Shrimp Estate: Budidaya Modern, Masa Depan Pulau Sumbawa

Rusdianto Samawa
7 Min Read
Foto : Mentri Kelautan dan Perikanan (KP), Trenggono didampingi Gubernur NTB, Dr. H. Zulkieflimansyah saat kunjungan kerjanya di Pelabuhan Perikanan Teluk Awang Lombok Tengah dan dilanjutkan meninjau budidaya Lobster di Telong Elong Lombok Timur
Foto : Mentri Kelautan dan Perikanan (KP), Trenggono didampingi Gubernur NTB, Dr. H. Zulkieflimansyah saat kunjungan kerjanya di Pelabuhan Perikanan Teluk Awang Lombok Tengah dan dilanjutkan meninjau budidaya Lobster di Telong Elong Lombok Timur

jfid – Kedatangan TB Haeru Dirjen Budidaya Kementerian Kelautan – Perikanan menjadi sentral diskusi group WhatsApp berbagai kalangan di Sumbawa. Semua konfirmasi kepada saya tentang informasi dan prediksi masa depan budidaya di Sumbawa, Pulau Sumbawa – NTB. Pada prinsipnya, kedatangan tersebut membawa misi mulia untuk kembangkan industri Shrimp Estate (Budidaya Modern).

Tetapi, kita mulai bahas pada politik kebijakan budidaya yang sangat dibutuhkan pemerintah Kabupaten Sumbawa maupun Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Tentu, lebih jauh rakyat sangat membutuhkan investasi budidaya sebagai lahan subur pembuka tenaga kerja di bidang investasi budidaya kelautan dan perikanan.

Namun, perlu juga dikritisi pola investasi budidaya saat ini di Pulau Sumbawa oleh pemerintah. Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan mendasar; pertama, status lahan yang menamakan Hak Guna Usaha (GHU) yang dipakai oleh perusahaan shrimp. Awalnya, disewakan dan berlanjut pada sistem HGU. Politik agraria investasi semacam ini, sangat mungkin pemilik tanah secara pribadi masyarakat tidak mendapatkan apa-apa.

Kedua, sistem pengelolaan shrimp yang banyak terjadi ancaman terhadap lingkungan hidup. Sehingga sepanjang tahun investasi, pesisir – pesisir pantai menyebabkan berubah bentuk ekosistemnya karena sebaran limbah yang tak terkontrol. Ketiga, pertambakan nasional harus perhatikan regulasi RTRW, UU, dan peraturan lainnya. Sehingga pelaksanaan investasi shrimp tidak berdampak pada kehidupan masyarakat sekitar.

Politik kebijakan shrimp (tambak modern) bisa terjadi upaya class action oleh rakyat apabila secara teknis dan regulasi melanggar. Sisi lain perlu juga masyarakat pahami bahwa klaster tambak budidaya dapat memacu peningkatan perekonomian masyarakat. Karena budidaya menjadi sarana edukasi yang modern dan ramah lingkungan.

Sala satu investasi shrimp budidaya tambak modern yang dianggap menganggu saat ini, pemilihan Labangka sebagai lokasi pembangunan klaster tambak percontohan udang vaname karena kondisi alamnya yang mendukung, dengan kualitas air yang baik, serta lahan tersedia cukup luas. Namun, muncul pro kontra masyarakat karena pola investasi yang tidak pro lingkungan dan diyakini melanggar banyak regulasi.

Memang harus disambut program budidaya modern wujud kehadiran pemerintah untuk mendorong peningkatan indeks kesejahteraan masyarakat. Aktivitas pengelolaan tambak harus selaras dengan prinsip green economic agar idak merusak lingkungan dan berkelanjutan. Namun, Green Economics Shrimp sangat memperhatikan kawasan pembangunan tambak sehingga tidak mengganggu zona wisata, zona inti, zona terumbu karang dan lainnya.

Apalagi, Shrimp Estate juga menjadi salah satu komoditas perikanan yang digenjot produktivitasnya untuk kebutuhan pasar ekspor, dengan target ekspor udang nasional meningkat 250 persen pada tahun 2024. Untuk mencapai target itu, maka harus ada upaya lain dalam lakukan evaluasi program Shrimp Estate (budidaya modern) eksisting di seluruh Indonesia.

Diketahui luasan tambak Shrimp Estate di Indonesia mencapai 562.000 hektare (ha). Dari jumlah tersebut, 93 persen di antaranya merupakan tambak udang tradisional dengan luasan 522.600 ha dan 7 persen sisanya adalah tambak semi-intensif dan intensif seluas 52.698 ha.

Kemudian dari luasan tambak tradisional yang ada, menunjukkan 56 persen merupakan tambak idle atau sudah berubah fungsi, sehingga total tambak tradisional yang masih aktif hanya tinggal 247.803 ha dengan produktivitas 0,6 ton / hektare / tahun. Angka tersebut jauh di bawah hasil panen tambak semi intensif atau intensif yang diperkirakan bisa mencapai 10-30 ton/hektare/tahun.

Program revitalisasi dan produktivitas yang tadinya 0,6 ton per hektare per tahun, ditingkatkan menjadi 2 ton. Itu terjadi peningkatan yang sangat signifikan. Modelling tambak udang terintegrasi dengan luasan mencapai 1.000 hektare. Di satu kawasan tambak berdir laboratorium, hatchery, cold storage (gudang pendingin), hingga ekosistem usaha seperti pabrik pakan, pabrik es, hingga kuliner.

Sebagai informasi, target peningkatan ekspor udang nasional sebesar 250 persen pada 2024 merupakan arahan Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020. Dengan capaian tersebut, Indonesia targetnya bisa masuk lima besar eksportir perikanan dunia.

Sedangkan produksi udang nasional yang harus dipenuhi untuk mencapai target peningkatan ekspor, yakni sebanyak 2 juta ton per tahun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dari produksi tahun 2019 yang ada di angka 856.753 ton. Sebagai gambaran, berdasarkan data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Fisheries, pada bulan April 2021, nilai impor udang AS mencapai 514,2 juta dolar AS atau meningkat sebesar 17 persen dibanding April 2020.

Dari sisi volume, impor udang AS pada April 2021 sebesar 61,1 ribu ton atau meningkat sebesar 18,2 persen dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya. Sementara udang yang berasal dari Indonesia sejak Januari-April 2021 sebesar 503,8 juta dolar (24,1 persen) dengan volume 58,0 ribu ton (23,5 persen).

Karena itu, Pulau Sumbawa merupakan kepulauan yang dikenal sebagai sentra budidaya udang. Namun, beragam persoalan lingkungan juga mengemuka. Di antaranya soal pembuangan limbah tambak udang. Dengan berkembangnya tambak yang tak terkendali, persoalan yang muncul adalah akumulasi limbah yang mengakibatkan pencemaran.

Limbah udang berupa unsur organik, biasanya sisa pakan, bisa mengganggu keseimbangan ekosistem pantai. Akumulasi unsur organik bisa meningkatkan populasi alga yang mengganggu komunitas ikan. Limbah udang juga bisa mengganggu budidaya lain yang ada di pantai, misalnya kerapu.

Masyarakat perlu lakukan pengawasan, Perlu diperhitungkan juga dampak akumulatif dari limbah yang terjadi akibat banyaknya tambak di suatu wilayah, walaupun pemiliknya mungkin masih mengelola dalam skala kecil atau tradisional. Pengolahan limbah dan lingkungan tambak sekitar masyarakat, salah satu bentuk budidaya yang bertanggung jawab.[]

Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI) dan Chairman of the Indonesian Fisherman Congres, Juni 2021.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article