Dekonstruksi Derrida VS Guru Saya

Citra Dara Trisna
6 Min Read
Jacques Deridda (Foto: Istimewa)
Jacques Deridda (Foto: Istimewa)

Jurnalfaktual.id, – Konon modernitas lahir hanya untuk mempertajam perbedaan; lahirnya standar-standar hidup dan beraneka kompetisi menang-kalah. Seperti yang dituturkan Darwin: survival of the fittes—menjadi sesuatu yang nisbi, tak terbantah. Yang kemudian menarik bagi saya adalah: bagaimana nasib pemenang dan bagaimana dengan yang kalah?

Kemenangan standar-standar hidup—yang diawali dari dominasi kemutlakan filsafat—membuat pemenangnya menggenggam dunia. Bagi pihak yang kalah, mereka mempunyai tiga kemungkinan: mati sunyi, melampiaskan akumulasi amuck yang mengendap atau justru mencari eskapisme. Mungkin pilihan terakhir nampak relevan karena waktu itu masyarakat Eropa tak tahu harus mulai dari mana amuck mereka. Dan untuk pilihan pertama, tak banyak yang berani mengambil itu, meski ada juga yang memilihnya. 

Mungkin untuk itulah Jacques Derrida lahir. Hidup di fase peralihan—era modern ke postmodern dan era strukturalisme ke post strukturalisme—adalah kutukan, lantaran harus betah dalam aneka dominasi dan segala tahayul kemenangan dan ilusi rasa sakit atas kekalahan. Filsuf  kelahiran El Biar, Aljazair 15 Juli 1930, mungkin telah ditakdirkan menjadi pioner sekaligus penemu formula penenang dalam mengambil pilihan ketiga. Dan formula penenang itu sering kita sebut dengan gagah: dekonstruksi. 

Bila filsafat adalah biang keladi yang mula-mula, maka ia pun mulai menyarang. Ia berupaya melampaui bahasa dengan mendekonstruksi gambaran dunia tentang apa saja: standar hidup, menang-kalah, kebenaran, Tuhan dan banyak hal lainnya. Dan benar saja, dekonstruksi yang ia hadirkan ke permukaan adalah upaya menyerang teori penganut Saussure yang mengamini oposisi biner (dua hal yang berlawanan) di mana ada upaya menguasai-dikuasai (subjek-objek). 

Di mata Derrida, apa yang dikemukakan Saussure adalah biang keladi atas pemutlakan kebenaran dan lambat laun pemutlakan itu disertai dengan hegemoni. Maka ia pun mulai mencoba membuka selubung atas segala sesuatu dan mencari makna-makna yang tersembunyi. Agar tiada prasangka, kata Derrida, sesuatu harus dibongkar dan dipertanyakan untuk kemudian dihadirkan kembali bentuk yang baru. 

Kemudian ia melawan istilah ”differ(e)nce” Saussure, dengan ”differ(a)nce” miliknya. Ia hanya ingin menggerus upaya untuk menjadi sesuatu yang berpotensi absolut. Sebenarnya apa yang dilakukannya cukup jelas: lebih jauh, dalam konteks yang lebih luas, ia ingin setiap orang tidak ”menerima nasibnya begitu saja”. Di sinilah formula penenang eskapisme itu bekerja.

Agar lebih meninabobokan lagi, Derrida mengklaim bahwa hasil dari dekonstruksi (lebih jauh) dapat menggantikan apa yang sebelumnya mutlak dan tak terbantah. Bahkan, ia juga sempat membedakan dirinya dengan nihilisme Nietzsche. 

Untuk itu, guru saya pernah berujar sinis mengenai konsep dekonstruksi Derrida. Menurutnya, segala bualan Derrida hanya eskapisme kelompok masyarakat terpinggir yang iri lantaran tak punya ”kemenangan”.

Guru saya melanjutkan kata-katanya, ”Derrida hanya tenar di kelompok-kelompok minor yang dibesarkan oleh rasa sakit. Kepengecutan dan rasa enggan mengakui kekalahan dari dominasi. Dan itu semua disamarkan dengan kemenangan palsu, di mana penganut Derrida merasa puas setelah mendapat ekstase setelah kemenangan itu hadir (di kepala saja).”

Dan guru saya melanjutkan, ”siapa yang mampu menjadi juri atas menang-kalah? Derrida juga menyembunyikan sesuatu: kemenangan dan dominasi hanya sebuah orgasme (dalam bentuk lain) di kepala manusia.”

Modernisme memang pernah sangat kelewatan dalam memenjara manusia dalam kaleng sarden. Modernisme tak memberi ruang pada kelemahan; sesuatu yang tidak populis untuk terus hidup. Mereka yang terasing inilah yang kemudian menjadi bom waktu untuk meledak di waktu yang tepat. Itu sebabnya, Derrida jadi penting: meninabobokan orang kalah agar tidak meledak dan merugikan pemenang. 

Derrida pernah dianggap menghilangkan kekudusan makna dan menjadikan persoalan tafsir dan persoalan pembongkaran makna jadi sesuatu yang sifatnya kacang goreng. Dekonstruksi—dalam konteks yang lebih luas di mana selama ini hanya disempitkan dalam bidang sastra—mengkamuflase apa yang sebenarnya kudus, sejati dan prinsipil menjadi sesuatu yang lumrah dan mendadak jadi tanpa harga. 

Sedangkan dekonstruksi dalam kaitannya dengan sastra, Guru saya berkata: kalau makna bukan lagi sesuatu yang penting, untuk apa pengarang berpikir dan menciptakan karya. Bila sebuah makna kemudian dihancurkan berkeping-keping hingga jauh dari makna sebenarnya—pada awal teks itu dibuat. Dan sialnya, makna baru hasil dari dekonstruksi itu punya potensi untuk dianggap benar dan lebih bernilai.

Seandainya proses dekonstruksi itu sah, maka kita perlu mengucapkan selamat tinggal pada: apa yang bernilai di masa silam, hari ini dan bahkan masa depan. Karena, semuanya punya potensi untuk ditinggalkan setelah lahir makna-makna baru. Pada akhirnya, dekonstruksi tak lebih dari nihilisme Nietzsche: kematian Tuhan dan digantikan dengan tuhan-tuhan baru (yang dianggap) lebih berharga.  

Kalau sudah seperti ini, mana yang kita pilih: mati sunyi, melampiaskan akumulasi amuck yang mengendap atau ingin mencari eskapisme? Dan yang paling penting, siapa yang lebih benar: Derrida atau guru saya?

Citra D. Vresti Trisna

Jakarta, 8 Oktober 2019

Tentang Penulis: Citra D. Vresti Trisna, Esais Indonesia dan bekerja sebagai Jurnalis lepas.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article