BANGKALAN, JFID – Kisruh wakaf tanah untuk TK Raudhatul Anwar di Desa Sembilangan, Bangkalan, kini memasuki babak baru. H. Mohammad Wahib Anwar, pemilik tanah yang diwakafkan, secara terbuka mengungkap dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pengelola lembaga, yakni pasangan Nurul Qoriah dan Muhammad Dahri.
Dalam keterangannya, H. Wahib menegaskan bahwa ia tak pernah memberikan izin untuk pengalihan status nadzir kepada yayasan baru yang kini menaungi TK tersebut.
“Saya wakafkan tanah itu dengan niat ibadah. Tapi sekarang malah dibuat yayasan sendiri oleh pengelola, tanpa sepengetahuan saya. Sertifikat saya juga diambil dari KUA tanpa izin,” ujarnya.
Tanah tersebut awalnya dibeli H. Wahib untuk pembangunan masjid, namun dialihkan menjadi musala dan TK setelah usulan lokasi masjid ditolak warga. Semua proses awal dilakukan atas arahan pengasuh pondok setempat, melibatkan tokoh-tokoh masyarakat seperti Agus Subakti dan Romli.
Pada 2018, Nurul Qoriah dan suaminya datang menawarkan diri mengelola TK. Mereka mengklaim mendapat restu dari pengasuh pondok. H. Wahib pun setuju, dengan catatan pengelolaan sebatas pendidikan, bukan untuk mendirikan yayasan baru.
Namun belakangan, Nurul diketahui mengurus dana hibah dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui anggota DPRD Jatim, Mathur Husyairi. Untuk mencairkan dana, Nurul meminta agar tanah tersebut diikrarkan sebagai wakaf secara resmi.
H. Wahib menyetujui dengan syarat bahwa setelah dana cair, nadzir dikembalikan ke yayasan miliknya. Ia bahkan menyerahkan dua sertifikat atas nama dirinya dan anaknya ke Kepala KUA Bangkalan, Mustain, untuk mempermudah pengurusan.
Namun ternyata, Nurul mengambil dokumen-dokumen tersebut dari KUA tanpa izin. “Pak Mustain sampai minta maaf ke saya karena sertifikat diambil tanpa sepengetahuan saya. Tapi sudah terlambat. Nadzir sudah dialihkan ke Yayasan Raudhatul Anwar yang mereka buat sendiri,” kata H. Wahib.
Yayasan tersebut telah berbadan hukum berdasarkan SK Kemenkumham. Susunannya: Muhammad Dahri sebagai Ketua, Nurul Qoriah sebagai Bendahara, dan Mathur Husayri tercatat sebagai pendiri sekaligus Pembina.
“Saya tidak pernah menandatangani apapun soal pengalihan nadzir ke yayasan itu. Semua sepihak. Saya merasa ditipu,” lanjut H. Wahib.
Ia bahkan menduga dana yang selama ini dikelola TK berasal dari masyarakat, bukan dari pribadi Nurul. “Dana Rp98 juta yang mereka minta ganti ke saya, itu uang dari daftar ulang siswa, SPP, dan sumbangan warga. Ada juga dana hibah pemerintah Rp380 juta. Bahkan uang saya pribadi Rp90 juta yang dipinjam suaminya belum dikembalikan,” bebernya.
Saat mediasi, Nurul menyatakan siap menyerahkan kembali tanah wakaf jika H. Wahib mengganti seluruh biaya operasional sejak 2018. Tapi permintaan tersebut ditolak.
“Saya tidak akan bayar uang yang bukan hak mereka. Itu bukan bisnis, ini soal amanah. Mereka tidak amanah,” tegasnya.
Karena mediasi tidak menemui titik terang, H. Wahib kini membawa perkara ini ke ranah hukum. Ia juga didukung tokoh masyarakat Desa Sembilangan yang menolak keberadaan yayasan baru tersebut. (faiq/JFID)