Gara-Gara “Cleansing”, Seorang Guru Honorer Terpaksa Mengajar 16 Kelas

Rasyiqi
By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
4 Min Read
grayscale photography of teacher standing near chalkboard and children sitting on chairs
- Advertisement -

jfid – Seorang guru honorer di Jakarta Selatan harus mengajar 16 kelas sekaligus setelah rekan kerjanya diberhentikan akibat kebijakan “cleansing” yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Kebijakan ini telah memicu kontroversi dan protes dari berbagai kalangan pendidikan.

Pada awal tahun ajaran baru 2024/2025, sebanyak 107 guru honorer di Jakarta diberhentikan secara mendadak. “Pada 5 Juli 2024, guru honorer mendapatkan pesan, hari pertama masuk, menjadi hari terakhir mereka berada di sekolah,” kata Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G).

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi DKI Jakarta, Budi Awaluddin, menjelaskan bahwa kebijakan ini dilakukan karena adanya temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait peta kebutuhan guru honorer yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. “Kami melakukan cleansing hasil temuan BPK,” kata Budi.

Kebijakan ini dianggap sangat merugikan dan mengejutkan para guru yang diberhentikan tanpa peringatan. Mereka diminta mengisi formulir yang pada akhirnya berfungsi untuk memecat mereka. “Gara-gara kebijakan mendadak seperti itu, banyak guru yang kaget mereka harus berhenti mengajar,” tambah Iman Zanatul Haeri.

Ad imageAd image

Salah satu guru mengungkapkan kesulitannya, “Saya mengajar fisika dan harus mengajar seni budaya karena tergeser penempatan PPPK. Gaji saya tidak turun selama enam bulan, dan sekarang saya kena cleansing,” ujarnya

Dinas Pendidikan DKI Jakarta menyatakan bahwa rekrutmen guru honorer selama ini dilakukan tanpa rekomendasi dari dinas, yang menyebabkan ketidaksesuaian dengan regulasi. “Guru honorer saat ini diangkat oleh kepala sekolah tanpa rekomendasi dari dinas, yang dibiayai dana BOS,” ujar Budi.

Penataan kembali dilakukan untuk memastikan mutu tenaga pengajar berkualitas sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Permendikbud Nomor 63 Tahun 2022 dan Pasal 5 Persesjen Kemdikbud Nomor 1 Tahun 2018.

Situasi di lapangan semakin rumit karena sekolah-sekolah yang kehilangan guru honorer harus menghadapi kekurangan tenaga pengajar yang signifikan. Hal ini menyebabkan beberapa guru honorer yang masih bekerja harus mengajar lebih banyak kelas. Rana, seorang guru honorer di sebuah SMA negeri di Jakarta Pusat, harus mengajar 16 kelas karena kebijakan ini.

“Guru biologi di sekolah saya cuma satu. Mengajar semua kelas. Untuk kelas 11 ada 3 kelas. Untuk kelas 12, ada 3 kelas. Lalu, kelas 10, ada 8 kelas. Total, 16 kelas,” ujar Rana sebagaimana dilansir dari Kompas (18/7/2024).

Rana diberhentikan karena tidak memenuhi salah satu dari empat syarat yang diajukan oleh Disdik, yakni memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).

Kepala sekolah tempat Rana mengajar sempat berusaha mempertahankannya, bahkan menawarkan untuk menggaji Rana dengan uang pribadinya, namun Disdik tetap tidak mengizinkan.

Protes dan keluhan terhadap kebijakan ini telah disampaikan oleh P2G dan beberapa lembaga pendidikan lainnya.

Mereka berharap ada kebijakan yang lebih adil dan manusiawi terhadap guru honorer yang telah lama mengabdi.

P2G mencatat bahwa hingga kini sudah ada 107 guru honorer yang diputus kontraknya secara sepihak akibat kebijakan ini.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Budi Awaluddin, menjelaskan bahwa banyak guru honorer diangkat oleh kepala sekolah tanpa rekomendasi dari Dinas Pendidikan. Kasus tersebut menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Kami melakukan cleansing hasil temuan dari BPK. Guru honorer saat ini diangkat oleh kepsek tanpa rekomendasi dari Dinas Pendidikan,” ucap Budi saat dikonfirmasi, dikutip Rabu (17/7/2024).

- Advertisement -
Share This Article