Nasib Petani Jagung NTB di Tengah Covid 19

Rasyiqi
By Rasyiqi
6 Min Read

Suaeb Qury
Ketua LTN-NU NTB

jfId – Apa mau dikata memang nasib dan kondisilah yang membuat petani jagung di Nusa Tenggara Barat bisa merana dan menanggung beban merugi. Belum lagi kondisi Covid 19 yang belum bisa memastikan aktivitas para petani bisa menjajal hasil panen kepada para tengkulak. Jauh dari harapan dan impian para petani, bahwa dengan kondisi pendemi covid 19 bisa mengurangi beban pengeluaran selama masa tanam. Dan apa hendak dikata harga ternyata anjlok juga.

Menjadi wajarlah kemarahan para petani jagung di pulau sumbwa dengan aksi protes atas harga jagung yang turun drastis dan di bawah harga yang telah di tetapkan oleh Kementerian Perdagangan.
Membayangkan nasib petani jagung, jika datang waktu beruntungnya dengan harga yang bagus, itulah kebahagiaan yang istimewah bagi para petani. Tapi itu terjadi dalam kondisi tertentu dan berdasarkan harga pasar yang diatur oleh para pengusaha.

Tapi apa yang terjadi dalam dua tahun terakhir masa panen, bagi para petani jagung mengalami kegagalan dari cuaca dan harga yang diakibatkan oleh kondisi covid 19. Kondisi sekarang dengan beberapa tahun yang lalu harga jagung perkilo hanya 2.900-3.000 rupiah, sementara Permendag menetapkan HPP minimal 3.150 perkilo, tapi itupun para petani tetap bertahan. Mengapa tidak, sebab kalau tidak bertani jagung mau kerja apa lagi bagi para petani.

Nasib seperti ini selalu datang bagi para petani jagung di pulau Sumbwa, sudah menanggung beban hutang kepada para pengepul, rentenir dan pengusaha jagung. Dari pinjaman obat-obatan, bibit dan biaya selama 6 bulan menunggu hasil panen. Bisa dibayangkan berapa sudah yang harus bayar. Ini menjadi duri dan problem yang selama ini dialami oleh para petani dan kehadiran pemerintah harus menjadi solusi bagi para petani jagung, tapi apa hendak dikata. Semuannya hanya bisa menjawab inilah kondisi dan problem petani. Dan apa lagi ditengah covid 19 juga menjadi alasan mendasar.

Tentu bagi pemerintah daerah harus juga belajar dari beberapa daerah di Indonesia yang hari ini mampu mengendalikan harga produk pertanian (HPP) yang mayoritas masyarakatnya bertani jagung. Kilas balik dari puluhan tahun masyarakat NTB bertani jagung, tentu bukan lagi menjadi alternatif mata pencaharian.

Namun, sudah menjadi pekerjaan unggulan dalam sektor pertanian. Kita tentu masih ingat di era kepemimpinan TGB dua periode, sektor unggulan yang disebut dengan Pijar merupakan sektor primadona dan menjadikan NTB sebagai lumbung pijar (jagung) yang menurunkan angka kemiskinan dan NTB juga masuk dalam kategori progres pertumbuhan ekonomi diatas Nasional yakni 7 persen. Pencapaian maksimal yang ditorehkan oleh TGB dalam memaksimalkan sektor unggulan, tentu menjadi modal untuk kembali menghidupkan kegairahan ekonomi walau ditengah covid-19.

Menggerakkan dan mengembalikan kejayaan petani jagung di NTB, bukan pekerjaan muda, walau hari ini, di era kepemimpinan Dr. Zul dengan istilah industriliasisasi. Namun, tidak beloh juga melupakan komoditas yang tidak kalah penting yaitu jagung.

Berdasarkan data dari Kementrian Pertanian, produksi jagung nasional di tahun 2018 mengalami surplus. Tidak heran jika jagung tersebut telah diekspor ke Malaysia dan Filipina. Selama 5 tahun terakhir ini terjadi peningkatan rata – rata sekitar 12,49 persen per tahun yang artinya di tahun 2018 produksi jagung mencapai angka 30 juta ton jagung pipilan kering (PK) dengan luas panen per tahun yang juga mengalami peningkatan sekitar 11,06 persen dan rata – rata produktivitas meningkat sebesar 1,42 persen. Untuk masa panen jagung di tiap daerah di Indonesia cukup beragam yakni untuk Indonesia Barat terjadi pada bulan Januari hingga Maret, sedangkan untuk wilayah Indonesia Timur masa panen terjadi pada bulan April sampai dengan Mei.


Hari ini, di Nusa Tenggara Barat harga jagung anjlok. Padahal NTB menjadi provinsi ketiga yang melakukan ekspor jagung ke Filipina dengan jumlah 11.500 ton, dan target sebelumnya hanya sekitar 100.000 ton. Meskipun begitu, produksi jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Dengan tampilan data yang disajikan oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia, tentu mengembirakan bagi para petani, tapi berbeda jauh apa yang terjadi dilapangan “bukankah dengan nilai ekspor yang meningkat, maka kesejahteraan petani semakin meningkat juga” dan semakin banyak orang tertarik untuk berusaha tani. Bisa dibayangkan, Nusa Tenggara Barat berada diurutan kelima sebagai daerah penghasil jagung terbesar dengan jumlah 30 juta ton di tahun 2018 dan angka tersebut turut berkontribusi sebanyak 7 persen dalam memenuhi kebutuhan jagung nasional.

Semoga saja kegembiraan petani terwujud di tengah pendemi Covid 19 dengan intervensi pemerintah daerah menstabilkan harga jagung yang semakin anjlok di pulau Sumbawa. Tentu harapan ini, bukan sekedar usaha jangka pendek yang harus dilakukan oleh pemerintah.

Melainkan mengembalikan kejayaan NTB sebagai lumbung Nasional ke lima produksi jagung terbesar di Indonesia. Dan apa yang terjadi didepan mata yang dialami oleh petani hari ini di NTB adalah bentuk ketidaksiapan dari pengambil kebijakan di tingkat kabupaten dan propinsi menolong rakyatnya ditengah wabah. Semoga saja ada jalan keluar yang memberikan kepastian bagi keberlangsungan harga jagung di NTB, agar para petani bisa tersenyum di hari yang akan datang. Wallahu’alam bisaawab.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article