Derrida, Dekonstruksi, dan Perempuan

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
- Advertisement -

jfID – Pada 15 Juli 1930, Jacques Derrida terlahir di El Biar, Aljazair. Dalam sebuah wawancaranya, sembari berkelakar, ia pernah ingin menjadi seorang pesepakbola. Tapi kenyataannya, ia justru menjadi seorang pemikir yang mengancam kemapanan para intelektual Perancis saat itu. Seperti yang dialami oleh Foucault dalam sebuah seminar, Derrida, yang pengaruhnya kala itu masih terbatas pada orang-orang tertentu, sudah menunjukkan orisinalitasnya sebagai seorang pemikir mandiri. Konon Foucault terdiam ketika Derrida berupaya mempertanyakan eksistensi mimpi dan ketaksadaran pada prinsip cogito-nya Descartes yang menjadi salah satu bahasan dalam Madness and Civilization, sebuah kitab yang melambungkan nama Foucault ke kancah intelektual Perancis dan internasional.

Derrida, selaiknya kalangan pemikir poststrukturalisme, memang selalu hadir dengan segala kontroversi. Atas implikasi gaya pemikirannya yang dekonstruktif, konon beberapa intelektual yang berpengaruh di Universitas Cambridge, Inggris, pernah menolak pemberian gelar Doktor Honoris Causa padanya. Rupanya, karena pendekatan pemikirannya itu, ia memiliki hubungan yang tak selalu mudah dengan pihak universitas yang notabene memiliki otoritas pengetahuan. Gayanya yang gemar untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dasar dan meretas batas disinyalir membahayakan paham-paham yang telah menjadi ideologi. Terlepas dari segudang kontroversi yang melekat pada dekonstruksi yang merupakan pendekatan pemikirannya yang khas, Derrida tak selamanya hadir secara mengambang—atau dalam istilahnya sendiri: différance.

Saya pribadi pernah secara khusus terpengaruh oleh menantu Jacques Lacan tersebut. Dan dalam hal ini saya pada dasarnya malas untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi yang membuat nama Derrida melambung ke berbagai benua dan bidang pengetahuan. Mulai dari filsafat, kritik sastra, arsitektur, politik, matematika, hingga radikalisme dan terorisme yang pernah saya pakai dekonstruksinya sebagai pisau analisis (Melongok Dari yang Tak Pokok, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net).

Tak pula saya melulu membeo pada “seniman nalar” yang menghembuskan nafas terakhirnya karena kanker pankreas pada 09 Oktober 2004, setahun sebelum saya lulus kuliah. Saya masih ingat ketika masih muda, untuk mencoba mendekonstruksi dekonstruksinya yang tahun-tahun itu seperti di sembah selaiknya Dewa Siwa sang penghancur. Seperti dalam salah satu kitabnya tentang Nietzsche, Spurs: Nietzsche’s Style (1978), dimana ia menyuguhkan Nietzsche yang selama ini dikenal misoginis (Nietzsche, Politik Kebiri, dan Insting Kerumunan, Heru Harjo Hutomo, https://geotimes.co.id) sebagai seorang dinamit yang feminim. Dan penemuan saya atas pembacaan dekonstruktif Derrida pada Nietzsche menemukan pula sosok Derrida yang juga bertolak-belakang dengan citra dirinya selama ini yang mendekonstruksi phallogocentrism dalam teks sekaligus memberi ruang pada femininitas. Dengan kata lain, dalam teksnya atas teks orang lain, dalam hal ini Nietzsche, teks Derrida sendiri justru sangat jantan (“Sambat Sebut”: “Duh Gusti… Trondholo!”, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Bukankah hanya seorang lelaki yang tahu kelemahan lelaki dalam rangka memberi ruang pada perempuan, sebagaimana feminisme Gayatri C. Spivak yang lahir dari rahim dekonstruksi Derrida? Dengan demikian, saya kira, tantangannya di sini adalah kapankah para perempuan benar-benar perempuan sejak dari titik-awal dimana ia bertolak? Maju terus dengan titik-tolak dan paradigma kelelakian atau mereinterpretasikan warisan sejarah yang tak dapat diidentifikasi sebagai lelaki maupun perempuan (Perempuan dalam Kacamata Islam Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev)?     

Ad image

(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

- Advertisement -
Share This Article