Jurnalfaktual.Id- Kecanduan video game disebut dapat menyebabkan gangguan jiwa. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menetapkan kecanduan video games sebagai salah satu bentuk gangguan kesehatan mental.
Kasus terbaru, dua remaja di Jawa Barat, tepatnya di Kabupaten Bekasi diduga kecanduan (game) di telepon seluler sehingga mengalami gangguan kejiwaaan. Keduanya pun harus dirawat di yayasan gangguan jiwa setempat.
“Ini contoh nyata penggunaan telepon seluler secara berlebihan sebagai dampak perkembangan gim,” kata Ketua Yayasan Al Fajar Berseri Tambun Selatan, Marsan, Kamis (17/10) tempat dua remaja itu dirawat seperti dilansir dari CNN Indonesia.
Marsan mengatakan kedua remaja itu sudah sekitar satu tahun dirawat di yayasan yang ia dirikan. Mereka adalah Nv (17) asal Cikarang Selatan dan Ty (17) asal Cibitung.
Dalam kesehariannya mereka hanya berdiam diri dan sesekali berinteraksi, namun kedua pasien itu seketika bereaksi ketika melihat telepon genggam.
“Jadi, (sehari-hari) cuma biasa saja, diam saja. Makan juga bisa. Cuma kalau ada HP, langsung direbut, diambil, dimainin. Misalnya, ada HP di-charge, langsung direbut. Ini karena mereka sudah terlalu ketergantungan dengan gim di HP,” ucap dia.
Berdasarkan informasi dari keluarga mereka, dua remaja itu sudah sangat berlebihan menggunakan ponsel. Mereka mengoperasikan gawai dari sejak bangun tidur hingga malam, menjelang tidur kembali. Ketergantungan itu mengganggu kehidupan nyata mereka. Tidak jarang mereka pun bolos sekolah.
“Bahkan buat makan pun mereka kadang lupa. Lebih parah lagi, kalau dilarang mereka mulai emosional. Bukan cuma marah tapi sampai melawan orang tuanya. Ada beberapa kasus, termasuk yang dua ini,” katanya.
Marsan melanjutkan Nv dan Ty bukan pasien gangguan kejiwaan pertama yang dirawat karena penggunaan gawai. Sebelumnya ada satu pasien lain asal Medan yang mengalami hal serupa.
“Namanya Wh. Katanya sudah (mengunjungi) ke beberapa tempat sampai akhirnya ke kami. Empat bulan di sini, sekarang sudah pulang,” katanya.
Menurut dia penggunaan gawai seharusnya sudah mulai dikendalikan. Orang tua berperan besar mengatasi ini sejak dini.
“Orang tua harus paham di dalam HP itu kan mengandung magnet yang bisa merusak otak. Itu mengapa ada dua orang yang tinggal di sini sekarang,” kata dia.
Efek negatif dari penggunaan gawai itu dibenarkan oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Bekasi, Muhammad Rozak. Dia mengaku belum menangani atau menerima laporan terkait anak yang terganggu jiwanya karena telepon genggam.
Meski demikian dalam beberapa kasus kekerasan terhadap anak, salah satu faktor penyebabnya adalah penggunaan telepon genggam.
“Sebagai contoh kasus tawuran, itu awalnya dari HP. Begitu juga kasus pencabulan anak oleh anak yang sebelumnya sering mengoperasikan telepon genggam, baik mengakses situs porno atau aplikasi dewasa seperti bigo dan lainnya,” kata dia.
Rozak mengatakan setidaknya KPAD Kabupaten Bekasi menangani tujuh sampai sepuluh kasus per bulan terkait kekerasan anak. Ironisnya dari hasil penelusuran, sekitar 30 persen di antaranya diawali dari gawai.
“Bulan ini saja, Oktober, sudah tujuh kasus. Beberapa di antaranya karena gawai. Sering terjadi tindak kekerasan membuat anak jadi pelaku pidana pencurian, atau justru pelaku pencabulan. Ini menjadi ironis,” ungkapnya.
Kampanye pengendalian penggunaan telepon genggam ini kerap disampaikan dalam beberapa kesempatan baik ketika mengunjungi sekolah maupun rapat di tingkat desa. Hanya saja pemilik peran terbesar untuk mencegah hal negatif dari penggunaan gawai yang berlebihan, ada pada orang tua.
“Orang tua jangan kalah sama anak. Jangan sampai anak mengunci gawainya dan orang tua tidak mampu melihat. Jangan takut memasuki ruang pribadi anak karena anak pun lahir dari ruang pribadi orang tuanya. Peran ini sangat penting,” kata Rozak.
WHO Tetapkan ‘Kecanduan Video Game’ Gangguan Kesehatan, Apa Alasannya?
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) baru saja menetapkan kecanduan video game sebagai salah satu bentuk gangguan kesehatan mental.
Kecanduan video game masuk dalam versi terbaru klasifikasi penyakit yang dirilis WHO pada Senin (18/6).
Dalam klasifikasi itu, WHO mendefinisikan kecanduan bermain game ditandai dengan pola perilaku permainan yang berulang, baik online atau offline. Kecanduan bermain itu terlihat dari beberapa manifestasi yakni ketidakmampuan mengontrol permainan, memprioritaskan game dibandingkan kepentingan hidup lain dan melanjutkan permainan walaupun memberikan akibat negatif.
“Yang penting adalah bahwa perilaku ini (bermain game) terus berlanjut meskipun ada konsekuensi negatif ini,” kata ahli kesehatan mental dan penyalahgunaan zat untuk WHO Vladimir Poznyak, dikutip dari The San Diego Union-Tribunne.
Poznyak menjelaskan seseorang dapat dikualifikasikan mengidap gangguan kesehatan mental kecanduan video game jika kegiatan bermain yang berulang itu merusak kehidupan pribadi, keluarga, sosial, pendidikan, pekerjaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
WHO menyebut gangguan ini biasanya terbukti setelah 12 bulan. Namun, gejala yang parah dapat menyebabkan diagnosis lebih cepat. Poznyak menuturkan diagnosis itu hanya boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan yang profesional.
WHO memasukkan kecanduan game sebagai salah satu bentuk kesehatan mental agar orang-orang dan tenaga kesehatan dapat melakukan upaya pencegahan.
WHO meminta agar orang yang bermain game selalu memperhatikan jumlah waktu yang dihabiskan untuk bermain dibandingkan dengan kegiatan lain. Orang-orang juga harus memperhatikan perubahan kesehatan fisik dan psikologis serta fungsi sosial selama bermain.
Di sisi lain, keputusan WHO juga menuat kontroversi. Para ahli kesehatan mental menilai keputusan ini terlalu gegabah. Seorang psikolog dari The Telos Projext, Texas, Anthony Bean menyebut pemberian diagnosis itu terlalu dini.
“Agak terlalu dini untuk menyebut ini sebagai diagnosis.Saya seorang dokter dan peneliti, jadi saya melihat orang-orang yang bermain gim video dan percaya diri tidak berada di garis kecanduan,” kata Bean dikutip dari CNN.
Bean justru berpendapat orang-orang menggunakan video game untuk mengatasi kecemasan dan depresi.
Seorang psikolog dan peneliti dari Stetson University di DeLand, Christopher Ferguson juga menilai keputusan WHO tak didukung dengan basis yang kuat.
“Ada kekhawatiran yang cukup luas bahwa ini adalah diagnosis yang tidak benar-benar memiliki landasan penelitian yang sangat kuat,” ucap Ferguson dikutip dari USA Today.
Penulis : Win
Editor : Redaksi
Sumber : CNN Indonesia