Besar

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
"Wujala," 42x53 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017
"Wujala," 42x53 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017

jfID – Ada yang menarik dari hari raya idul adha yang jatuh pada bulan Jawa “Besar.” Tak sebagaimana di negara-negara berbahasa Arab, di Jawa nama bulan dimana umat Islam merayakan hari raya korban tersebut bukanlah dzulhijjah tapi, sekali lagi, “Besar.”

Sementara di Jawa sendiri, meskipun hari raya korban di Arab digelar dengan perayaan yang lebih besar daripada Idul Fitri dan ibadah haji yang dilakukan pada bulan ini disebut juga sebagai “haji besar,” yang berbeda dengan “haji kecil” atau umrah, istilah “Besar” sama sekali tak mengacu pada kualitas besar.

“Besar” merupakan istilah Jawa untuk bulan dzulhijjah setelah dahulu Sultan Agung mengombinasikan tahun Saka, yang berdasarkan peredaran matahari (syamsiyah), dengan tahun Arab hijriyah, yang mendasarkan dirinya pada peredaran bulan (qamariyah). Sehingga pada nantinya perayaan hari-hari besar Jawa dapat berbarengan dengan perayaan hari-hari besar Arab. Taruhlah bulan Suro yang berbarengan dengan bulan Muharam dimana tahun baru Arab dimulai. Perayaan tahun baru yang berbarengan pada masing-masing kebudayaan merupakan strategi Sultan Agung untuk menyelaraskan kejawen dengan Islam, yang notabene berasal dari Arab. Sebab, bagi masyarakat Jawa bulan Suro identik dengan bulan yang sakral dimana biasanya tak diperkenankan untuk menggelar perhelatan seperti pernikahan, pendirian rumah, dst. Masyarakat Jawa justru menggunakan bulan dimana tahun baru Jawa bermula untuk berkontemplasi, tirakat, jamasan pusaka, inisiasi dalam berguru ataupun mewisuda.

Di sini saya perlu memilah antara Arab dan Islam untuk tak terjebak pada penyeragaman yang tak urung akan melenyapkan keunikan dan autochthony masing-masing (Pancasila dan Paradigma Autochthony NU, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Seringkali, bahkan sampai kini, orang tak dapat memilah dan memilih mana yang Arab dan mana yang Islam, seperti Jawa dan kejawen pula. Arab, sebagaimana Jawa, adalah entitas etnik, geografis dan budaya, yang tak mesti selaras atau sepadan dengan Islam, demikian pula kejawen. Arab berhidung mancung, sebagaimana Jawa berhidung pesek. Adapun Islam tak harus berhidung mancung dan kejawen tak harus pula berhidung pesek. Oleh karena itu, lazimnya radikalitas keagamaan dan radikalitas etnis muncul terkait dengan pembandingan yang tak sepadan antara Islam dengan Jawa atau kejawen dengan Arab. Seharusnya, untuk menemukan persinggungan tanpa harus meniadakan keunikan atau inklusifitas, perbandingannya adalah antara Arab dengan Jawa atau Islam dengan kejawen.

Tepat dalam konteks inilah karya Sultan Agung dalam mengombinasikan tahun syamsiyah dan tahun qamariyah yang melahirkan tahun Jawa perlu dilihat. Raja ke-3 Mataram itu tak sekedar berupaya menemukan titik-singgung antara Arab dan Jawa (untuk memapankan kekuasaannya di Mataram konon Sultan Agung perlu mendapatkan pengakuan dari Raja Arab), tapi juga antara Islam dan kejawen. Hasil dari persinggungan ini pernah disebut oleh M.C. Ricklefs sebagai “sintesis mistik” (Islam Radikal dalam Filsafat Perwayangan dan Serat Wedhatama, Heru Harjo Hutomo, https://enis.id). Sintesis mistik ini adalah apa yang pernah saya sebut sebagai paradigma autochthony dimana KH. Hasyim Asy’ari pernah menggunakannya untuk lebih memilih dan menerima versi sila I Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa,” daripada versi piagam Jakarta. Dus, inilah perenialisme nusantara yang bersambung sejak dari Sang Hyang Taya dalam mitologi Jawa hingga tradisi kapitayan hari ini (Yang Berubah, Yang Pecah-Belah: Menyimak Klaim dan Kontestasi Tafsir Atas Pancasila, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Seperti pada nilai ibadah haji yang lebih “Besar” daripada ibadah umrah, yang kerap disebut sebagai “haji kecil,” maka “Besar” dalam konteks penamaan bulan ini adalah sesuatu yang dari segi pengorbanan membutuhkan modal yang tak sedikit dan kecil, seumpamanya adalah keberanian untuk mati. Karena itulah “Besar” dalam kebudayaan Jawa dikaitkan dengan istilah sanskerta “wujala” (Sangkan Paran dan Sekilas Kenangan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).  

(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article