharjo sendiri lebih dikenal oleh banyak orang sebagai penganut Islam abangan yang berhaluan kepercayaan teosofis. Sedangkan ibunya, Raden Idayu Nyoman Ray berlatar penganut agama Hindu. Namun Sukarno sendiri nantinya bisa memahami Islam melewati perdebatan dengan kawan-kawan dipergerakan, antara lain bersama A. Hassan dan bacaannya tentang Islam dari kitab-kitab suci Al-quran, As-sunnah, dan kitab induk umat Islam lain.

Maka mengkaji pemikiran Islam Sukarno, tentu harus kembali lagi membaca buku karya ia sendiri “Di Bawah Bendera Revolusi”. Disana dijelaskan, bahwa umat Islam yang baik kata Sukarno ketika luas pemikirannya. Islamis yang luas pemandangan, Islamis yang mengerti akan kebutuhan-kebutuhan perlawanan kita, pastilah setuju akan persahabatan dengan kaum Marxis, oleh sebab ia insyaf bahwa memakan riba dan pemungutan bunga, menurut agamanya adalah suatu perbuatan yang melarang (Sukarno, 2005: 12).

Ia juga mengutip ayat suci Al-quran yang berkaitan bahwa kejahatan kapitalisme. Sistem kapitalisme ini harus diperangi oleh umat Islam. Sukarno mengutip ayat suci sebagai berikut; “Janganlah makan riba berlipat-ganda dan perhatikanlah kewajibanmu terhadap Allah, moga-moga beruntung!” Begitulah tertulis dalam Al Quran, Surat Al Imran, ayat 129! (Sukarno, 2005: 12).

Kematangan akan pemikiran Islam Sukarno tidak begitu saja lahir, apalagi konsep yang ditawarkan seperti ‘Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme’ bukanlah konsep semparangan untuk diajukan. Sukarno mengakui ilham tentang pemikiran Islam ia dapati pada tahun 1926. Seperti yang dikatakan oleh Sukarno dalam buku “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” (1966) oleh Cindy Adams dan dikutip oleh Hiski Darmayana, Sukarno berujar:

“Tahun 1926 adalah tahun dimana aku memperoleh kematangan dalam kepercayaan. Aku beranjak berfikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun dinegeri kami sebagian besar rakyatnya beragama Islam. Pada waktu aku melangkah ragu memulai permulaan jalan yang menuju kepada kepercayaan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan perseorangan. Menurut jalan pikiranku, maka kemerdekaan seseorang meliputi juga kemerdekaan beragama,” (Darmayana, 2012: http://www.berdikarionline.com).

Dalam pernyataan diatas tentu terdapat penjelasan yang sangat tampak jelas, bahwa Sukarno benar-benar merasuk kedalam akar dalam eksistensi kenyataan Allah itu sendiri. Masuk dalam ruang kepercaayan seperti ini jarang sekali bisa ditemui dalam umat Islam.

Salah satu pemahaman ke Islaman Sukarno yang menarik juga sebagai berikut: “Islam harus berani mengejar zaman.” Bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan zaman.

Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat “mengejar” seribu tahun itu, niscaya ia kan tetap hina dan mesum. Bukan kembali kepada Islam-glory yang dulu, bukan kembali kepada “zaman khalifah”, tetapi lari ke muka, lari mengejar zaman—itulah satu-satunya jalan buat jadi gilang-gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi “zaman khalifah” yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936, dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900? Mayarakat toch bukan satu gerobak yang boleh kita “kembalikan” semau-maunya kita? Masyakat minta maju, maju ke depan, maju ke muka, maju ketingkat yang “kemudian”, dan tak mau disuruh “kembali” (Sukarno, 2005: 334),

Jika benar-benar diteliti dari ide tentang Islam yang telah dipaparkan oleh Sukarno, maka tentu akan didapati bahwa yang ia harapkan adalah masyarakat Islam progresif dan modern. Ide Islam seperti ini jarang ditemui dikalangan umat Islam zaman modern saat itu.

Jadi cukup jelas bahwa pada harapan Sukarno terhadap kaum pergerakan Islamis, Nasionalis, dan Marxis. Namu sayang, semua kaum pergerakan saat itu saling bermusuhan satu sama lain, bahkan hingga saat ini. Maka ia mengatakan: Sayang, sayanglah jikalau pergerakan Islam di Indonesia kita ini bermusuhan dengan pergerakan Marxistis itu! Belum pernahlah di Indonesia kita ini ada pergerakan, yang sesunguh-sungguhnya merupakan pergerakan rakyat, sebagai pergerakan Islam dan pergerakan Marxis itu!. (Sukarno, 2005: 13). Harapan inilah yang diinginkan oleh Sukarno. Bahwa hanya penganut Islam sejati yang akan membangun peradaban Islam nantinya.

Sumber Bacaan

Ir. Soekarno, “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme” 

Ir. Sukarno, “Dibawah Bendera Revolusi”

Prof. Dr. Slamer Muljana, “Kesadaran Nasional Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan”

Hiski Darmayana, “Islam Dalam Pemikiran Soekarno”

Tentang Penulis: Faidi Ansori, Penulis Buku Homo Digitalis dan Marxisme Ala Indonesia.

- Advertisement -
Share This Article