Martabat Pers dan Bupati Sumenep Perlu Tau

Deni Puja Pranata
4 Min Read
Kemesraan Achmad Fauzi dan Wartawan Sumenep (foto: istimewa)
Kemesraan Achmad Fauzi dan Wartawan Sumenep (foto: istimewa)

jfid – Mengingat perkataan Seymour Hersh ” Jangan menulis sesuatu yang kau tak ketahui betul,” ucap jurnalis yang meraih Pulitzer, sebuah simbol penghargaan tertinggi dalam bidang jurnalisme cetak di Amerika Serikat.

Seymour Hersh mengingatkan pada generasi jurnalis muda di penjuru dunia untuk benar-benar detail, bagaimana menjalankan prinsip-prinsip profesionalisme dalam kerja jurnalistik.

Hers dalam kerja investigasi liputannya sangat detail, sesuatu yang baginya setara dengan kehormatan. Ia selalu membuktikan, mengungkap pelanggaran dan rahasia pemerintah Amerika.

Sederhananya, martabat dan mahkota seorang jurnalis ketika taat pada kode etik profesi. Pers bukan sandaran pemerintah untuk bercurhat atau suara pemerintah untuk menutupi maksud jahatnya.

Dan seorang jurnalis bisa belajar banyak dari Mochtar Lubis, bagaimana ia menjadi pembangkang di dua rezim kekuasaan. Sinisme dalam tulisan-tulisannya mengakibatkan ia dibui pada rezim yang berbeda.

Apakah anda ingat? Tentang sebuah mahakarya jurnalistik “Suara Tembakan di Langit Jakarta,” ia, tulisan yang beraroma sastra dan dengan detail mengabarkan peristiwa mencekam G30S PKI. Di tulisan itu, tampak, bagaimana Mochtar Lubis mengajarkan tentang keberanian dan menulis dengan jujur. Ia benar-benar meletakkan martabatnya dalam sebuah tulisan.

Atau kita belajar pada Kenji Goto, jurnalis Jepang, yang pertaruhkan nyawanya dalam kerja jurnalistik dan misi kemanusiaan.

“Aku bukan anak Tuhan,” ungkap Kenji Goto saat ditahan oleh sekelompok kawanan Islam Irak Syuriah (ISIS). Tak ada demdam, sebelum kepalanya dicangkul oleh para ekstrimis.

Misi penyelamatan Kenji Goto ke Timur Tengah, bukan hanya sekedar melakukan pemberitaan. Tapi misi kemanusian, untuk menyelamatkan kawannya, Haruna Yukawa yang menjadi sandera kelompok ISIS dan akhirnya, juga dieksekusi.

Kenji Goto diusianya ke 47 tahun, membuat semua warga Jepang haru. Ia bak Pahlawan setelah kekaisaran Togugawa runtuh.

Kenji Goto ditahan oleh kelompok ekstrimis ISIS dengan syarat tebusan pembebasan sebesar 2,5 Triliun.

Kematian Kenji Goto membawa hawa panas bagi Pemerintahan Jepang. Hujan kritik pun berhamburan dari masyarakat. Namun, Kenji Goto tetap bukan anak Tuhan. Akhir kematiannya tetap sebagai peng khotbah.

“Tutup mata Anda (Sejenak) dan tetaplah bersabar. Sekali saja anda merasakan rasa marah dan emosi hendak membentak, maka kesabaran itu sirna. Ini seperti berdoa. Membenci bukan perilaku manusia. Menghakimi adalah wilayah Tuhan. Itulah yang diajarkan saudara Arab saya.” tulis Kenji Goto, pada 7 September 2010, dilansir Al-Arabiya Rabu (16,2,2022).

Kata-kata itu sebagai khotbah terakhir dalam hidupnya. Dan diamini sebagai kalimat terindah sepanjang perjalanan sejarah para Penyair dan Sastrawan di Negeri Sakura.

Siapa yang berkata, jika tak ada berita seharga nyawa?

Kenji Goto tidak sama dengan nasib Jumpei Yasuda, seorang Jurnalis Jepang yang juga menjadi tawanan kelompok ISIS. Neraka selama 40 bulan adalah pengalaman mahal baginya menjadi seorang Jurnalis.

Jumpei Yasuda juga bukan anak Tuhan, walau karir kewartawanannya di Timur Tengah dimulai sejak tahun 2000. Ia hanya sebagai lukisan peng-khotbah bagi para manusia yang meleburkan hidup dan matinya pada sebuah catatan peristiwa.

Kematian seorang Jurnalis bukan hanya karena tajamnya pedang Tentara ISIS. Dengan menerima satu permen karet dari para pejabat adalah sebuah kematian yang akan segera kita jemput.

Rabu 16 Februari 2022
Silaturahmi Bupati Sumenep dengan jurnalis di aula Bina Marga.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article