Antara Olahraga, Ideologi, dan Politik

bramadapp
6 Min Read
Lukisan yang menggambarkan awal mula sepakbola modern di Inggris. Salah satu permainan populer pada masa Raja Edward II di Britania Raya
Lukisan yang menggambarkan awal mula sepakbola modern di Inggris. Salah satu permainan populer pada masa Raja Edward II di Britania Raya

jfid – Ada sebuah pernyataan yang cukup menarik dalam sebuah buku yang ditulis oleh Alan Tomlison dan Christopher Young yang berjudul National Identity and Global Sports Events Culture, Politics, and Spectacle in the Olympics and the Football World Cup. Pernyataan tersebut berbunyi: 

Sports events celebrating the body and physical culture have long been driven by political and ideological motives, from the ancient civilizations of Greece and Rome to the societies of early modern Europe, in more modern Western societies as well as less developed and non-Western ones”.

Menurut mereka berdua, sejak dahulu kala olahraga telah dilandasi oleh motif-motif yang bersifat politis dan ideologis. Pendapat ini bisa dibenarkan ketika kita melihat kembali ke masa lalu. Donald G. Kyle menulis dalam bukunya yang berjudul Sport and Spectacle in the Ancient World bahwa ajang olahraga paling tua yaitu Olimpiade Kuno Yunani, yang diadakan pertama kali pada tahun 776 SM sampai tahun 395 SM tidak luput dari pengaruh ini. Olimpiade Kuno adalah sebuah ajang sampingan, karena acara sebenarnya adalah pemujaan dan perayaan kepada Zeus, dewa tertinggi bagi masyarakat Yunani kuno. Kota Olimpia merupakan kota suci yang menjadi tempat diselenggarakannya perayaan ini. Faktor ideologi yang berupa penyembahan terhadap Zeus merupakan faktor utama dari penyeleggaraan acara Olimpiade Kuno ini. Bahkan para agamawan akan menyelenggarakan upacara pengorbanan demi kemenangan dalam acara ini.

Dari ideologi yang bersifat relijius, akhirnya menyebar menjadi politis. Dalam ajang tersebut antar kota mulai mengadakan gencatan senjata dan kesepakatan militer dan diplomasi antar kota. Semua bersaing dengan sportif meski ketegangan antar kota tidak bisa disingkirkan. Nigel Spivey dalam The Ancient Olympics membahas tentang sisi politik tersebut. Dalam buku lain, Mogens Herman Hansen menulis Polis, an Introduction to the Ancient Greek City-State menyebutkan istilah kota tersebut dengan sebutan negara-kota.

The Ancient Olympic Games, buku yang ditulis oleh Judith Swaddling menjelaskan bahwa dunia olahraga harus berterima kasih kepada seorang kolektor barang kuno dan agamawan yang bernama Richard Chadler, karena dialah yang menemukan kembali sejarah tentang Olimpiade kuno Yunani. Anehnya, yang mengungkapkan tentang Olimpiade Kuno ini bukanlah olahragawan, namun seorang kolektor dan agamawan. Pada dasarnya, memisahkan olahraga dari ideologi-ideologi dan politik adalah hal yang mustahil dilakukan.

Dalam satu cabang olahraga di Olimpiade Kuno tersebut ada cabang yang bernama pankration. Pada ajang Olimpiade Kuno yang ke 56, terjadi sebuah peristiwa yang cukup terkenal. Seorang pemuda bernama Arrhichion berhasil memenangkan cabang tersebut. Dia berhasil menarik kaki kiri dari lawan dan terjatuh sehingga pertarungan dianggap selesai. Namun, ternyata Arrhichion malah tewas di arena, dikarenakan dia tercekik lawan. Arrhichion tetap dianggap sebagai juara, mayatnya diarak dengan menggunakan mahkota dan karangan daun zaitun. Arrhichion tewas di arena, namun tetap menjadi seorang juara. Kisah ini ditulis dalam buku the Game of Death in Ancient Rome karya Paul Plass. Nama Arrhichion juga tertulis dalam buku Olympic Victor Lists and Ancient Greek History yang ditulis oleh Paul Christesen.

Pengaruh ideologi maupun politik dalam olahraga juga cukup kental terasa pada zaman ini. Tak perlu jauh-jauh, dalam olahraga sepak bola misalnya, pengertian politik yang harus dipisahkan dari sepak bola itu semu dan multi-tafsir. Siapa yang berkuasa terhadap istilah perang, korban perang, dan kejahatan perang inilah yang mempunyai kuasa untuk memberikan makna. Kasus sebagian pemain maupun penonton yang memberikan dukungan kepada Palestina sebagai sebuah bentuk solidaritas dianggap pelanggaran terhadap aturan FIFA. Konyolnya, sekarang FIFA dan UEFA mencampuradukkan urusan politik dengan sepak bola, dengan menjatuhkan sanksi kepada Rusia.

Terbaru, Piala Dunia yang diselenggarakan di Qatar, banyak pihak yang ingin memaksakan ideologi-ideologi mereka ke dalam lapangan sepakbola. Untungnya FIFA kali ini cukup menghargai ideologi tuan rumah. Meski banyak dikritik, Qatar mampu menyelenggarakan Piala Dunia ini dengan baik. Yang menakutkan adalah, saat ada pihak yang mengklaim membawa ideologi universal, merasa dengan ideologi ini mereka unggul dan diarak kemana-mana sebagai ideologi global, ternyata ideologi tersebut semu, bahkan merampas kebebasan ideologi lainnya, saat itulah pihak tersebut belajar makna toleransi yang sebenarnya.

Jika mayat Arrhichion yang menang akhirnya diarak sebagai juara, meski tak mampu menikmati arti sebagai pemenang, maka Qatar terlihat mampu menikmati kemenangan dengan ideologinya, tanpa sebuah pertarungan yang sengit atau bahkan tanpa harus menjadi mayat yang takluk dengan ideologi-ideologi atau desakan pihak lain……..

Bramada Pratama Putra, S.H.

 

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article