Sapa Salah Seleh: Antara Wayang dan Catatan Wirang

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
"Muram yang Riang" 60x100 cm, Kapur di atas Papan (Heru Harjo Hutomo, 2020)
"Muram yang Riang" 60x100 cm, Kapur di atas Papan (Heru Harjo Hutomo, 2020)

jfID – Pada usia belasan ia sudah menjalin hubungan terlarang dengan seorang yang dikenal berasal dari kalangan atas. Hubungan terlarang itu pun melahirkan seorang anak haram yang kemudian, untuk mencegah wirang, dilarung ke sebuah kali. Kabar yang tersiar, anak haram itu tak terlahir dari vagina layaknya manusia, tapi dari karna atau telinga. Konon, kenapa anak haram itu dilahirkan dari telinga adalah untuk menyiasati wirang sang perempuan yang masih seorang bangsawan. Apa kata dunia ketika seorang putri raja telah berbadan dua sebelum secara resmi menikah?

Demikianlah wayang yang sarat perlambang, pasemon. Secara sosial-politis, wayang tak melulu sebuah seni pertunjukan. Ada banyak kategorisasi terhadap wayang. Selain sebentuk seni pertunjukan (tontonan) yang mengandung filosofi (tuntunan) tertentu, saya kira ia juga sebuah catatan wirang yang disembunyikan dalam berbagai pasemon.

Pasemon memang menjadi salah satu cara orang Jawa mengungkapkan ketaksetujuannya atas sesuatu secara halus. Tentu, status sosial menjadi ganjalan tersendiri untuk mengkritik secara terbuka. Orang Jawa sudah terpasung oleh nilai-nilai hidup yang telah dilembagakan oleh keraton yang dianggap sebagai pusat kebudayaan Jawa. Para ningrat, meski bejat, tetaplah terhormat. Tak ada hak para rakyat untuk mengutuk dan melaknat.

Kisah carangan wayang—secorak kisah yang merupakan hasil olahan sang dalang ataupun pujangga (sanggit) yang berbeda dari kisah baku (pakem)—adalah serpihan lakon pasemon para pembesar, para ningrat, atau yang berkaitan dengan perilaku dan kebijakan-kebijakan mereka. Andaikata ingin menyingkap aib para ningrat di masa yang lewat, seksamailah kisah dalam lakon-lakon carangan.

Kunthi yang konon melahirkan Karna dari liang telinga, hanyalah pasemon bahwa sang putri Mandura tersebut adalah seorang maniak seks. Ia sudah berbadan dua meski belum resmi menikah, itu pun bukan dengan orang yang menjadi suami resminya. Adapun Pandawa hanyalah hasil hubungan gelap Kunthi dan—ketika sudah diajari untuk berselingkuh—Madrim dengan para orang luhur yang digambarkan sebagai para dewa: Bathara Darma, Bayu, Indra, dan Aswan-Aswin.

Kunthi suka berhubungan seks dengan orang dari kalangan atas yang dipandang luhur dan suci. Gelar “nalibrata” yang tersemat di belakang namanya hanyalah pasemon tentang ikatan perselingkuhan dengan kalangan yang dipandang memiliki status sosial yang tinggi. Bagaimana pun, meski isteri dari seorang raja besar Hastinapura, Pandu, Kunthi tetaplah seorang maniak seks yang rela digilir oleh kalangan atas. Nalibrata, yang secara harfiah berarti mengikatkan diri atau berkomitmen pada “kesucian,” sebenarnya hanyalah topeng atas segala perzinaan dengan kalangan atas yang selama ini dianggap pula sebagai para suci. Nalibrata hanyalah pembenaran atas segala aib itu. Dengan klaim Nalibrata tersebut kunthi berharap untuk tak pernah salah. Ia senantiasa benar. Tak pernah berlaku sesanti yang terpahat di tugu Tidar padanya: “sapa salah seleh.” Seolah tanpa beban, ia tetap meneruskan kebohongan-kebohongan hidupnya sampai kelak hangus terbakar dalam upayanya untuk menebus dosa.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article