Lapis-Lapis Kejahatan: Menguak Mekanisme Infiltrasi dan Pelenyapan Jejak Terorisme dalam Film Non-Stop

Heru Harjo Hutomo
21 Min Read

jfID – Bill Marks (Liam Neeson) adalah seorang U.S. Air Marshal (polisi udara) yang memperoleh pesan ancaman dari salah satu penumpang misterius dalam sebuah pesawat melalui handphone. Peristiwa itu terjadi dalam penerbangan pesawat dari New York menuju London. Para teroris mengancam akan membunuh penumpang setiap duapuluh menit seandainya pihak maskapai tak membayar tebusan sebesar lima puluh ribu dolar Amerika dan mengirimkanya ke sebuah nomer rekening. Ternyata dalam proses negosiasi selanjutnya diketahui bahwa nomor rekening itu atas nama polisi udara tersebut. Marks menyadari kalau dirinya dijebak agar seolah-olah dirinyalah yang melakukan pembajakan. Ia pun berusaha mengungkap siapa teroris di dalam pesawat dengan terus melakukan komunikasi. Karena apapun yang dibicarakan ataupun dilakukan oleh Marks, ternyata pelaku aksi pembajakan itu tahu. Keadaan untuk mengetahui siapa sebenarnya pelaku semakin sulit, sebab di dalam pesawat terdapat beberapa orang yang melakukan aktivitas penggunaan telepon genggam, sementara sesuai prosedur bahwa dalam pemeriksaan tak boleh menimbulkan kepanikan. Marks kemudian mengalami keadaan yang serba sulit karena ternyata rekan polisi udaranya, Jack Hammod (Anson Mount), tutur menjadi bagian dari aksi teror tersebut secara tak langsung. Setelah kematian agen Hammond, Marks mengetahui bahwa rekan sejawatnya membawa kokain di dalam koper yang dibawa.

Usaha Marks mencari pelaku dalam pesawat itu berlangsung secara tak mudah. Para pelaku teror pada akhirnya berhasil melancarkan aksi ancamannya. Mereka berhasil membunuh sang kapten pesawat, David McMillan (Linus Roache), dan seorang bankir, Frank Deal (Charles Wheeler). Keduanya tewas dengan cara yang misterius. Sang kapten tewas saat sedang mengemudikan pesawat di ruang kokpit yang terkunci rapat. Sementara sang bangkir tewas saat ia sedang diseret oleh Marks untuk diinterogasi setelah ditemukannya telepon genggam yang berada di dalam saku jasnya. Kematian Wheeler ini sekaligus menyanggah dugaan awal Marks tentang sang pelaku teror.

Berbagai ketegangan muncul saat Marks melakukan penyelidikan lebih lanjut. Pengirim pesan misterius yang bertubi-tubi seperti berhasil mengelabui polisi udara tersebut dan menyembunyikan identitasnya. Hal ini menyebabkannya salah menangkap Charles Wheeler yang diduga sebagai pelaku utama, tapi justru malah lelaki itu menjadi korban pembunuhan berikutnya setelah sang kapten pesawat. Akhirnya Marks sadar bahwa sang peneror misterius itu hendak menjadikannya sesosok kambing-hitam atas pembajakan pesawat. Marks pun juga sadar bahwa seharusnya ia tak menemukan bom tersebut. Dengan kata lain, penemuan bom di dalam bungkusan kokain berada di luar skenario terorisme.

Dalam situasi teror, yang pertama-tama terjadi adalah mekanisme permainan dalam sebuah area (game field). Terorisme sendiri ada yang bersifat vulgar sebagaimana IS (Islamic State) dan ada pula yang bersifat tersembunyi (latent). Terorisme yang bersifat laten inilah yang disuguhkan oleh film Non-Stop yang mempertontonkan kecerdasan dari para pelaku teror. Kenapa demikian, kerena, berdasarkan film yang dirilis pada 2014 ini, manusia memiliki potensi untuk melanggar hukum justru saat ia memiliki otoritas.

Seperti pada tahun 2017, ketika diketahui bahwa paham khilafah islamiyah sudah sedemikian dalam merasuk dan lebar menyebar ke berbagai segmen masyarakat—birokrasi, instusi-institusi pendidikan, perumahan-perumahan kelas menengah, dan bahkan pertanian—sampai mengubah konfigurasi sosial dan ikut menciptakan sanksi-sanksi sosial yang sifatnya keagamaan di tingkat masyarakat akar rumput (Perda Intoleransi, Perda Radikalisme, dan Nasib RUU Antiterorisme, Heru Harjo Hutomo, https://www.gusdurian.net, Sontoloyo, Sempalan, dan Gerakan-Gerakan Kutu Rambut, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Secara hukum bagi kami—atau secara khusus bagi saya pribadi yang pernah bersinggungan secara langsung dengan isu-isu seputar pluralisme, antiradikalisme dan antiterorisme, dan sebelum disahkannya UU Anterorisme pada tahun 2018—seharusnya semua itu sudah dapat dikategorikan sebagai sebentuk terorisme karena jelas bermotifkan ideologi tertentu (lihat ps. 2 UU 5/2018).

Dalam film Non-Stop diperlihatkanlah bagaimana terorisme yang sifatnya laten menginfiltrasi (masuk ke jajaran “orang-orang dalam”) dan berupaya melenyapkan jejak kejahatan mereka di antara lapisan-lapisan jaringan tertentu. Ada beberapa “orang-orang dalam” yang berperan dalam rangkaian peristiwa pembajakan tersebut: Marshal Penerbangan, NYPD, Eks-tentara, guru, pramugari, pilot dan co-pilot. Dalam film ini disuguhkan pula bagaimana hukum dan undang-undang dilanggar dengan maksud dan tujuan tertentu justru oleh orang-orang yang seharusnya menegakkannya. Dengan kata lain, di sini kita disuguhi oleh adanya penyalahgunaan wewenang.

Perilaku Para Teroris dalam Meretas Jaringan

Apa yang dimaksud dengan jaringan di sini adalah sistem yang memungkinkan antar komputer melakukan proses komunikasi: bertukar pesan, bertukar gambar, dan bertukar bicara. Dalam ilmu komunikasi, sebuah pesan memiliki kode-kode tertentu yang memungkinkan manusia mengalami penerimaan pesan. Andaikata kode inskripsi sama, maka pertukaran tersebut dimungkinkan untuk dilakukan. Hal ini akan berakibat fatal seandainya para teroris berhasil menguasi jaringan keamanan dalam sistem komunikasi. Dengan menguasai sistem informasi, mereka dapat memasukan ideologi dan kepentingan tertentu sebagai sebentuk “perintah” pada orang-orang yang memiliki wewenang dalam sistem komunikasi tersebut. Hal ini tentu berakibat fatal bagi keamanan umum karena, sebagaimana yang kita ketahui, bahwa terorisme bertujuan untuk menyebarkan ketakutan dan kecemasan pada masyarakat (Mereka yang Terjaga: Menggagas Pendidikan Antiradikalisme dan Antiterorisme Sejak Dini, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Seandainya mereka berhasil menanamkan tujuannya dalam sistem pemerintahan, maka yang terjadi adalah teror yang terstruktur dan berlaku secara massif. Seandainya keadaan tersebut yang terjadi, maka dapat dipastikan bahwa yang menjadi korban pertama kali adalah para warga sipil.

Film Non-Stop memperlihatkan bagaimana para pelaku teror menguasai jaringan komunikasi milik kedua agen polisi udara. Mereka melakukan peretasan terhadap alat komunikasi agen Marks dan Hammond. Peretasan tersebut terjadi melalui berbagai bentuk komunikasi: teks dan gambar (visual), serta telepon (auditif). Adapun alasan para teroris dalam film Non-Stop memilih agen Marks dan Hammond sebagai target bukanlah tanpa alasan. Mereka memanfaatkan latar-belakang kehidupan pribadi kedua agen tersebut dan berencana untuk menjadikan mereka sebagai para “kambing hitam” atas aksi pembajakan pesawat. Harapannya, dengan mengetahui kehidupan pribadi para target, para teroris seolah memiliki kunci kelemahan mereka dan dapat mengontrol serta memanfaatkannya sedemikian rupa.

Para teroris memanfaatkan kecanggihan teknologi IT untuk melacak kehidupan pribadi para agen tersebut sampai ke detail-detailnya. Mekanisme seperti ini tak ubahnya film Enemy of The State yang dibintangi oleh Will Smith. Dengan mengetahui kehidupan pribadi yang jauh dari sempurna para agen yang menjadi target, para teroris dengan mudahnya dapat melakukan framing narasi untuk mengontrol dan mengarahkan para target, khususnya Marks sebagai lapisan kejahatan terakhir para teroris. Hal ini secara cerdas telah diskenariokan oleh Bowen dan Zack (para teroris yang sesungguhnya). Dan dalam hal ini, mereka memanfaatkan budaya masyarakat tontonan (The Society of The Spectacle) yang terbiasa memiliki hasrat merekam dan mengirimkan gambar sebagai bukti bahwa mereka tengah berada pada situasi tertentu (Kelam Zaman Masyarakat Tontonan, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Agen Marks memiliki kehidupan pribadi yang tak mulus. Ia pernah mengalami depresi setelah kematian putrinya yang menyebabkan dirinya dikeluarkan dari pekerjaan sebelumnya: polisi NYPD. Ia pun akhirnya menjadi seorang pecandu alkohol. Para teroris mengetahui pula latar-belakang Marks yang ternyata bukanlah orang Amerika asli, melainkan berasal dari Irlandia, tempat di mana IRA (sebuah gerakan pembebasan yang tak jarang menggunakan aksi-aksi terorisme untuk melakukan misi-misinya) berasal. Berdasarkan data-data kehidupan pribadi Marks, para teroris kemudian membangun narasi tentang sosok agen alkoholik tersebut. Dapat kita saksikan dalam film besutan Jaume Collet-Serra ini, pada adegan tentang pemberitaan terkait dengan pembajakan, framing publik terbangun dari sini. Selain Marks, para teroris juga menyelidiki latar-belakang agen Hammond, seorang U.S. Marshal yang bekerja bersama Marks. Hammond ternyata memiliki rekam jejak dengan sering memanfaatkan keistimewaannya sebagai seorang polisi udara untuk bebas dari pemeriksaan di bandara. Para teroris kemudian menciptakan sebuah kondisi sedemikian rupa agar para agen tersebut menerima tawaran mereka tanpa reserve. Dengan diumbarnya latar-belakang kehidupan mereka yang tak sempurna itulah publik dengan mudah digiring opininya untuk secepat kilat menghakimi Hammond dan Marks sebagai para pelaku teror.

Teknik meretas yang dilakukan para teroris terlihat dalam berbagai informasi yang ia kaburkan antara Marks dan agen Marenick (TSA) yang berada di darat. Kemampuan meretas jaringan keamanan menjadi salah satu bukti bahwa teroris telah mem-framing Marks masuk ke dalam strategi ruang permainan mereka. Dalam film ini akhirnya diperlihatkan bahwa salah satu pelaku teror, Zack White (Nate Parker), merupakan ahli IT yang seharusnya duduk disebelah Marks dalam pesawat, tapi karena kondisi tertentu ia terpaksa duduk di depan Marks. Ahli IT adalah seseorang yang memiliki kemampuan terkait berbagai kode komputer tertentu. Seandainya membaca lebih lanjut, tujuan White duduk di sekitar Marks memiliki tujuan yang lebih besar: menginstal program yang dapat mengaktifkan bom yang telah diselundupkan dalam paket heroin yang dibawa oleh agen Hammond. Dengan kata lain, Zack berusaha membangun kepercayaan Marks dengan keahliannya dalam soal pemrograman komputer.

Strategi klasik kalangan teroris yang ingin melakukan aksi teror terhadap fasilitas umum lazimnya adalah dengan menarget “orang-orang dalam” yang kemudian dimanfaatkan untuk menjadi bagian dari aksi teror. Sudah pasti, laiknya intelijen pula, kalangan teroris—dan juga pelaku kriminal sebagaimana perampok—mengamati kebiasaan dan menguliti identitas para target seakurat mungkin. Semakin para target diketahui, semakin itu pula mereka dikuasai. Setidaknya, ada dua macam motif yang mendasari kenapa “orang-orang dalam” sampai dapat dimanfaatkan oleh para teroris. Pertama, kompensasi atas keterlibatan tersebut. Kedua, faktor keterpaksaan seumpamanya karena keluarga terdekat orang yang bersangkutan tengah disandera ataupun dengan ancaman bahwa seandainya orang yang bersangkutan tak mau meladeni keinginan para teroris, maka segala aibnya yang berpotensi merusak citra dirinya akan disebarluaskan. Dan motif kedua inilah yang dialami oleh agen Marks di awal kisah, Hammond, dst. Mereka tak berani wirang dan karena itu dapat ditekan dan dimanfaatkan oleh para teroris.

Selain dapat memanfaatkan jaringan “orang-orang dalam,” dengan mengetahui segala detail kehidupan pribadinya, segala dosa dan aibnya, para teroris dapat pula menisbahkan kejahatannya pada “orang-orang dalam” tersebut atau menjadikan mereka sebagai sesosok kambing-hitam. Mekanisme ini seperti halnya upaya cuci tangan yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang dipandang terhormat agar kejahatan yang dilakukannya tak merusak citra dirinya. Inilah arti sesungguhnya dari peribahasa “nabok nyilih tangan.” Pada kasus ini Marks, Hammond, dst., hanya sekedar “tutup” atau lapis pertama kejahatan yang bersifat sistematis dan terstruktur. Para teroris yang sesungguhnya, karena citra dirinya sebagai orang yang terhormat, akan dengan mudahnya memanfaatkan opini publik atau persepsi umum yang secara moral memang tak menyukai citra diri orang-orang urakan apalagi yang memiliki masa silam yang kelam.

Dalam hal inilah film Non-Stop menyajikan lapisan-lapisan kejahatan teroristik yang tak mudah untuk diurai. Tapi tak sebagaimana bawang yang hanya terdiri dari lapisan-lapisan dan tak memiliki isi, kejahatan teroristik dalam film Non-Stop tetap menghadirkan sesosok dalang yang tak disangka-sangka, yang tak sebagaimana yang dibayangkan, yang untuk menelanjanginya perlu terlebih dahulu menguliti lapisan-lapisan yang menutupinya.

Melankolia dan Ruang Teror

Aktivitas pembajakan dalam film Non-Stop yang dilakukan oleh Tom Bowen (Scoot McNairy) dilatarbelakangi rasa kekecewaannya pada sistem keamanan negara yang digaungkan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah pemerintahan Amerika Serikat. Sejak ia kehilangan ayahnya bersama tiga ribu orang lainnya pada peristiwa 11 September (World Trade Center), ia bergabung dengan tentara dengan tujuan memerangi organisasi teroris internasional, Al-Qaeda. Tapi ia justru melihat dirinya berada dalam sebuah konflik yang tak dimengerti. Dengan melakukan pembajakan pesawat dan menempatkan nama seorang polisi udara sebagai tersangka utama, ia ingin membuktikan bahwa sistem keamanan negara adalah suatu kebohongan besar. Setiap orang di negara amerika percaya bahwa mereka dilindungi dan akan senantiasa dilindungi oleh pemerintah. Bagi Bowen, kegagalan sistem itu hanya dapat dibuktikan melalui drama tragedi yang tersiar dalam berita malam. 

Kisah yang dialami Bowen adalah sejenis kisah melankolia (Petaka Melankolia dan Sekelumit Bom Surabaya, Heru Harjo Hutomo, dlm. “Merawat Ingatan Merajut Kemanusiaan,” 2019) yang kemudian ditumpahkan dalam wujud teror dengan membajak pesawat. Bahwa keputusan Bowen untuk tak meninggalkan pesawat yang akan meledak merupakan pengambaran dari logika nihilistik yang menjadi kerangka pikir utama gerakan-gerakan terorisme kontemporer: “Yes or Nothing at all.” Dengan kata lain, melankolia yang dialami oleh Bowen merupakan wujud dari upaya dirinya untuk sampai akhir membuktikan bahwa sistem keamanan negara adalah sebuah kebohongan besar, sebentuk sikap “masturbasif” yang tak hirau akan perspektif liyan.

Sosok melankolia Bowen digambarkan melalui pengambaran karakter dirinya. Seandainya disaksikan dari awal, para penonton tak akan pernah menyangka bahwa dirinya ternyata memiliki kemampuan untuk bersikap kasar dan memegang senjata—apalagi catatan profesi sebagaimana yang diungkapkan agen Marenick pada Marks menyingkapkan bahwa ia adalah seorang guru matematika. Kenapa Bowen digambarkan sebagai seorang guru dalam film tersebut dan bukannya seorang bangkir, misalnya? Secara sederhana, citra diri seorang guru, seorang pendidik, adalah jauh dari citra kekerasan dan kebengisan yang umumnya melekat pada citra diri para teroris lapangan. Sangat dimungkinkan, melalui film ini, otak dari sebuah kejahatan yang terstruktur dan sistematis serta berefek besar dan berjangka-panjang adalah orang-orang yang secara moral-kultural terkesan ringkih, santun, saleh, dan suci, hingga seandainya terbongkar akan mendapatkan pemafhuman dari kalangan masyarakat konservatif.

Latar-belakang aksi teror dalam film Non-Stop cukup menarik, aksi yang mengambil latar tempat dalam pesawat memperlihatkan bahwa permainan teror hanya terjadi seandainya arena (field) yang sempit justru menciptakan kondisi yang misterius. Bourdieu memandang arena sebagai suatu sistem yang membentuk aktivitas manusia modern. Dalam hal ini, dalam sebuah masyarakat terdapat ruang sosial (social space) yang memiliki legitimasi tertentu dan fungsi khusus. Jean-Claude Passeron menghubungkan arena fisik (physical field) dengan pembangunan arena mental (psycological field). Arena adalah sebuah ruang di mana individu dapat bergerak melalui berbagai prinsip organisasi atau episteme dalam istilah Foucault (Corona dan Masa Depan Demokrasi Deliberatif Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://harakatuna.com). Hal ini sangat erat kaitannya dengan berbagai situasi dominan di dalamnya. Peristiwa sosial yang terjadi di dalam masyarakat sebenarnya tergantung pada kondisi arena sosialnya. Hal ini tampak pada berbagai properti yang ada di masyarakat, baik yang berbentuk fisik maupun non-fisik. Properti-properti tersebut menciptakan relasi sosial. Berdasarkan hal ini, maka dapat dilihat bahwa berbagai perilaku manusia sebagai agen tergantung pada penataan interior ruang yang bersangkutan (Bourdieu’s Theory of Social Fields: Concept and application, Mathieu Hilgers dan Eric Mangnez (ed.), 2015).

Tentu kita masih ingat tentang kasus penolakan acara Harlah NU ke-94 di Yogyakarta sebulan yang lalu (Radikalisasi Dari Bawah: Mengurai Jejaring Radikalisasi Keagamaan di Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Meminjam kembali Bourdieu, bahwa penolakan Harlah NU di Yogyakarta (sebagai sebuah peristiwa sosial) tergantung oleh daerah Kauman (sebagai arena sosial). Dengan kata lain, bahwa dengan adanya wilayah-wilayah yang secara terang-terangan mengklaim sebagai wilayah non-NU, maka dimungkinkanlah aksi intoleran itu terjadi secara fisik. Dan akan sangat lucu andaikata penolakan atas acara Harlah NU itu terjadi secara fisik di Jawa Timur, karena jelas arena sosial Jawa Timur tak mendukung peristiwa seperti itu terjadi secara fisik. Barangkali, andaikata hal itu pun terjadi hanya akan terjadi pada tataran diskursif (provokasi, agitasi, cercaan, perendahan, dst.) yang berimbas pada wilayah mental—yang pada akhirnya akan turut memengaruhi pula ranah fisik, setidaknya keengganan nyata untuk bersolidaritas (Ingusan, Merendahkan dengan Cercaan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). 

Pada peristiwa terakhir aksi pembajakan, Marks sempat bersitegang dengan Bowen, sang teroris yang sesungguhnya. Dalam perdebatan itu, sang agen berkata bahwa untuk membuktikan negara telah gagal dalam membangun sistem keamanan para warganegaranya, seharusnya Bowen tak perlu sampai melakukan aksi pembajakan yang justru membahayakan warga yang hendak ia lindungi. Dikatakan pula oleh Marks bahwa ia bisa melakukannya melalui mekanisme penyebaran pamflet atau dalam bentuk aksi-aksi kampanye. Tapi Bowen punya pendapat berbeda, bagi sang guru itu perubahan nyata hanya akan terjadi seandainya hal tersebut ditulis atau disuguhkan dalam bentuk genangan darah. Dengan kata lain, sang guru tak lagi percaya pada mekanisme sistem demokrasi yang diterapkan oleh negara. Ia memilih setia untuk bersikap “masturbasif,” untuk tak memberi ruang bagi liyan, untuk tetap menempuh jalan kekerasan, teror, dan cara kematian yang tragis: terpecah kepalanya oleh sebutir peluru.

(Esai kolaboratif Heru Harjo Hutomo dan Ajeng Dewanthi)    

Heru Harjo Hutomo

Penulis, peneliti lepas, pemerhati radikalisme dan terorisme, menggambar dan bermain musik. Alumnus fakultas filsafat dan Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Ajeng Dewanthi

Penulis, peneliti sejarah, budaya dan politik. Alumnus jurusan ilmu sejarah, fakultas sastra dan program pasca sarjana Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article