jfID – Risiko dan krisis menjadi bagian yang inheren sekaligus dampak dari kehidupan global. Kemampuan dan cara untuk keluar dari krisis dan cara menghadapi risiko menjadi ciri dari masyarakat modern dan berlanjut ke masyarakat global. Ulrich Beck, filosof dari Jerman (1992) dan Anthony Giddens (1999), pemikir dan sosiolog dari Inggris mengistilahkan sebagai risk society. Salah satu dari risiko dan krisis tersebut adalah adanya wabah atau pagebluk.
Wabah atau pagebluk sejak dulu menjadi bagian atau salah satu dari risiko dan krisis yang harus dihadapi manusia dalam hidup dan kehidupannya. Dalam bukunya yang menarik Epedemics and Pandemics, Their Impacts of Human Historys, karya JN. Hays, disebutkan bahwa pagebluk atau wabah, baik yang epidemik maupun pandemik sejak dulu menjadi salah satu krisis dalam kehidupan manusia. Corona menjadi sebuah bukti nyata adanya risiko dan krisis berupa pandemik yang mengancam keberlangsungan manusia. Corona menjadi krisis yang menghantui karena obat atau vaksinnya belum ditemukan dan penyebarannya teramat pesat dan seperti deret ukur. Dampak global lainnya adalah efek psikologi massa yaitu kecemasan dan kepanikan massal.
Apakah krisis pandemik corona ini bisa mengalahkan manusia berikut meluluhlantakkan peradabannya?
Jawabannya: krisis pandemik corona ini memiliki dua kemungkinan. Pertama, bisa menghancurkan manusia, namun yang kedua justru bisa menimbulkan “kebangkitan” manusia itu sendiri.
Secara hakiki, eksistensi manusia tak bisa dikalahkan. Dengan kata lain segala krisis tidak akan bisa mengalahkan manusia namun justru akan memunculkan manusia baru. Dalam novelnya The Old Man and The Sea, Ernest Hemingway mengatakan, manusia bisa dihancurkan tapi tak bisa dikalahkan! Senada dengan Hemingway, filosof Nietzsche juga menyangsikan krisis bisa mengalahkan manusia. Bahkan, Nietzshe mengisyaratkan walau krisis itu bisa mengakibatkan duka derita yang maha dalam, manusia selalu bisa memunculkan keseimbangan untuk menetralisir duka dan penderitaan. Salah satunya dengan ‘tertawa’, dalam sajaknya dia menuliskan…dalam tawa, segala jahat berjalin/namun telah disucikan../untuk kebahagiaannya sendiri/.
Lebih lanjut, Nietzsche mengatakan bahwa manusia melalui krisis bisa menjadi manusia sempurna. Saat manusia mampu melepaskan diri dari krisis maka ia mampu melintasi dirinya sehingga tampil menjadi manusia baru; manusia paripurna atau purna manusia alias –diistilahkan oleh Nietzsche sebagai: ubermensch! Manusia yang paripurna atau ubermensch ini mewujud dalam bentuk manusia yang sanggup melewati dan mengontrol rasa takut, memiliki kepribadian atau jiwa baru yang melampaui keberadaannya sebelum mengalami krisis, serta memiliki nyala api atau semangat.
Seturut dengan Nietzshe, Muhammad Iqbal dalam bukunya Asrar I Khudi dan Javid Nammah, menunjukkan bahwa manusia bisa menjadi insan kamil (manusia yang sempurna) jikalau sanggup melalui berbagai krisis. Bagi Iqbal segala krisis yang bagaimanapun pelik dan hebatnya akan bisa dilampaui manusia jikalau manusia mampu memunculkan dan menempatkan khudi atau kekuatan pribadinya. Dituliskannya hal itu dalam larik-larik sajaknya Asrar I Khudi: …” Kau ciptakan gulita/Aku ciptakan pelita/Kau ciptakan lempung basah/Aku ciptakan pila gerabah/Kau ciptakan belantara/Aku ciptakan taman bunga//.
Lantas apa khudi atau kekuatan pribadi yang bisa kita munculkan dan dikelola untuk mengahadapi krisis korona ini?
Setidaknya ada beberapa khudi atau kekuatan pribadi yang bisa kita munculkan dan kita pertajam untuk menghadapi krisis korona ini, yaitu sikap waspada, optimis, lebih menghargai lingkungan, dan sikap trasendental yang mewujud dalam ihtiar, berserah diri dan doa. Dengan keempat khudi ini kita bisa keluar dari krisis corona ini bahkan bangkit kembali menjadi manusia yang lebih paripurna. Semoga!